Beberapa waktu yang lalu kabar soal pelecehan seksual terus muncul ke permukaan. Parahnya, hal tersebut terjadi di tempat-tempat yang mungkin tidak pernah kita duga.

Diawali dengan terungkapnya kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus. Hal tersebut jelas melunturkan kesan baik kampus yang bersangkutan dan membuat banyak orang berpikir berulang kali untuk memilihnya sebagai almamater.

Terungkapnya kasus pelecehan seksual lantas berlanjut, kali ini di sebuah intitusi yang disebut boarding school. Bahkan, kasus di sini bukan lagi pelecehan, melainkan pemerkosaan. Disebutkan bahwa korban dari kasus pemerkosaan tersebut berjumlah 12 orang.

Kendati telah disebut ‘boarding school’, banyak orang masih menganggap bahwa kasus pemerkosaan dimaksud terjadi di pesantren. Bicara soal pesantren, ia merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia.

Saat masa perjuangan, pesantren punya andil yang tak bisa dipandang sebelah mata. Seseorang dari kalangan pesantren, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi pencetus sebuah resolusi yang menegaskan bahwa hukum membela Tanah Air adalah fardlu ‘ain bagi setiap umat Islam Indonesia.

Resolusi tersebut dinamakan ‘Resolusi Jihad’. Tanggal pencetusan Resolusi Jihad di kemudian hari lantas ditetapkan sebagai peringatan Hari Santri Nasional.

Ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, menurut saya, merupakan satu bentuk apresiasi pemerintah terhadap kalangan pesantren. Lantaran hal tersebut, citra pesatren jadi semakin baik di mata masyarakat (khususnya mereka yang tak pernah bersinggungan sama sekali dengan pesantren).

Pesantren tak lagi dianggap sebagai sekadar tempat ‘pembuangan’ bagi anak-anak mbeling (nakal) agar perilakunya jadi lebih baik. Mereka (orang yang tidak pernah bersinggungan dengan pesantren) sudah mulai sadar bahwa pesantren ternyata merupakan tempat yang lebih baik daripada apa yang mereka kira selama ini.

Namun, problematikanya sekarang adalah citra baik yang melekat pada pesantren justru dimanfaatkan oleh sebagian orang. Contoh dari hal ini sudah saya sebutkan di awal. Masyarakat telah menganggap bahwa pesantren adalah tempat yang baik dan terpercaya, begitu juga dengan pendiri dan/atau pengelolanya.

Dasarnya apa? Ya karena yang namanya pesantren itu nggak bisa lepas dari agama (Islam). Tujuan orang tua mengantarkan anaknya ke pesantren adalah untuk belajar agama. Tapi mereka justru mendapati hal tak terduga dan sulit dipercaya.

Bagaimana tidak!? Lha wong seandainya Dajjal melihat apa yang dilakukan oleh Herry Wirawan, dia bisa jadi merasa minder. Bahkan nggak sedikit yang bilang bahwa iblis pun sungkem kepadanya.

Hal itu menunjukkan bahwa level kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan telah jauh melampaui batas normal. Melihat kasus Herry Wirawan ini, saya jadi teringat sebuah film yang memiliki inti cerita yang hampir sama dengannya.

Film tersebut berjudul “Mengaku Rasul: Sesat”. Diceritakan dalam film tersebut seseorang yang biasa dipanggil dengan Guru Samir mengaku sebagai rasul/utusan yang dijanjikan Allah swt menjelang hari akhir. Guna menampung orang-orang yang memercayainya, ia mendirikan sebuah padepokan.

Singkat cerita, salah satu tokoh yang bernama Aji menemukan kejanggalan dalam padepokan tersebut. Pasalnya, pendaftaran untuk bergabung dalam padepokan tersebut memiliki beberapa jenis paket.

Apabila mengambil paket eksekutif, maka benefit yang didapat adalah sertifikat dan jaminan masuk surga. Aji bahkan sempat melihat Guru Samir bersama seorang perempuan muda di sebuah bangunan yang diklaim sebagai tempat ber-khalwat dan menerima wahyu bagi Guru Samir.

Aji berniat mengungkap semua kejanggalan tersebut, tapi masalahnya ia belum punya saksi mata pendukung yang cukup. Aji lantas bertemu dengan Reyhan yang kemudian menceritakan asal-usul padepokan tersebut.

Akhir cerita, kedok Guru Samir pun terungkap. Ternyata ia menggunakan padepokan tersebut untuk menutupi dahaga nafsunya.

Film tersebut sebenarnya sangat bagus. Bukan semata menyuguhkan isu yang banyak bermunculan, tapi juga memiliki banyak plot twist. Sayangnya, film tersebut dilarang tayang di Indonesia karena beberapa alasan.

Tapi tenang saja, kita tetap bisa menontonnya di YouTube kok―meski dalam bentuk rangkuman alurnya. Apa yang dilalukan Herry Wirawan mungkin tidak seekstrem Guru Samir, tapi esensi perilaku mereka berdua sama, yakni memanfaatkan citra baik pesantren. Lantas, apa dampaknya?

Disadari atau tidak, perbuatan memanfaatkan citra baik pesantren jelas akan mengubah paradigma masyarakat terhadapnya. Bila semula orang menganggap bahwa pesantren adalah tempat untuk menimba ilmu agama dan memperbaiki akhlak, sangat mungkin persepsi tersebut berubah.

Masyarakat bisa saja berpikir, “Jangan-jangan ini hanya kedok seperti yang ada di berita beberapa waktu yang lalu!?”.

Akhirnya apa? Mereka jadi urung untuk memasukkan anaknya ke pesantren, mereka akan memilih alternatif tempat tinggal yang lain. Oleh sebab itu, guna melawan hal tersebut, pesantren harus lebih lantang untuk mengampanyekan sisi-sisi baiknya. Semoga citra baik dan eksistenti pesantren bisa terus bertahan hingga nanti, aamiin.

Editor: Ciqa

Gambar: Google.com