Di kehidupan masyarakat Indonesia, kata pencitraan sudah menjadi hal yang pastinya nggak asing di telinga. Siapa pun pasti tahu akan kata ini. Biasanya, penggambaran pencitraan akan dikaitkan dengan aktivitas yang bersinggungan dengan sekumpulan ibu-ibu arisan, atau saudara-saudara di acara nikahan, atau bos yang berpeluang jadi pintu koneksi kerjaan.
Selama ini, pencitraan seringkali dimaknai negatif. Orang-orang umumnya akan selalu menghubungkan pencitraan dengan kata palsu dan bohong. Nah, kalau yang tidak pencitraan biasanya akan dicap asli atau apa adanya. Secara tidak langsung, kini tipe orang cenderung dikotak-kotakan menjadi “yang apa adanya” dan “yang pencitraan”.
Sebenarnya dikotomi seperti itu nggak terlepas dari kenyataan kalau memang banyak yang sudah lelah ditipu oleh janji-janji yang hanya berakhir sebagai angan-angan saja. Nah, maka menjadi apa adanya adalah daya tarik terbesar untuk orang-orang di masa yang penuh kebohongan seperti sekarang ini.
Saat ada sosok yang terlihat jujur, tidak neko-neko, track record-nya bersih, apalagi ditambah dengan pembawaan dan sikapnya yang mendukung, tidak perlu waktu lama untuk menunggu simpati orang-orang menjadi miliknya. Mereka yang percaya seringkali merasa bahwa sosok seperti itu adalah “harapan” baru. Tanpa memerhatikan kemungkinan bahwa ia juga bisa menjadi “jurang” baru. Sepertinya mereka lupa, menjadi “asli” kan juga bisa dibuat-buat.
Ketika akhirnya orang-orang yang percaya tadi ternyata tertipu lagi, hal inilah yang kemudian menyebabkan stigma buruk pencitraan semakin menjadi. Kebanyakan orang jadi mudah menganggap pihak-pihak yang hanya mencoba agar terlihat sebaik mungkin sebagai tukang bohong atau palsu (pengecualian buat politisi atau pejabat, itu gapapa). Padahal, siapa juga yang nggak mau kelihatan bagus.
Menganggap pencitraan sepenuhnya bermakna jelek bagi saya sama naifnya dengan mempercayai kalau kesuksesan bisa diraih hanya dengan usaha saja, tanpa privilege apapun. Alias anda kurang main bos.
Memangnya siapa sih yang nggak pernah pencitraan? Suka tidak suka, sadar tidak sadar, semua orang pasti pernah melakukan hal ini. Yang menjadi masalah adalah kita sudah terlanjur terbiasa dengan makna negatif dari pencitraan. Sehingga semua hal yang berbau hal ini akan selalu dicap jelek dan dianggap sebagai sebuah pembohongan atau penipuan belaka.
Contoh sederhananya gini, kalau kita mau nge-date sama gebetan, masa iya nggak mau kelihatan oke? Pasti ada minimal satu atau dua hal yang dipersiapkan biar si doi terkesan. Yang disiapkan disini bukan cuma penampilan, tapi apapun yang jadi bagian dari diri kita (kalau duit sih udah kewajiban, yha). Kalau ada yang mengaku hanya apa adanya, percayalah, apa adanya ke gebetan itu sama dengan dusta.
Terlebih lagi kalau sudah menyangkut ke ranah pekerjaan. Percaya deh, kerjaan nggak akan maju-maju kalau kitanya juga nggak berusaha terlihat bagus. Eits, disini saya tidak membahas biar nantinya gampang dapat orang dalam ya. Kalau iya sih ya syukur, tapi kalau engga ya sudahlah.
Lebih dari itu, saya berpikir kalau tidak selamanya menjadi apa adanya itu jauh lebih baik daripada pencitraan. Dalam banyak kasus, orang-orang yang katanya apa adanya ini justru cenderung nggak mau berusaha buat memoles dirinya. Pola pikirnya semacam, “Ya gue sih apa adanya aja. Kalau orang nggak suka, bodo amat.” Kalau seperti ini bukannya jatuhnya egois?
Seperti apa yang sudah saya bilang di awal, menjadi apa adanya sekarang sudah menjadi daya tarik terbesar untuk orang-orang. Secara tidak langsung ia sudah menjadi tren, hal yang memikat orang banyak.
Jika sudah menjadi tren, biasanya akan ada anggapan bahwa yang mengikuti tren ini pasti keren, pokoknya wow deh. Akibatnya, muncul orang-orang yang akan berusaha keras agar ia terlihat se-real mungkin. Kalau keadaannya sudah seperti itu, berarti ini termasuk pencitraan juga bukan? Mereka berusaha biar terlihat oke, biar menarik perhatian orang lain. Sebutannya adalah “pencitraan untuk terlihat apa adanya”.
Walaupun sebenarnya ada juga orang yang pencitraan dan niatnya memang jahat, tapi bukan berarti semuanya akan seperti itu pula. Bagi saya pribadi, niat jahat bisa datang dalam bentuk apa saja. Mau orangnya apa adanya atau pencitraan sekalipun, dua-duanya tetap bisa.
Justru menurut saya, orang-orang yang mengakui secara gamblang bahwa mereka membutuhkan pencitraan, sebetulnya mereka pula lah yang bersikap paling “apa adanya”. Karena mengakui hal yang kerap dipandang negatif di masyarakat tidak semudah itu bukan?
Akui saja, pencitraan itu kebutuhan hidup kita. Kalau dibilang ada maunya atau karena memang lagi butuh saja, memangnya manusia buat apa datang ke orang lain kalau nggak perlu apa-apa? Buat ngebahagiain orang-orang di sekitarnya sepenuhnya? Hidup tidak seindah itu ferguso~
Editor : Hammam Izzuddin
Foto : Pexels/Pressmaster
Comments