Bulan lalu, bu Yono, salah satu tetangga saya mengirimkan pesan melalui WA. “Mba, anakku ikut lomba story telling se-kota Solo, minta tolong like yaa,” pinta dia disertai emotikon senyum dan namaste. Bu Yono adalah orang kesekian yang mengirimkan WApri, meminta dukungan berupa like. Terbatasnya pergaulan saat situasi pandemi, tak membuatnya putus harapan mencarikan dukungan dari semua kenalannya berupa like.

Memberi Like, Gerbang Silaturahmi

Sejak pandemi, dunia pertemanan saya lebih banyak dihabiskan dari satu WAG ke WAG lain dan dari satu medsos ke medsos lain. Permintaan like seperti yang dilakukan bu Yono kian meningkat seiring dengan kebijakan WFH. Dan dengan senang hati saya mengiyakan setiap permintaan tersebut. Mengapa? Karena menurut saya memberi like adalah usaha untuk selalu terhubung dengan orang lain, memberikan perhatian dan menyambung kembali tali silaturahmi.

Sedikit berbeda dari bu Yono, bu Rini teman arisan saya juga meminta dukungan like dari WAG ibu-ibu arisan. Unggul anaknya adalah seorang gitaris handal, dia sering mengikuti eventevent grup band mewakili sekolahnya. Sejak pandemi, dia nyaris vakum. Untuk mengisi kekosongan waktu, bu Rini merekam kegiatan anaknya dan mengunggah ke dalam channel youtube miliknya.

 “Dear mams, mohon like dan subscribe channel terbaru anak saya. Maturnuwun.” Demikian bunyi request dari bu Rini di WAG arisan. Grup yang didominasi ibu-ibu itu, kompak membuka link youtube dan klik! jumlah tanda jempol ke atas bertambah secara signifikan.

Dari cerita dua ibu tadi, kita jadi tahu jarak tidak mengurangi kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain, walaupun dalam bentuk yang baru (sosialisasi virtual). Pola interaksi yang terbatas membuat kebutuhan mendukung untuk didukung dalam bentuk like semakin besar.

Sebenarnya tidak hanya sebatas urusan dukung mendukung. Belakangan ini saya sering memberi like kepada teman-teman yang sudah lama tak ada kabar tapi tiba-tiba muncul di beranda facebook dan instagram. Mau langsung ngajak ngobrol, rasanya kok sungkan. Soalnya pernah ada kejadian, saya berlagak sok kenal sok dekat (SKSD) eh teman lama saya itu malah awkward, dan kemudian menghilang. Hahaha.

Penghamba Like

Baru-baru ini, tanpa sengaja saya menemukan akun teman yang sudah lama tidak ada kabar, sebut saja Wawan. Awalnya saya hanya ingin menyapa dia dengan mengeklik like di sebuah posting-an dia. Dari sebuah like, Wawan mulai membuka obrolan. Dia curhat tentang dirinya yang di PHK dari tempatnya bekerja selama bertahun-tahun.

Sejak peristiwa itu, dia dan keluarganya harus hidup serba kekurangan. Sebagai kawan baik yang bisa saya lakukan adalah mendukungnya. Memberi like pada semua posting-an dagangannya dan menyebarkannya dengan caption: “Bantu dagangan teman”.  Tak disangka hanya karena satu klik like terbukalah pintu silaturahmi yang menjadi jalan rejeki.

Akan tetapi tunggu dulu, saya perlu jelaskan bahwa saya bukanlah pendukung golongan penghamba like. Yang mengidap low forum frustration tolerance. Sebuah gangguan jiwa yang disebabkan oleh kekesalan akut jika mendapatkan like yang sedikit.

Saya menyingkapi adanya pola like – seperti bu Yono, bu Rini, dan Wawan – menjurus ke arah yang lebih positif. Like adalah sebuah pola yang sama dengan pengganti kehadiran dalam dunia nyata. Sebuah kehadiran virtual merupakan bentuk dukungan moril yang membuat penerimanya merasa bahagia.

Dukungan moril di saat jarak memisahkan, belakangan ini bisa menjadi sangat berarti. Sari, salah satu kenalan saya di instagram adalah seorang pendatang dari kota lain. Dari posting-an dan story di IG-nya, saya bisa tahu bahwa dia mengalami post traumatic stress disorder (PTSD). Perasaan sendiri, teralienasi baik di lingkungan pekerjaan maupun tempat tinggal sehingga membuatnya depresi.

Story di instagram adalah satu-satunya cara baginya mengekpresikan segala beban. Instagram dengan fitur tanggapan cepat berupa delapan jenis emotikon, sangat praktis untuk memberinya dukungan bahwa dia tidak sendiri. Masih ada orang lain yang mendukungnya dan memberikan perhatian untuknya.

“Terimakasih supportnya Kak,” tulis Sari melalui direct message (DM) atas tanggapan cepat berupa emotikon wajah yang tengah meneteskan air mata dari saya. “Semoga selalu sehat ya. Semangat!” jawab saya sambil mengirimkan sebuah tanda hati.

***

Dukungan berupa doa sebagai pemompa semangat adalah satu-satunya hal yang bisa saya katakan. Meski raga tak bisa mendekat, silaturahmi tetap melekat. Kita tidak tahu, satu klik dari kita untuk orang lain bisa jadi sangat berarti. Dan pada masa pandemi ini adalah momen yang paling tepat untuk saling berbagi – bukan kehadiran atau cuan, dimulai dari sebuah klik yang mewakili perhatian.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Freepik