Masa perjuangan di Nusantara diwarnai oleh banyak tokoh-tokoh heroik. Beberapa nama yang tak asing di telinga, seperti Thomas Matulessy alias Pattimura, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Sultan Agung Mataram, dan lain sebagainya. Semua nama-nama itu banyak tertera dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Beberapa bahkan diabadikan dalam rupiah. Namun, ternyata selain mereka masih banyak tokoh-tokoh heroik di masa perjuangan yang luput dari rekaman buku sejarah, misalnya Nyi Ageng Serang.

Hal tersebut tentu membuat nama para tokoh yang dimaksud kurang dikenal oleh khalayak luas. Padahal kontribusinya dalam masa perjuangan tak bisa dipandang sebelah mata. Salah satu tokoh yang punya kontribusi besar saat masa perlawanan, tetapi namanya nyaris tak ditemukan dalam buku sejarah sekolah adalah Nyi Ageng Serang.

Perjuangan Nyi Ageng Serang

Siapa sebenarnya Nyi Ageng Serang ini? Dalam skripsi yang ditulis oleh Kayatun dengan judul “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro” dijelaskan bahwa Nyi Ageng Serang adalah tokoh pejuang perempuan dari Kerajaan Mataram.

Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1762, ada juga yang berpendapat bahwa ia lahir pada tahun 1752. Nama kecilnya adalah Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih. Ia lahir di Desa Serang, sebuah desa terpencil yang terletak 14 KM sebelah utara Kota Solo.

Desa Serang dulunya merupakan ‘tanah perdikan’, maksudnya ia merupakan daerah yang bebas pajak dan kerja rodi. Ayah Nyi Ageng Serang bernama Panembahan Natapraja, seroang adipati di Serang. Melalui jalur ayahnya tersebut, Nyi Ageng Serang memiliki nasab yang sampai pada Sunan Kalijaga. Sementara itu, ibunya merupakan seorang putri bangsawan Mataram keturunan Sultan Amangkurat III.

Nyi Ageng Serang tumbuh di lingkungan keluarga yang gigih melawan penjajah. Hal tersebut masih ditambah dengan balutan religiusitas yang kental. Hal tersebut secara bertahap telah membangun karakter Nyi Ageng Serang. Ia tumbuh sebagai perempuan pejuang, perempuan yang bercita-cita membantu ayahnya dalam membebaskan rakyat dari penindasan penjajah.

Nyi Ageng Serang memperkokoh tekadnya tersebut dengan belajar ilmu bela diri di Kadilangu. Tak hanya itu, Nyi Ageng Serang juga memupuk religiusitasnya dengan mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Saking pedulinya terhadap pentingnya menimba ilmu, Nyi Ageng Serang bahkan mengajarkan baca-tulis kepada para putri istana di sela-sela kesibukannya.

Kontribusi Nyi Ageng Serang dalam masa perjuangan begitu besar. Saat perang Diponegoro pecah, Nyi Ageng Serang menempati posisi panglima perang sekaligus penyusun strategi. Pasukan yang dipimpinnya diberi nama “pasukan semut ireng”, sebuah pasukan yang harus selalu siaga dalam keadaan apa pun.

Disebutkan dalam skripsi berjudul “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro” itu bahwa ketika bertempur, Nyi Ageng Serang senantiasa memakai zirah sekaligus menunggangi kuda putih. Ia juga selalu menyelipkan “Selendang Pusaka” pada tombaknya dalam setiap pertempuran.

Corak Pemikiran

Nyi Ageng Serang tetap melanjutkan perjuangannya melawan penjajah meskipun dirinya telah ditinggal gugur oleh kedua orang tua, kakak, serta suaminya di medan tempur. Beberapa wilayah yang pernah dipijaki oleh Nyi Ageng Serang beserta pasukannya dalam pertempuran, di antaranya Semarang, Juana, Purwodadi, Rembang, dan Demak.

Tempat yang pertama kali diporak-porandakan adalah pos Belanda yang ada di Gambringan. Penyerangan terus dilanjutkan hingga ke Purwodadi, kemudian ke Grobogan, Jakenan, lalu melingkar terus hingga ke Juana. Sesampainya di Juana inilah Nyi Ageng Serang lantas membentuk pasukan gerilya untuk memperluas jangkauan kekuatan. Strategi paling masyhur yang digunakan oleh Nyi Ageng Serang adalah penyamaran menggunakan daun talas hijau.

Ada satu hal yang unik dari corak pemikiran Nyi Ageng Serang. Ia berpandangan bahwa penjajahan itu bukan sekadar tentang penguasaan politik dan ekonomi. Lebih dari itu, penjajahan juga bertujuan mengaburkan definisi tepa selira, kebudayaan, kepribadian, bahkan kepercayaan atau aliran keagamaan; tak ketinggalan pula di dalamnya kemelaratan dan penderitaan.

Corak pemikiran yang seperti inilah yang mendongkrak semangat Nyi Ageng Serang dalam melawan penjajah. Kendati pada usia 73 tahun ia diangkat oleh Pangeran Diponegoro sebagai penasehat, Nyi Ageng Serang tetap bersikukuh terjun ke medan pertempuran bersama pasukan.

Kondisi kesehatan Nyi Ageng Serang kian menuruk ketika usianya menjelang 76 tahun. Ia lantas menutup usianya pada tahun 1828. Makamnya terletak di Dusun Beku, Kulon Progo. Mengingat kontribusinya yang begitu besar dalam masa perjuangan, Nyi Ageng Serang dianugerahi gelar pahlawan nasional melalui Surat Keppres No. 084/TK/1974 pada 13 Desember 1974.

Kendati namanya jarang ditemukan dalam buku sejarah sekolah, ia tak dilupakan begitu saja. Namanya kini diabadikan sebagai nama gedung Dinas Kebudayaan dan Permuseuman di Jakarta Selatan serta nama salah satu RSUD di Kabupaten Kulon Progo.

Editor: Nirwansyah

Gambar: Boombastis