Sedekah dalam kehidupan masyarakat Islam dinilai sebagai bentuk ibadah sosial (hablum min anâs) sehingga sedekah memiliki peran untuk memfungsikan hifdzu an-nafs dalam pembahasan maqashid syariah. Hifdzu an-nafs (menjaga jiwa) merupakan salah satu bentuk visi syariah yaitu dengan melindungi seluruh aspek yang menjamin keberlangsungan hidup manusia. Artinya, aspek-aspek yang menjadi penentu kehidupan manusia harus diprioritaskan. Sedekah juga dapat dinilai sebagai bentuk ibadah personal (hablum min allâh) sebagaimana disebutkan dalam hadis nabi bahwa zikir seperti tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil merupakan bagian dari bentuk sedekah. Mengapa disebut ibadah personal? Karena zikir merupakan bentuk amalan yang hasilnya lebih banyak dirasakan secara individu baik dalam bentuk ketenangan jiwa maupun ganjaran dari Allah.

Setelah mengetahui bahwa hifdzu an-nafs merupakan bagian dari prinsip syariah, maka perlu diketahui juga bahwa jiwa dalam kehidupan manusia memiliki dua komponen dasar yaitu jasmani dan rohani. Sedekah sebagai bentuk ibadah sosial merupakan bentuk ikhtiar untuk menopang kebutuhan jasmani seperti sedekah berupa harta. Adapun sedekah sebagai bentuk ibadah personal merupakan bentuk ikhtiar untuk menopang kebutuhan rohani sebagaimana sedekah berupa ucapan-ucapan zikir atau kalimat thayyibah.

 

Sedekah yang penting ikhlas

Banyak anggapan di tengah masyarakat yang menyatakan bahwa “sedekah itu yang penting ikhlas”. Hal ini tentu sulit untuk dikorelasikan dalam pemahaman hifdzu an-nafs. Alasannya adalah, pertama, hifdzu an-nafs merupakan prinsip syariah yang diimplementasikan salah satunya dalam bentuk ibadah sedekah. Sedekah inilah yang kemudian hasilnya diharapkan mampu menjaga kehidupan manusia baik jasmani maupun rohani sebagai sebuah kepentingan.

Kedua, sedekah merupakan bentuk ibadah. Sedangkan fondasi dalam melaksanakan ibadah itu ada dua: yaitu ikhlas (al-Mulk: 2) dan ittiba’ rasul/ sesuai dengan perintah dan contoh dari nabi (al-Kahfi: 110). Ikhlas disini dinilai sebagai syarat yang harus ada dalam melakukan amalan sedekah untuk melaksanakan kepentingannya yaitu menjaga jiwa. Sehingga ungkapan “sedekah itu yang penting ikhlas” terasa kurang tepat karena terlalu mengesampingkan syarat yang lain yaitu ittiba’ rasul, sedangkan sedekah yang ikhlas tanpa didasari ittiba’ rasul pun tidak dapat dinilai sebagai ibadah, seperti bersedekah barang haram yang tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi.

 

Sedekah itu yang penting banyak

Ungkapan-ungkapan demikian dapat diganti dengan kalimat “sedekah itu yang penting banyak”. Kata “sedekah” sudah berarti ikhlas dan ittiba’ rasul karena sedekah adalah bentuk ibadah yang harus memiliki dua dasar tersebut.

Sedekah tanpa didasari kedua unsur tersebut atau hilang salah satu unsurnya hanya dinilai sebagai bentuk pemberian biasa. Sedangkan kata “banyak” memiliki dua makna, banyak sedekahnya atau banyak yang mengamalkannya. Kedua makna tersebut sama-sama memiliki makna positif.

Pertama, banyak sedekahnya adalah sebuah kata yang relatif sehingga dapat juga diartikan dengan “sedekah semampunya”. Sedekah sebagai bentuk ibadah sosial dapat diibaratkan seperti anak kecil yang bersedekah memberikan harta berupa uang sepuluh ribu rupiah. Baginya mungkin saja itu sudah banyak, namun tidak dengan orang tua/ dewasa. Sehingga, “banyak” disini disesuaikan dengan kemampuannya. Dalam makna sebagai ibadah personal, dapat diibaratkan seperti orang yang selalu mengucapkan kalimat dzikir kapanpun dan dimanapun untuk menjaga nutrisi ruhaninya.

Kedua, banyak yang mengamalkan, artinya sedekah yang diamalkan baik dalam bentuk ibadah sosial maupun ibadah personal akan memunculkan efek positif yaitu terjaganya kehidupan jasmani dan rohani dalam kehidupan manusia.

***

Kata banyak inilah yang seharusnya diintegrasikan dengan kata sedekah sebagai sebuah ke-penting-an. Kata penting yang dimaksud adalah yang memiliki makna kebermanfaatan bagi kehidupan jasmani dan rohani sebagai komponen utama, dan hasil implementasi hifdzu an-nafs sebagai bagian dari prinsip syariah.

 

Penulis: Shihab Wicaksono Ardhi

Penyunting: Aunillah Ahmad