Saya seringkali mendapatkan chat dari anak-anak tetangga yang merasa kesulitan saat mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Mereka meminta saran, arahan, dan terkadang jawaban untuk tugas-tugas tersebut. Padahal, tidak semua sarjana pendidikan menguasai seluruh bidang pelajaran.

Kalau tugasnya tentang Bahasa Indonesia sih, saya masih merasa oke-oke saja membantu karena memang bidang saya. Tapi, terkadang tugasnya justru bukan tentang Bahasa Indonesia, melainkan ilmu-ilmu pasti semacam Matematika, Fisika, dan sebagainya. Mendadak saya langsung pusing.

Sterotip Sarjana Pendidikan

Di desa saya, nggak tahu kenapa sudah terbentuk sebuah stereotip kalau sarjana pendidikan apalagi yang berprofesi guru, selalu dianggap bisa semua bidang pelajaran. Entah itu pelajaran SD, SMP, hingga SMA. Nggak peduli Matematika, trio IPA, Komputer, hingga Bahasa Inggris. Pokoknya, kalau kamu guru, kamu pasti bisa semua bidang pelajaran.

Hmm, padahal realitasnya nggak gitu, ya! Ya kali, sarjana Bahasa Indonesia macam saya ini malah dimintai tolong untuk ngajarin PR teori Archimedes atau membantu menyelesaikan soal hitung-hitungan dalam Matematika. Tentu saja saya nggak bisa, karena kuliahnya emang nggak belajar tentang itu!

Kala itu, beberapa anak tetangga juga datang ke rumah, karena nggak paham dengan tugas Biologinya. Haduh, saya mana paham sih tentang Biologi dan tetek bengeknya seputar makhluk hidup itu. Kalau dimintai bantuan untuk menyusun artikel seputar Biologi, kali aja saya masih bisa bantuin menyusun kalimatnya. Iya, cuma menyusun kalimatnya lho, ya. Isi artikelnya ya nyari sendiri.

Saya pikir, hal-hal kayak gitu cuma bakalan terjadi saat saya masih menjadi mahasiswa saja. Ternyata, setelah lulus dan sudah mengajar pun, saya masih ketiban tugas yang sama. Anehnya, meskipun berkali-kali saya mencoba menjelaskan ke tetangga bahwa saya ini dulunya kuliah jurusan Bahasa Indonesia, tetangga tetap saja tidak mau peduli. Bagi mereka, sebagai guru, saya pasti paham semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.

Ada juga tetangga yang datang pada saya sambil membawa laptop. Katanya sih, mau belajar tentang komputer. Padahal, dia di sekolahnya mengambil jurusan Komputer Jaringan. Lah, ngapain belajarnya sama saya? Emangnya di sekolah nggak diajari seputar dunia komputer?

Kalau hanya minta diajari cara mengoperasikan komputer, bagaimana menyalakan, mematikan, atau dasar-dasar Microsoft Word, saya mungkin masih mampu. Soalnya, emang sering dipakai buat nulis-nulis laporan dan artikel.

*

Akan tetapi, kalau minta diajari seputar tetek bengeknya Microsoft Excel, saya mohon maaf aja bos. Di mata kuliah Statistika aja—yang mengoperasikan Microsoft. Excel sama  SPSS, saya kebanyakan pusingnya. Nggak paham sama sekali. Gimana caranya mau ngajarin orang lain?

Terkadang, ada sih tetangga yang sedikit paham tentang bidang yang saya geluti, meskipun tetap saja salah sasaran. Setelah berkali-kali dijelaskan—hingga mulut rasanya berbusa—bahwa saya kuliahnya di jurusan Bahasa Indonesia, mereka mulai berhenti menyuruh anaknya untuk belajar seputar IPA dan Matematika pada saya. Namun, sebagai gantinya saya diminta untuk membantu tugas yang berhubungan dengan bahasa.

Hebatnya, bukan hanya Bahasa Indonesia, tapi bisa Bahasa Inggris, hingga Bahasa Daerah. Kalau hanya materi Bahasa Inggris dasar untuk anak SD dan SMP, saya mungkin masih bisa bantu. Dikit-dikit buka kamus sama Google gitu. Lah, kalau sudah materi Bahasa Inggris SMA? Saya nyerah aja. Apalagi kalau minta bantuan tentang Bahasa Daerah, saya sudah angkat tangan duluan. Bahasa Daerah bagi saya, bahkan lebih sulit dari mapel Bahasa Inggris.

Mengapa Stereotip Tersebut Bisa Terbentuk?

Setelah semua hal yang saya alami, saya mulai menebak-nebak, dari mana asalnya stereotip bahwa guru pasti bisa semua mata pelajaran ini berasal? Menurut saya ada satu alasan kuat, yaitu karena sebagian besar orang tua di daerah saya rata-rata berpendidikan rendah dan hanya tamatan SD, bahkan yang nggak tamat SD pun juga banyak.

Di SD, sudah pasti tiap guru biasanya menguasai semua bidang pelajaran. Mereka tentunya harus bisa Bahasa Indonesia, menguasai ilmu Matematika dasar, serta paham mengenai ilmu IPA. Jadi, wajar aja sih kalau rata-rata orang tua di desa saya mengira semua guru seperti guru SD. Multitasking dan menguasai segala bidang pelajaran.

Jadi, meskipun terkadang saya sudah menjelaskan—menjurus memohon—untuk menghilangkan stereotip bahwa, guru bisa semua bidang pelajaran, mereka tetap saja nggak mendengarkan. Walhasil, saya milih walk out dan nggak ngajarin anak-anaknya, meskipun seringnya malah dapat cibiran dan dibilang pelit ilmu.

Tapi, nggak apa-apa deh. Saya lebih suka dituduh pelit ilmu daripada harus menyesatkan anak-anak orang. Hehe.