Dunia pesantren kemarin digegerkan oleh kasus Moch. Subchi Al- Tsani (MSAT) pelaku pencambulan santriwati. Dia adalah Gus dari Pondok Shiddiqiyah, Ploso, Jombang. Dalam kasus penangkapannya sempat terjadi hadang-menghadang antara santri dan simpatisan yang membela MSAT. Akibatnya, dari suasana yang tidak kondusif itu beberapa orang sempat baku hantam dengan pihak kepolisian.

Terlepas dari itu semua, sebagai negara hukum tentunya Indonesia memiliki alur proses pelaksanaan hukum yang diamanahkan kepada penegak hukum. Apalagi yang menjadi tempat penegakan pertama dalam kasus itu adalah Pesantren.

Kita tahu Pesantren adalah tempat pendidikan yang berbeda dari tempat pendidikan pada umumnya, Pesantren juga memiliki hukum yang diberlakukan kepada warga pesantren, lalu bagaimana ketika ada Kyai atau Gus yang melakukan tindakan melanggar hukum di dalam pesantrennya sendiri?

Umumnya di dalam Pesantren jika ada santri yang melanggar asusila akan ditindak sebagaimana peraturan Pesantren yang berlaku, seperti dita’zir atau dikeluarkan dari Pesantren (DO). Tapi hal ini tidak berlaku jika seorang keluarga Kyai melakukan pelanggaran hukum berat seperti kasus diatas, maka dari itu  yang menindak adalah aparat penegak hukum berdasarkan adanya suatu laporan masyarakat.

Untuk lingkungan pesantren, lumrahnya yang memegang kedudukan sebagai penegak hukum adalah santri yang tentunya dia bukan dari keluarga pengasuh pesantren. Maka tidak mungkin santri menindak atau menghukum warga pesantren yang memiliki strata sosial tertinggi, maka disinilah peran dari aparat penegak hukum untuk melakukan tugasnya.

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang mengutamakan adab dan etika kepada guru, tapi apakah pantas kemudian santri tidak rela gurunya ditangkap karena suatu kasus. Ayolah zaman pesantren kita bukan bercerita tentang penangkapan KH. Hasyim Asy’ari yang ditangkap tentara Jepang, ini beda cerita.

Kericuhan yang terjadi ketika penangkapan MSAT menuai banyak komentar dari netizen di media sosial, “Agama dijadikan tameng”, “Anak santri yang masih lugu hukum diprovokasi”, dan lain sebagainya. Andai saja pelaku menyerahkan diri sewaktu dipanggil oleh Polres Jombang maka kasus ini tidak akan menjadi viral. 

Sebagaimana penuturan kami di atas, bahwa hukum mempunyai proses dalam penegakannya, disini pelaku lah yang selalu mangkir dari panggilan pihak kepolisian, bahkan terlapor melayangkan dua kali praperadilan namun hakim menolak. 

Dari sini mungkin sedikit terbaca, jikalau pelaku memang tidak bersalah kenapa harus menghindar dari panggilan pihak kepolisian, atau dia memang takut dan tidak tahu bagaimana proses hukum berjalan. Tapi yang perlu digaris bawahi setidaknya dia bisa membuktikan di pengadilan bahwa dirinya tidak bersalah atau difitnah, karena Hakim pasti lebih tau mengambil putusan yang bijak dengan asas-asas dan landasan hukum yang ada.

Bahkan di dalam Islam sendiri kita diajarkan harus patuh dan taat kepada ulil amri (pemegang kekuasaan) dengan cara mematuhi semua aturan hukum yang berlaku. Jelas disini siapapun pelakunya dan seberapa tinggi harkat martabatnya harus tetap tunduk pada hukum. 

Di sisi lain kita harus bijak menyikapi kasus ini, bukan berarti karena ada kasus Gus yang cabul kemudian pesantren dipandang kotor atau bahkan lebih parahnya tempat berlindung dari hukum, yang salah adalah oknum yang melakukan bukan pesantrennya. Meskipun beliau adalah Gus tetap saja juga manusia yang bisa salah.

Selama ini pesantren punya sumbangsih besar terhadap pendidikan di tanah air, jauh sebelum masyarakat Indonesia mengenal sekolah dan pendidikan lainnya pesantren sudah ada kala itu sebagai tempat menimba ilmu agama, hanya saja kali ini pesantren Lah yang tersorot oleh masyarakat.

Editor: Saa

Gambar: ANTARA Foto