Pernahkah kalian mendengar ceritanya Beethoven dengan melodinya yang berjudul Fur Elise, atau cerita antara JD Salinger, Oona O’Neill, dan Chaplin, pernahkah? Atau pernahkah kalian mendengar cerita Barbara Allen yang lantas menjadi sebuah lagu? Apakah kalian pernah mendengar semua itu? apa yang menjadi kesamaan dalam cerita-cerita itu? Perkara hati, iya itulah yang menyamakannya.
Perkara hati adalah sesuatu yang mesti dipahami dengan hati-hati pula. Sebab, meski perkara ini terkadang nampak sederhana. Namun, percayalah tidak ada perkara hati yang sederhana sebagaimana lirik sajak Sapardi di puisinya “Aku Ingin”. Sebab mencintai dengan sederhana itu justru bentuk cinta yang paling tidak sesederhana.
Maka, siapa orang yang mampu mencintai dengan sederhana? Mencintai itu perkara yang rumit dan membingungkan, barangkali benar demikian. Mencintai acapkali dikaitkan dengan hati. Maka, tahukah kalian di mana letaknya hati? Ia berada pada lubuk yang dalam, berada pada raga yang cukup dalam, terbungkus tulang, daging, juga kulit. Betapa Tuhan menjaganya. Maka, jangan sekali-kali kalian sia-siakan.
Sesuai judul yang saya tuliskan di atas, perkara hati merupakan sesuatu yang harus diselesaikan sebelum kita beranjak untuk melangkah ke depan. Mengapa saya katakan demikian. Karena, acapkali urusan masa lampau dengan hati yang masih belum usai menjadi batu yang menjanggal perasaan kita untuk bisa lanjut menemui fase berikutnya. Sebelumnya, coba kita lihat cerita-cerita yang saya sebutkan di atas.
Beethoven dengan melodinya Fur Elise, meski ada yang paradoks antara siapa sebenarnya sosok perempuan yang dijadikan inspirasi oleh Beethoven itu. Apakah Therese atau Elise? Namun, siapapun itu, sama saja. Intinya ialah lagu itu diciptakan oleh Beethoven sebagai bentuk kegagalannya dalam percintaan. Dimana ia ditinggal menikah oleh wanita pujaannya, hingga ia membuat melodi itu.
Dan jika benar melodi itu Fur Elise, maka jelaslah lagu itu di tujukan untuk Elise. Hal pilu berikutnya terkait Beethoven dan lagu itu tak hanya sekadar ia ditinggal menikah oleh wanita idamannya kemudian membuat melodi lantas usai. Sebab, nyatanya ia justru berakhir dengan tidak pernah menikah seumur hidupnya.
Cerita kedua yaitu, cerita antara JD Salinger, Oona O’Neill, dan Chaplin. Hal pilu apa yang terjadi dalam cerita ini? Cerita ini bisa menjadi pilu kalau kalian memandangnya dari sudut JD Salinger. Coba saja lihat film Rebel in The Rye, dalam film ini digambarkan secara jelas bagaimana Salinger yang saat itu belum siapa-siapa jatuh cinta dan mendekati O’Neill putri dari seorang penulis naskah Amerika yang masyhur kala itu, putri dari peraih Nobel Eugene O’Neill. Mereka lantas sering bertukar surat, cukup romantis. Ah, bukan cukup lagi. Namun, memang romantis dan barangkali momen itu melekat pada kehidupan Salinger.
Ujungnya adalah Salinger memperoleh kabar melalui koran bahwa Oona O’Neil ternyata memilih menikah dengan Chaplin sebagai istri keempat. Tentu hal ini merupakan pukulan telak untuk Salinger. Kisah cinta ini adalah sebuah kemirisan atas luka masa lampau yang lantas menghadirkan luka yang tak juga usai.
Melihat dari masa lampau Oona, dimana beberapa artikel mengatakan bahwa ia kurang memperoleh kasih sayang dari keluarganya, terutama dari sosok ayah. Hingga membuatnya memilih menikah dengan Chaplin yang notaben berusia tak jauh dari ayahnya, sebagai bentuk pelampiasannya.
Setelahnya Salinger seolah tak benar-benar mampu melupakan Oona O’Neil dengan melampiaskannya melalui cara mengencani hingga menikahi wanita-wanita muda yang entah benar atau tidak karena ini adalah bentuk pelampiasannya setelah kandas dengan Oona O’Neil.
Bahkan dikatakan ia sulit menjalin hubungan serius dengan perempuan. Atau wanita yang terakhir dikabarkan dekat dengannya yang nyatanya juga memiliki kesamaan nama dengan Oona O’Neil, yakni Colleen O’Neil. Kalau benar demikian adanya, bukankah ini sungguh menunjukan bagaimana perasaan masa lampau yang belum usai mau tak mau mempengaruhi fase kita berikutnya, yang apabila dibanding kebaikannya justru banyak menjadi batu sandungan.
Maka, lagi-lagi perkara hati yang belum usai segerakanlah urusi dan usaikan sebelum melanjutkan laju. Saya memiliki sebuah cerita terkait hal ini yang dekat dan nyata saya temui. Sebut saja ia teman saya, salah seorang teman saya. Bertahun-tahun ia menyia-nyiakan hidupnya hanya untuk mencintai seseorang yang kalau dipikir-pikir bisa dikatakan separuh waktu hidupnya selama ia berusia 22 tahun ia gunakan untuk mencintai orang itu.
Iya, ia memang sempat memiliki kedekatan dengan orang itu dan barangkali mereka juga pernah menjalin sebuah hubungan yang disebut komitmen, pacaran, atau apalah kalian menyebutnya, hingga entah apa musababnya mereka akhirnya kandas dan berjalan masing-masing.
Namun, nyatanya berjalan masing-masing itu tak berlaku untuk teman saya. Sebab, selama berbelas tahun ini ia justru masih sangat memendam perasaannya terhadap mantan pasangannya itu. Ini sungguh luar biasa menurut saya, inilah manusia yang tabah seperti Hujan Bulan Juni yang sesungguhnya. Meski demikian, memendam perasaan dalam waktu yang cukup lama adalah perkara yang tak mudah.
Langkah teman saya nampak sekali sulit untuk bisa move on dan beranjak. Entah apa yang ia cari, barangkali kepastian dan pengakuan. Ujungnya adalah ketika ia menghubungi saya dan mengatakan ingin melakukan confes kepada mantannya itu. Satu hal yang spontan menjadi sahutan saya kala itu. “Apa yang kamu cari dengan melakukan confess ini? Kamu ingin ia kembali?” Sebab saya fikir, tidak bisa kita sebagai manusia memaksakan seseorang mencintai kita dan bukankah manusia memiliki jalannya sendiri?
“Ya saya hanya ingin menyelesaikan apa yang mengganjal dalam diri saya saja. Sungguh, toh saya juga tak mengharap ia membalas apapun. Saya hanya menyampaikan saja apa yang selama ini saya pendam. Kalau kamu tanya lagi apa alasannya? Ya saya hanya ingin bisa berjalan dengan baik dan tanpa sandungan.” Alasan temanku itu membuatku lantas merenung.
Benar juga, bukankah menyelesaikan perkara hati itu akan lebih baik, sehingga apabila kita menjalin hubungan dengan orang lain kedepannya tidak ada bayang-bayang masa lampau yang membersamai hidup dan hubungan kita. Tidak ada lagi luka seperti Salinger dan O’ona O’Neil, tidak ada lagi kesendirian sebagaimana Bethoven, atau akhir cinta tragis seperti Barbara Allen.
Menyelesaikan apa yang masih mengganjal terkait hati, saya rasa baik pula untuk sebuah hubungan. Sebab, dengan demikian tidak akan ada istilah menjalin hubungan tanpa alasan, atau bahkan menjalin hubungan sebagai pelampiasan. Apa yang dilakukan antara dua orang di hari ini ya murni perkara hari ini dan nanti, bukan karena perihal kemarin yang masih terus membayangi. Bukan pula bayangan masa lampau yang tak sempat terengkuh lantas melampiaskannya pada yang ada dan menjadi luka batin begitu saja.
Maka, sebagai pemilik hati mari sama-sama kita menengok adakah hal di masa lampau yang belum kita usaikan dan berkemungkinan menghambat jalan kita? Kalau ada, perlukah untuk kita selesaikan? Kalau iya, lakukan agar fase berikutnya lebih baik. Sebab, perkara hati memang harus hati-hati disikapi.
Foto: Pexels
Editor: Saa
Comments