Setiap hari, ada canda yang terus, sedikit demi sedikit disampaikan dunia. Canda tentang dusta yang kini bukan lagi jadi hal tabu. Bukan lagi jadi hal yang biru. Bukan lagi jadi hal yang membuat orang malu.

Manusia masa kini sudah terbiasa membohongi diri sendiri. Dalam lingkar pergaulan yang hakikatnya sedang tidak baik, kita dengan mudah menafikan kekesalan dengan emoji. Iya, emoji. Begitu mudah kini, membohongi rasa dengan menyampaikan emoji ala-ala. Begitu mudah kini, menutupi sendu dengan mengetikkan emoji abu-abu. 

Semua Rancu

Kekesalan yang ditutupi oleh emoji seakan sudah menjadi rahasia umum di masa kini. Semua orang tau, bahwa apa yang terjadi tidak se-“wkwk”-itu. Semua orang sadar, bahwa hidup tetaplah sangar. Tetap seperti itu, tidak semenggelitik apa yang diketik.

Jadi, mana yang lebih baik? Menjaga perasaan si lawan-bagi-kabar, dengan dusta yang sama-sama kita sadar. Atau hanya menjadi seperti itu, yang kemudian menghasilkan hal menyakitkan, tapi tidak palsu?

Kamu pasti juga pernah berada di posisi itu. Posisi sedang berpura-pura bahwa kamu sedang baik-baik saja, atau posisi dimana kamu pura-pura mati—meninggalkan pesan singkat ­tenggelam-seakan-tidak-pernah-dikirim oleh empunya.

Hakikatnya, kita memang sedang berada di masa dimana pesan singkat adalah media perantara. Masa yang menggampangkan semuanya, menginginkan segala sesuatu disampaikan dan diselesaikan secara instan. Substansi-substansi hilang, parameter kepentingan berkurang.

Di masa dulu, yang sangat penting akan diperjuangkan lewat surat—yang dari situ bisa dilihat, bahwa pengirim memang membutuhkan respons bahkan bantuan. Ia mengupayakan permohonan itu lewat perjuangan dengan mengirimkan tulisanKetika dunia mulai maju, surat berubah ke media elektronik. Namun sama, substansi surat elektronik masih dianggap resmi—memiliki kepentingan dan urgensi.

Tapi sekarang, perubahan bisa kita rasakan. Semua ingin dilayani secara instan, lalu muncul pesan singkat. Pesan singkat bekerja dengan sangat cepat dan mudah diakses. Dengan itu, pesan singkat, meskipun resmi, menjadi hal yang berkurang nilai urgensinyakarena sederajat dengan pesan-pesan singkat biasa, yang sering dibuat untuk mempertanyakan hal iseng saja. Lalu kita memilih untuk tidak menghiraukan beberapa pesan singkat, dengan alasan malas, pesan itu tidak penting, atau malah, pesan itu bukan prioritas.

Akhirnya kita kembali bertanya pada diri. Pada fitrah, katanya. Masalah hati, masalah rasa, masalah-masalah metafisika yang sering dipermasalahkan manusia, semakin dewasa jadi semakin dirasa keberadaannya.

Hidup di Era Pura-pura

Itu yang dewasa ini sering jadi perbincangan. Jangan sok manis di depan tapi busuk di belakang. “Mending lu kalo gasuka tu bilang aja di depan, jangan bisik-bisik di belakang”

Tapi, memangnya kita bisa memvalidasi dengan cara yang demikian?

Pleasing people ternyata juga adalah anjuran dari norma Nusantara. Memberikan kelayakan kepada siapa yang kita hadapi itu anjuran bertata krama. Jadi, apakah tidak nge-fake, tapi malah menyakiti orang lain karena bersikap jujur patut dianggap sebagai anjuran?

Akhirnya, hal konkret yang bisa ditarik adalah konklusi bahwa pura-pura itu tidak apa, asal jangan ketahuan kalo di belakang kamu tidak suka. Lebih baik lagi, nge-fake tidak apa, tapi lama-lama kamu bisa pahami lawan bicara, dan sampaikan pelan-pelan—jelaskan apa yang diresahkan, hingga damai bisa diciptakan. Kalo begitu, lebih enak kan?

Kita sekarang dididik untuk jujur pada diri sendiri, yang demi itu, tidak apa-apa untuk menyakiti orang lain. Padahal itu tidak sepenuhnya benar. Kata nabi, cintai orang lain sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri. Jadi semua nya memang harus seimbang.

Dengan mencintai, kita akan dicintai, kan?

Penulis: Rachel Noorajavi

Penyunting: Aunillah Ahmad