Kondisi pendidikan negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana tidak? Hari ini lembaga pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pencetak insan bermoral dan intelektual, melainkan beralih fungsi menjadi mesin pencipta manusia industri, pencetak pundi-pundi rupiah.
Ihwal ini tentu saja merupakan hal yang sangat disayangkan, pendidikan yang seharusnya menjadi sektor terdepan dalam kemajuan bangsa, malah dinodai dengan urusan-urusan yang merugikan khalayak ramai.
Bukannya Mengasah Akal, Tapi Malah Ngakali
Fenomena lembaga pendidikan yang tidak sehat telah banyak dirasakan masyarakat. Mereka yang seharusnya mendidik sekaligus mengasah akal murid, malah berlaku sebaliknya, yaitu ngakali murid beserta wali-walinya.
Namun apa daya masyarakat biasa dan para wali murid. Hal yang bisa dilakukan hanyalah mengikuti apa yang diinginkan elit lembaga pendidikan.
Setidaknya dengan mengikuti apa yang diinginkan, mereka dapat menyelamatkan anak-anak dari putus sekolah, walaupun hal-hal yang diinginkan itu sebetulnya tidak masuk akal.
Salah satu contoh “permainan” yang dilakukan elit lembaga pendidikan adalah mewajibkan pembelian seragam yang harganya melangit.
Sebetulnya bisa saja wali murid membeli seragam atau menjahitnya sendiri sesuai dengan ketentuan sekolah. Namun itulah permainan mereka.
Wali murid diwajibkan untuk membeli seragam dari sekolah dengan harga yang tidak masuk akal. Untuk apa hal ini mereka wajibkan? Tentu saja untuk mencetak pundi-pundi rupiah.
Protes? maka silakan ambil anak anda dari sekolah kami. Itulah salah satu contoh bentuk “permainan” elit lembaga pendidikan.
Adapun elit lembaga pendidikan yang dimaksud disini bermacam-macam, bisa jadi staf-staf guru, kepala sekolah, orang-orang yang membuat regulasi seperti itu, dan bisa jadi orang-orang yang duduk di kursi kementrian.
Permainan Elit Lembaga Pendidikan
Beberapa contoh permainan elit lembaga pendidikan lainnya diantaranya adalah manipulasi Kartu Keluarga untuk memasukkan anak ke sekolah yang berada di luar zonasi.
Ada pula penarikan iuran dan sumbangan wajib bagi sekolah-sekolah yang sebetulnya sudah sepenuhnya disubsidi pemerintah.
Tenaga pendidik atau guru yang meminjam uang tabungan murid tanpa persetujuan dan tujuan yang jelas, pemanfaatan dana BOS yang tidak jelas dan tidak transparan.
Pemanfaatan dana bantuan pemerintah yang tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya juga termasuk didalamnya.
Seperti fenomena beberapa waktu lalu, dimana salah satu sekolah menghabiskan 500 juta untuk membangun kamar mandi yang biasa saja, pemberian gaji dan upah yang kecil bagi tenaga pendidik, dan lain-lain.
Namun, apakah ketika menyekolahkan anak kemudian menjadikan anak itu memiliki masa depan yang cerah? Tentu saja tidak, melihat angka pengangguran yang tinggi dan lulusan-lulusan lembaga pendidikan yang tiap tahun terus bertambah, menjadikan bahkan memantapkan bahwa biaya yang dikeluarkan wali murid untuk menyekolahkan anaknya sangatlah “tidak worth it”.
Bayar sekolah elit, cari kerja sulit, dan gajian limit. Maka tidak heran jika banyak dari WNI yang setiap tahunnya berpindah kewarganegaraan ke negara lain, Singapura misalnya, demi mendapatkan jaminan masa depan yang lebih cerah.
Institusi dengan Banyak Orang Sakit daripada Rumah Sakit
Fenomena lembaga pendidikan yang “nakal” ini sebetulnya tidak terjadi di seluruh institusi. Sehingga maksud tulisan ini bukanlah untuk menjelek-jelekan atau menggeneralisir lembaga pendidikan secara umum.
Namun tetap saja, dampak dan justifikasi buruk tetap dirasakan bagi seluruh lembaga pendidikan.
Imbas yang dirasakan bersama seharusnya menjadi cambuk bagi sesama mereka untuk saling ber-amar ma’ruf nahi mungkar, saling menopang, saling mengingatkan dan mensupport satu sama lain.
Apabila konsep amar ma’ruf nahi mungkar benar-benar terealisasi, maka bisa dibayangkan bahwa pendidikan di negeri ini akan menjadi kekuatan yang memberikan jaminan masa depan bangsa yang cerah. Karena memang pendidikanlah yang menjadi ujung tombak dari kemajuan bangsa.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga pendidikan di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Bahkan akan menjadi kecurigaan apabila lembaga pendidikan adem-ayem tidak ada pemberitaan suatu hal apapun.
Namun, inilah gambaran keadaan pendidikan negeri ini, dimana lembaga pendidikan menjadi institusi yang lebih banyak orang sakitnya daripada rumah sakit yang seharusnya memiliki banyak pasien.
Tentu saja dengan jenis sakit yang berbeda, bukan sakit fisik, melainkan sakit jiwa dan mental. Salah satu jenis penyakit yang justru lebih berbahaya daripada penyakit fisik, lebih susah diobati daripada penyakit jasmani.
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments