Hari Raya Idul Adha telah tiba, saatnya hati bergembira. Gema takbir yang berkumandang selepas berbuka menjadi sebuah pertanda bahwa pesta rakyat dimulai.

Allahuakbar … Allahuakbar …

Sapi dan kambing mulai berjajar memenuhi area qurban. Anak-anak berlarian seakan mendapat energi tambahan. Orang tua mulai mengondisikan dan bersiap untuk takbiran. Mukena, peci, sarung dan pisau disiapkan. Esok kita akan berqurban, menyembelih beberapa hewan dan segala sifat kebinatangan.

Allahuakbar … Allahuakbar …

Momentum Hari Raya Idul Adha merupakan momentum yang tepat untuk mengadakan pesta rakyat. Ketika semua ego ditepis dengan kumandang takbir yang saling bersautan, prosesi qurban yang mengedepankan ketaqwaan dan kebersamaan, kaum muda dan tua yang saling reunian dan hal lain yang masih segudang,  mengingatkan pentingnya saling memanusiakan dan mengagungkan Tuhan.

Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail berhasil mengajarkan tentang sebuah relasi, kepercayaan, keikhlasan dan ketaqwaan. Pelajaran tersebut sering terlupakan meskipun setiap tahun telah diingatkan bersamaan dengan syariat qurban.

10 Dzulhijjah menjadi tanggal yang mengharukan bagi seluruh umat muslim dunia. Tidak hanya tentang Ibrahim dan Ismail, tidak hanya tentang haji dan qurban yang seringkali menjadi pembahasan melainkan ada sebuah pesta yang sangat mengasyikkan.

Pesta Rakyat Hari Raya Idul Adha

Hidup di sebuah kampung yang berada di tengah perkotaan, membuat banyak hal cepat atau lambat berjalan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Pemuda gamers, pemuda hijrah, pemuda yang sibuk sendiri hingga yang kerjanya golar-goler menjaga parkir milik aset asing yang berada didekat rumahnya juga ada. Orang tua yang pergi ke sawah, kantoran, buruh industri atau yang sekedar duduk manis menunggu uang kos-kosan juga ada.

Sifat individualis mulai menyelimuti tapi gotong-royong senantiasa menghantui. Anak-anak selalu menjadi perekat seakan tidak tahu apa-apa. Mereka bermain sesukanya dari rumah ke rumah, dari gang ke gang menjadi semacam kontrol sosial yang mulai terabaikan.

Keragaman yang telah saya sebutkan di atas, menyebabkan betapa tingginya angka kesenjangan. Lantas apa datanya?  Cek saja, kamu akan menemukan bahwa Yogyakarta pernah menempati tingkat pertama.

Saya benar-benar menyaksikan kebenaran sebuah data meski hanya tinggal di salah satu titik di Yogyakarta. Tetangga yang terlilit hutang ada, yang kerap menjadi piutang juga ada. Miskin tak punya keluarga hingga kaya raya pun ada.

Akan tetapi, namanya kampung ya tetap kampung. Gotong royong harus tetap dikedepankan. Merti Desa dan Idul Adha selalu menjadi pesta paling meriah setiap tahunnya. Semua boleh ambil bagian meski ada yang hanya menonton dan berlari-larian, pokoknya boleh-boleh saja.

Yang membuat Idul Adha menjadi pesta paling spesial adalah, meskipun nggak ambil bagian kerja pun pasti tetap dapat jatah. Pembagian girik daging qurban untuk semua warga. Tidak pilih-pilih, semua warga pasti kebagian.

Saya yang notabenya jarang dolan, Idul Adha jadi momentum untuk nggumunan. “Loh si A udah sebesar itu, si B anaknya sudah besar-besar, Pak C sudah sepuh, Bu D masih terlihat segar, dsb”. Orang-orang yang jarang dolan seperti saya, juga menjadi tidak sungkan untuk keluar dan ikut berpesta. Ah, Idul Adha ini sangat menyenangkan, seakan menghapus kesenjangan yang ada.

Pesta gotong royongan, pesta lihat-lihatan, pesta makan-makan, pesta merayakan keagungan Tuhan. Ah kesenjangan, dikau telah kami sembelih. Semoga Allah meridhoi kepergianmu.