Buku itu berjudul Ulid karya penulis kenamaan Indonesia, Mahfud Ikhwan. Saya mendapat rekomendasi dari seorang kawan, kata dia penggambaran tokoh utama novel Ulid begitu kuat untuk membawa ingatan pada masa kecil, dan kampung halaman. Teman saya juga menegaskan, buku tersebut sarat akan kearifan lokal, ia menyandingkan dengan karya Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, katanya Ulid ini lebih mak jleb lagi soal dinamika kehidupan. Srintil memang membawa kita pada kearifan lokal, tetapi Ulid akan menerawang pada perjumpaan batin emosional seorang anak kampung.
Memang benar, saya telah dibawa Mas Mahfud Ikhwan menggembala kambing, merasakan peralihan kehidupan orang Lerok dari tradisional menuju perubahan saat orang kampung banyak merantau ke Malaysia, demi menyambung hidup. Buku yang saya baca itu merupakan cetakan ketiga yang diterbitkan Shira Media pada tahun 2021. Buku ini saya anggap cukup laris di pasaran, terhitung sudah tiga kali naik cetak, dengan beberapa penyempurnaan dan perubahan gambar sampul. Cetakan pertama terbit pada tahun 2009 oleh penerbit Jogja Bangkit Publisher, cetakan kedua tahun 2015 diterbitkan Pustaka Ifada.
Saat ramadan begini, momen yang paling dirindukan adalah bercengkrama dengan keluarga. Tetapi, apa daya kendati rindu menggebu larangan mudik sudah terlanjur lebih dulu. Secara singkat, novel Ulid menceritakan kisah seorang anak bernama Muhammad Maulid yang akrab dipanggil Ulid. Novel ini begitu kuat dengan penceritaan karakter, pembaca akan digiring mengalami kehidupan Ulid sejak kecil, remaja tanggung, hingga menuju dewasa.
Membaca Ulid, mengingatkan akan romansa anak tahun 80-an. Ketika gawai belum menyerang, sawah dan ladang jadi tempat bermain paling paripurna. Meski hanya sebagai pembaca saya turut membayangkan saat Ulid menaiki kambing menuju padang rumput dan mengalungkan radio kecil di leher. Itu seperti suatu kondisi sangat indah yang saat ini sudah barangkali sudah jarang ditemui.
Sebagai anak perantauan saya ingat betul ketika kecil dulu suka menguntit pekerjaan orang tua agar terlihat lebih dewasa di kalangan kawan sepermainan. Mahfud Ikhwan pun tidak luput dari kondisi itu, dengan piawai dia membawa pembaca agar meliuk bersama kerinduan masa lalu. Satu hal yang tidak kalah serunya, mengingatkan saya pada acara televisi Si Bolang. Saat Ulid menyusuri areal persawahan, menerobos hutan.
Dunia batin yang di bangun bang Makfud Ikhwan begitu renyah untuk memasuki relung pembaca, sehingga kerinduan akan kampung halaman semakin terasa. Misalnya pada petikan kisah ketika Ulid kecil tak sengaja tertidur di masjid waktu salat jumat sebab semalaman mendengar siaran radio dan saat khutbah Ulid menceritakan pada temannya hingga dia tertidur. Itu kemudian menjadi aib luar biasa yang menjalar ke seluruh Lerok, Kaswati, ibu Ulid pun tahu hingga baterai radio jadi sasaran dengan disembunyikan ibunya.
Ulid yang pun merasa tidak terima dengan perlakuan itu, ia memutuskan menghukum balik emaknya dengan kabur dari rumah. Terinspirasi dari kisah favoritnya saat mendengar kisah kerajaan Madangkara di radio, ia pergi ke arah kulon. Tapi apa boleh buat, usia Ulid yang masih 5-6 tahun membuat pendiriannya runtuh, setelah ia merasa lapar, dan merasa takut karena mengingat kisah hantu.
Kelakuan anak kecil Ulid yang keras kepala mengingatkan saya semasa dulu kecil. Ketika keberanian minggat dari rumah muncul secara tiba-tiba akibat ngambek permintaan tak dituruti. Biasanya saya akan pergi ke langgar, tempat ngaji tidur bersama kawan sepermainan sampai akhirnya luluh karena kelaparan.
Meski kehidupan Ulid berlatar suatu kawasan bernama Lerok, tapi saya berani menjamin perasaan menggembala kambing yang dijalani Ulid membuat kita kian rindu pada kampung halaman. Cerita tentang Ulid saat desanya masih asri, ia membantu sang ayah Tarmidi membuat gamping. Hutan masih dipenuhi kayu jati, sumber daya alam yang melimpah. Sebelum akhirnya kampung menjadi sepi, kebutuhan untuk menyambung hidup lebih membuat tidak berdaya.
Novel Ulid, adalah representasi masa kecil ideal anak 80-an atau 90-an. Petualangan menggembala di hutan, bermain dengan rimbun suasana alam, bercengkrama dengan teman sepermainan di langgar. Novel Ulid bisa menjadi semacam obat penawar, bahkan kisah berharga bagi anak milenial yang lebih dekat dengan gawai ketimbang alam.
Comments