Judul di atas benar-benar terjadi pada diri saya. Memang sering kali saya terbayang pengin kuliah di kampus swasta. Bukan karena saya nggak bersyukur, melainkan karena sudah merasakan kuliah di kampus negeri dan bergaul dengan teman-teman dari banyak kampus lain.

Rasanya Keterima di Kampus Negeri

Saya adalah mahasiswa semester 8 menuju 9 sebuah kampus negeri di Jogja, sebut saja namanya Universitas Gejayan Ke-barat.

Dulu, tepatnya tahun 2016 saya masuk lewat jalur mandiri setelah nggak keterima di SNMPTN maupun SBMPTN. Sebenarnya saya nggak cukup percaya diri masuk kampus ini. Karena pada saat itu saya terlalu asyik berorganisasi, sampai lupa belajar.

Alhasil, waktu diterima malah jadi nggak menyangka. Rasa nggumun ini bertahan sampai kira-kira satu semester, karena terlalu nggumun akhirnya performa akademik semester 1 saya nggak maksimal. Lalu semester kedua bertekad buat maksimal, eh malah patah hati, ambyar deh. Ya sudah, sampai akhir nggak pernah benar-benar maksimal.

Duh, kok malah membahas masalah lika-liku kehidupan sih, hahaha. Oke, kembali ke bahasan utama.

Usaha saya masuk kampus ini bisa dibilang nggak maksimal. Kalah jauh dibanding teman-teman lain yang ambis maupun yang biasa-biasa saja. Ya gimana, saya baru mulai belajar dua pekan sebelum SBMPTN dan nggak ikut les. Padahal yang lain les mahal-mahal, belajar sejak awal kelas 12, dan sampai rajin berdoa serta salat tahajud juga.

Tapi, begitulah kejamnya dunia bagi teman-teman saya yang sudah berjuang sekuat tenaga itu. Sudah jadi rahasia umum bahwa penerimaan kampus negeri bukan murni kemampuan akademik. Ada faktor daerah asal, ada faktor asal sekolah, jumlah saingan, dan mungkin banyak lagi faktor yang hanya diketahui bapak-ibu panitia dan Tuhan saja.

Sering Kali, Saya Pengin Kuliah di Kampus Swasta

Tapi herannya, tetap saja orang-orang banyak yang mempertaruhkan waktu, tenaga, dan biaya hanya demi masuk kampus negeri. Padahal, menurut saya, meskipun diterima masuk kampus negeri, usaha yang terlalu keras demi masuk kampus negeri bakal jadi usaha yang sia-sia.

Karena sudah jelas, pelajaran-pelajaran yang diujikan di SBMPTN maupun ujian mandiri hanya sedikit yang terpakai dalam perkuliahan.

Walhasil, untuk mahasiswa dengan prodi kuliah berbeda dari mata pelajaran dalam SBMPTN/ujian mandiri, hasil belajar mereka akan sia-sia. Mungkin hanya mereka yang menyambi sebagai guru/guru les saja yang usahanya nggak sia-sia.

Bahkan kalau masih ada yang merasa nggak sia-sia, bagi saya mending uang yang dipakai les digunakan untuk belajar desain atau jadi Youtuber. Diterima di kampus negeri atau enggak, tetap bisa cepat kaya, hehehe.

Belum lagi ada yang mengabiskan uang dalam jumlah nggak masuk akal untuk daftar via jalur joki. Salah satu teman saya memberi bocoran kalau tes menggunakan jasa joki butuh biaya 200 juta. Wah, kalau yang satu ini sih melampaui batas kewajaran.

Mereka yang pengin banget kuliah di kampus negeri ini berbeda dengan saya. Setelah kuliah saya justru sering kali pengin kuliah di kampus swasta karena kampus swasta menawarkan jaringan luar biasa luas.

Misalnya kampus Muhammadiyah di Jogja, karena posisinya di “ibukota Muhammadiyah” maka jalan menuju pergaulan tingkat nasional tersedia sangat luas.

Kampus Swasta? Bagus Juga, Kok!

Karena perjuangan masuk kampus negeri yang melampaui batas kewajaran, maka pilihan masuk ke kampus swasta patut dipertimbangkan. Banyak jurusan yang membutuhkan usaha nggak sekeras kampus negeri. Saya pun dahulu begitu, sudah ikhlas daftar kampus swasta kalau nggak keterima–walaupun akhirnya nggak kejadian.

Tapi, banyak yang bilang kampus swasta nggak sebagus kampus negeri. Padahal menurut pengamatan saya belum tentu begitu. Di tingkat prodi banyak kampus swasta yang bersaing bahkan lebih baik dari kampus negeri.

Selanjutnya banyak yang menganggap kampus swasta mahal. Ini juga meskipun berlaku secara umum, tapi belum tentu benar. Pertama, sekarang UKT di kampus negeri juga banyak yang menyaingi mahalnya SPP kampus swasta. Kedua, di kampus swasta juga banyak beasiswa tersedia.

Satu lagi yang menarik, ini pandangan saya pribadi. Prospek ke depan sepertinya lebih bagus kampus swasta daripada kampus negeri. Lah gimana, ketika kampus negeri masih menerima protes tentang sistem UKT dan PTNBH, beberapa kampus swasta justru sudah bisa mendiversifikasi pemasukan. Sehingga, kampus-kampus tersebut nggak melulu mengandalkan pemasukan dari uang kuliah mahasiswa.

Misalnya sebagian kampus Muhammadiyah sudah dikenal dengan usaha SPBU, penyewaan gelanggang olahraga, kafe, sampai taman wisata dan hotel. Karena pencapaian ini, kampus-kampus bisa mengalokasikan anggaran bukan hanya untuk kebutuhan kampus melainkan juga bisa mengarah ke filantropi.

Khusus di bagian filantropi, beberapa teman yang kuliah di salah satu kampus swasta saat pandemi sempat nyeletuk, “Aku ikhlas SPP nggak dipotong demi membantu orang-orang yang terpapar pandemi“. Eh, ternyata sudah baik ke warga yang terpapar, para mahasiswa juga mendapatkan potongan 50% SPP.

Belum lagi kalau membandingkan dengan kampus besar luar negeri. Misalnya Harvard, Cambridge, sampai Oxford pun merupakan kampus swasta. Maka bisa fenomena serupa di masa depan bisa terjadi di Indonesia.

***

Kampus negeri dipilih selain karena biaya yang dianggap murah juga karena gengsi yang tinggi. Misalnya nih, presiden dan beberapa menteri berasal dari kampus negeri. Jaminan karir konon juga lebih pasti di kampus negeri.

Padahal jaman sekarang jalan kesuksesan nggak cuma dari kampus negeri. Di manapun kita kuliah asal bisa menempatkan diri dengan tepat pasti bisa sukses.

Jadi, gimana, bagi kamu yang masih SMA/sederajat ataupun sudah lulus tapi belum dapat kampus apakah tertarik buat kuliah di kampus swasta?

Editor: Hammam
Gambar: Yorkmix