Dijaman sekarang, siapa sih yang nggak punya media sosial? Saya kira semua orang pasti punya dan tau akan keberadaan media sosial. Khususnya aplikasi TikTok. Semenjak pandemi dan Work From Home diberlakukan oleh pemerintah, TikTok menjadi media sosial yang paling banyak diunduh oleh masyarakat. Dari TikTok inilah muncul berbagai konten hiburan dan juga informasi-informasi yang dikemas secara menarik dan disampaikan dalam bentuk video berdurasi pendek.

Konten Hiburan di TikTok

Baru-baru ini, beredar sebuah video TikTok yang tiba-tiba menjadi Trending Topic Indonesia di Twitter. Hal ini menunjukkan bahwa teori Mc Luhan tentang The exstension of man adalah benar adanya. Media adalah suatu bentuk perluasan manusia. Media mem-viralkan sesuatu yang menarik perhatian lewat media massa.

Video yang berdurasi selama 49 detik tersebut menampilkan seorang pemuda dan beberapa anak kecil. Pemilik akun @Iben_ma bertanya kepada beberapa anak SD mengenai kepanjangan jenjang pendidikan mereka. Jawaban mereka sangatlah beragam, mulai dari  “SD Jami”, “SD 08”, “Sekolah Duduk”, dan jawaban yang menjadi trending topic adalah “Sekolah Dihapus”. Karena kalimat ambigu itulah muncul komentar-komentar netizen yang memicu opini-opini publik.  

Opini pertama, yaitu komentar tentang mirisnya pendidikan yang berada di Indonesia. “Aku kok miris ya, apa seancur ini pendidikan di negeri kita, bahkan singkatan SD aja siswa-siswa gak tau. Ada yang salah dengan pendidikan kita. Pendidikan Dasar itu penting, bahkan di negara maju gaji guru semakin tinggi di tingkat yang lebih rendah,” tulis @Ahmadyani***. “Singkatan SD aja gak tau, gimana singkatan lainnya yang ada di ujian huhuhu,” tulis @Arini_dwians***.

Opini yang kedua adalah kesalahan pemilik akun TikTok, karena konten yang tidak ada perizinan antarpihak dan terkesan merendahkan orang lain. “Ya setidaknya kalau mau buat konten ginian, di blur wajah anaknya. Jejak digital kejam. Apa sudah ijin sama ortunya kalau anaknya di jadiin konten kaya gitu?” tulis @triztanFa**. “Makin kesini konten2 pertanyaan doi lebih bertujuan buat ngetawain kebodohan kecil orang2 ga sih?” komentar dari @itsbaby*** dan dibalas oleh akun @Andries*** “Bner bngt, seakan² dia nanya buat nyari² kesalahan org sih. Udah gitu kebodohan org dijadiin entertainnya dia.. Pdhl ngasih tau aja kek kalo ga bisa mreka jawab dgn benar”.

“Sekolah Dihapus”

Adapun komentar paling epik adalah menceritakan tentang pengalaman pribadi seperti yang ditulis oleh akun @djlaw**. “Tapi emg kepanjangan SD itu gak diajarin scr tertulis, wajar kalau mrk gaktau. Aku pun jujur tau kepanjangan SD pas udah kelas 6, sementara kepanjangan SMP, SLTP, SMU/SMA itu pas SMP baru aku tahu. Krn yah emg kepanjangannya itu gak pernah diajari”.

Dalam konteks media dan masyarakat, di sini Tiktok berperan sebagai as a mirror atau cermin yang merefleksikan peristiwa sekitar dan apa adanya. Dan Twitter berperan sebagai as a forum atau tempat diskusi masyarakat untuk menggiring opini masing-masing setiap individu. Selain itu, terdapat faktor pemicu pada netizen yang berkomentar. Faktor ini disebut dengan selective attention.

Menurut Alexis S Tan (1981), perbedaan individu merupakan hasil dari struktur kognitif seseorang yang berbeda dalam menerima pesan-pesan media, jenis media massa pun beragam silih berganti menerpa seseorang. Kita mempunyai kemampuan untuk selektif hanya pada pesan-pesan yang menarik perhatian kita.

Oleh karena itu, “Sekolah Dihapus” menunjukkan bahwa ia adalah konten yang menarik perhatian masyarakat untuk dibahas. Walaupun beberapa orang menganggap hal itu lucu, namun banyak juga yang menganggap bahwa jawaban mereka merupakan cerminan buruknya pendidikan di Indonesia.

Bukankah itu terlalu keterlaluan? Hanya karena tidak mengetahui singkatan dari jenjang pendidikan SD sudah menjadi tolak ukur akan betapa mirisnya pendidikan di Indonesia? Karena, mau bagaimana pun konten ini adalah salah satu fungsi dari peran media, yaitu hiburan.

Meskipun hanya media hiburan, hal ini tetap saja menyebabkan efek, entah itu jangka panjang ataupun jangka pendek. Solusi yang tepat akan hal ini adalah khalayak yang melek media dapat memilih media dan jenis konten (isi) yang bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu.

***

Selain itu, peningkatan literasi media juga sangat dibutuhkan di era ini. Karena, melalui pemahaman-pemahaman tersebut, khalayak yang melek media menyadari hubungan mereka terhadap media dan mampu menilai serta memaknai pesan-pesan media yang dikonsumsinya.

Jadi, setiap individu mampu membedakan mana konten selingan dan mana yang harus ditanggapi secara serius. Sebab, terkadang netizen cenderung mempermasalahkan hal yang sepele, tetapi tidak peduli dan pasif jika sesuatu yang buruk terjadi di negerinya.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Kompas.com