Pendidikan mengalami pertentangan yang begitu elastis di abad ini, abad virtualitas, sebuah abad dimana sendi-sendi kehidupan yang ril terunggah pada yang virtual dalam genggaman. Di abad baru ini, pendidikan semakin terasa bisa terjadi di mana saja. Di warung-warung kopi, di jalanan sambil mengemudikan motor, di kamar sambil rebahan, bahkan di toilet sambil jongkok membuang sisa-sisa kotoran. Semua bentuk pendidikan itu dilakukan melalui medium kotak sakti yang bisa digenggam, smartphone. Dengan segenggam smartphone, proses pendidikan telah terjadi. Ada seseorang yang sedang mendengarkan podcast close the door dengan serius di warkop, ada yang mendengarkan podcast Rintik Sedu di atas motor menggunakan headset, dan tidak sedikit yang menelaah kajian remeh-temeh kehidupan dalam bingkai filsafat Martin Suryajaya di toilet setiap pagi. Semua proses itu adalah bagian dari pendidikan informal yang telah terjadi di abad virtualitas hari ini. 

Namun, pemahaman dan gaya kuno pendidikan masih saja dilestarikan. Pendidikan selalu saja lekat dengan gelar. Pendidikan selalu saja tidak bisa lepas dari seragam sekolah, tas di punggung, sepatu hitam, dan rutinitas berangkat di pagi hari. Gaya pendidikan pun tak banyak berubah. Siswa berseragam berbondong-bondong datang ke sekolah dengan tertib. Siswa masuk ke dalam kelas, duduk dengan tertib, membuka buku, mendengarkan guru, dan mencatatnya. Selepas itu, siswa menutup bukunya, lalu pulang. Gaya itu terus terjadi setiap hari. Sepanjang hari, hingga jenuh. Ujung yang dicari jelas, ijazah dan gelar. Barangkali, satu-satunya hal penting yang bisa diambil dari proses pendidikan kuno tersebut hanyalah konsistensi dan ketekunan melawan rasa bosan dalam proses belajar. 

Jika ditinjau lebih jauh, persoalan kerdilnya  pemahaman pendidikan tidak bisa lepas dari aspek sumber daya manusia. Sumber daya manusia berpendidikan di negeri ini tak kunjung beranjak dari tempat duduk pendidikan kuno yang semakin berkarat. Para agen pendidik dan berbagai aspek yang mendukung tak lekas menyadari bahwa bangunan pendidikan kuno ini terlalu lapuk untuk bisa update dengan budaya-budaya baru, cara belajar baru, dan kajian-kajian baru yang semakin cepat beredar di dunia virtual. Pendidikan yang mulai lapuk ini disebut dengan pendidikan formal yang seringkali hanya menjadikan proses pendidikan sekadar formalitas belajar (Nuryatno, 2011).

Secara umum, jenis pendidikan dibagi menjadi 3(tiga), yaitu pendidikan formal, non formal, dan informal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang merujuk pada kegiatan-kegiatan formal yang sistematis dan teratur secara jelas, seperti sekolah dan universitas. Pendidikan non formal mengarah pada pendidikan di luar pendidikan formal yang mengasah kemampuan tambahan yang ada di pendidikan formal, seperti ekstrakurikuler dan lembaga les tambahan. Sedangkan, pendidikan informal merupakan pendidikan yang secara utuh menyatu dalam keseharian individu, seperti pendidikan keluarga dan lingkung sosial di sekitar. Akan tetapi, di abad virtualitas, dunia konten virtual menjadi bagian informal pendidikan individu yang perlu ditinjau, diperhatikan, dan dikaji secara lebih serius.

Dunia virtual di abad virtualitas perlu dioptimalkan sebagai momentum pendidikan informal. Smartphone atau gadget menjadi organ tubuh baru individu yang setiap informasi dan berbagai konten di dalamnya “in” atau masuk dengan tajam ke dalam kesadaran masing-masing individu. Proses pembentukan kesadaran itulah yang disebut oleh Freire sebagai proses pendidikan (Freire, 2000).

Tontonan dari Instagram, Twitter, Youtube dan sosial media lainnya menjadi bagian pendidikan informal, pendidikan yang menyatu lebih dekat daripada nasihat-nasihat orang tua. Setiap kali individu terbangun dari tidur, hal pertama yang dijamah adalah dunia virtualnya, bukan lagi ucapan keluarga di dunia riilnya. Hal pertama yang muncul dalam tangkapan matanya adalah ucapan “selamat pagi” dari kekasihnya melalui medium virtualitas ponselnya. Dunia virtual adalah dunia nyata baru yang memiliki elastisitas berbeda, tetapi mampu sama-sama menjadi jalannya proses pendidikan yang progresif. Di dunia ril, proses pendidikan terjadi secara absah dengan ruh kehadiran antar subjek yang menyentuh dan mendalam. Sedangkan di dunia virtual, proses pendidikan terjadi begitu elastis dan mudah dilakukan, bahkan rebahan sekaligus memejamkan mata untuk fokus mendengarkan konten pendidikan yang sedang disetel. 

Namun sama halnya dengan berbagai hal buruk di dunia ril, konten-konten virtual juga tak selamanya mengandung nilai-nilai edukasi. Tidak sedikit yang justru muncul malah konten “sampah” yang hanya mengejar viral dan menebar “ketololan”. Inilah yang menjadi soal dan perlu pengawalan dalam menjalani pendidikan informal di abad virtual. Pendidikan informal secara virtual perlu pengawalan yang mencerahkan dan segar dalam menyajikan edukasi, bukan justru dipenuhi sesak tragedi-tragedi virtual yang menghasilkan kebodohan.

Di tengah konten-konten “sampah” itu, tidak sedikit pula konten-konten bermutu yang memuat edukasi begitu manjur membentuk kesadaran baru yang progresif. Salah duanya adalah konten-konten Raditya Dika dan Pandji Pragiwaksono. Raditya Dika dan Pandji Pragiwaksono seringkali menyajikan edukasi di kanal Youtube pribadinya dalam format komedi. Mulai dari isu ringan oleh Raditya Dika seputar fenomena hubungan sosial sehari-hari hingga isu politik yang berat oleh Pandji. Keduanya saling mengisi kontennya dalam bentuk komedi yang mudah dicerna dan mencerahkan. Misalnya, Raditya Dika secara tidak langsung memberi pemahaman edukatif model berhubungan asmara yang ideal dan sehat, bukan justru memenjarakan. Sedangkan, Pandji mengangkat isu-isu nasional seperti pelanggaran HAM, legalisasi prostitusi, kerusuhan 98, tapi briliannya disajikan dalam bentuk komedi. Sehingga, penikmat kontennya terdidik, karena mendapat pemahaman baru, sekaligus terhibur, karena mendapat tawa dari penyajiannya. 

Selain kedua Youtuber dan Komedian di atas, masih teramat banyak bentangan pendidikan informal di abad virtualitas yang progresif membuka cakrawala pendidikan ke arah yang semakin cerah, seperti konten-konten Jerome Polin, Maudy Ayunda, Najwa Shihab, Bintang Emon, Martin Suryajaya, Fahrudin Faiz, Habib Ja’far, dan sejenisnya. Harapan pendidikan progresif dan kemajuan untuk bonus demografi Indonesia 2030 masih sangat mungkin menjadi harapan kemajuan. Harapan itu salah satunya tertuang dalam tulisan ini dan tulisan yang berharap adalah tulisan yang akan terus hidup. 

Daftar Pustaka

Freire, P. (2000). Pendidikan Sebagai Proses. pustaka pelajar.Nuryatno, M. A. (2011). Mazhab Pendidikan Kritis. Resist Book.

Editor : ciqa

Gambar : pexels