Think Policy Society adalah komunitas profesional muda yang bertujuan mendorong kolaborasi lintas sektor dalam pembuatan kebijakan publik berbasis data dan empati di Indonesia yang berdiri sejak awal 2019.

Pada acara soft launching yang diadakan pada Ahad (28/6), Think Policy Society memperkenalkan inisiatif baru ‘Online Academy’. Inisiatif ini melengkapi 2 program unggulan lainnya: Think Policy Society Bootcamp dan Ruang Tengah.

Yang menarik dari soft launching kemarin adalah, Chatib Basri, Menteri Keuangan Indonesia tahun 2013-2014 menceritakan 2 kisah inspiratif: America’s Cup dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), serta apa pelajaran yang bisa dipetik dari 2 pengalaman tersebut.

America’s Cup

America’s Cup adalah kompetisi perahu layar bergengsi di Amerika yang sudah ada sejak 1851. Pada babak final 1983, Amerika dengan kapal terkenalnya, Liberty bertanding melawan kapal Australia bernama Australia II.

Saat perlombaan dimulai, Liberty sudah unggul 37 detik di depan kapal Australia. Tim dan keluarga Liberty sudah bersiap merayakan kemenangan.

Kapal Australia, karena tertinggal, memutuskan bertaruh untuk mengambil trek sebelah kiri. Sementara kapal Amerika tetap bertahan di trek yang sama. “Kalau saya bertahan dalam posisi yang sama, saya akan kalah dengan Amerika. Maka saya harus mengambil sesuatu (inisiatif, red), saya alihkan ke kiri kapal saya”.

Taruhan tadi terbayar. Ternyata, head wind di trek sebelah kiri lebih kecil dibanding angin di trek kapal Liberty. Spekulasi ini membuat Australia II memenangi pertandingan dan mengalahkan juara bertahan, Liberty.

Kenapa Pemimpin Cenderung menjadi Pengikut?

Di dalam lomba perahu/ kapal layar, kata pak Dede, panggilan akrab Chatib Basri “Tidak penting Anda kalah berapa detik atau menang berapa detik dibanding lawan Anda. Seandainya kapal Amerika mengikuti gerakan dari kapal Australia yang belok ke kiri, dia akan mempertahankan distance-nya, sekitar 37 detik di depan”.

“Tetapi, yang terjadi adalah kapal Amerika memutuskan untuk tidak mengikuti mereka yang kalah. Sehingga, akhirnya dia kalah” sambung Chatib.

Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini adalah, “Kalau Anda leader, Anda harus jadi follower. Kenapa? Karena yang dilakukan adalah ‘monkey see, monkey do’. Jadi kalau follower Anda belok kiri, ya Anda ikutin aja. Follower Anda belok kanan, Anda ikuti saja. Maka Anda akan mempertahankan distance itu terus seperti itu. Maka follower Anda tidak akan pernah berhasil mengambil alih game”.

Ini adalah hal yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah ‘establish’. “Karena kalau salah, dia sudah punya reputasi. Semuanya juga salah. Kalau dia benar, maka dia akan dibilang “Wah, ini reputasinya hebat”. Sehingga ada kecenderungan bahwa mereka yang jadi leader itu akan jadi follower”. Hal ini yang membuat orang yang sudah ‘establish’ tadi jarang datang dengan inovasi baru.

Hal ini terjadi di dalam dunia teknologi. IBM terkenal dengan standar dan pakem-pakem. Sedang inovasi biasanya datang dari Apple atau start-up teknologi lain.

Apa Implikasinya?

Kelompok yang ‘establish’ cenderung tidak berani mengambil risiko, karena mereka akan mempertahankan reputasinya. Yang mereka lakukan biasanya hanya mengikuti kecenderungan publik. “Kalau publik bilang begini, dia akan ikuti. Toh dia sudah leading”.

“Tetapi mereka yang baru mulai, itu harus mengambil 2 pilihan: dia ambil contrarian; kalau dia benar, maka dia akan jadi leader. Tetapi kalau dia kalah/ salah, dia tidak akan pernah terdengar. Ngga pernah ada orang yang tau”

Itu sebabnya, perubahan hanya bisa dibuat oleh anak muda. Karena, kemampuan inovasi dan keinginan untuk berubah selalu datang. Sementara dari mereka yang sudah ‘establish’, cenderung mempertahankan posisinya.

Bagaimana Melakukan Pembaruan?

Dalam pidato yang disampaikan Chatib Basri, ia juga menyampaikan tentang betapa pentingnya reform, pembaruan/ perbaikan dilakukan di sebuah institusi.

Biasanya, teori ekonomi berbicara tentang bagaimana pembaruan itu bermanfaat untuk sebuah negara. “Tetapi mereka tidak berbicara mengenai bagaimana reform itu dilakukan“.

Pembaruan bisa dimulai dari sesuatu yang sangat sederhana, dibawah kontrol kita. Ketika pembaruan itu berhasil, dibuatlah kisah suksesnya, kemudian baru dapat dukungan politik. Ketika dukungan politik tadi menjadi lebih besar, barulah kita mampu melakukan pembaruan yang lebih kompleks.

“Kadang-kadang, kita terlalu bersemangat. Kita mau memulai sesuatu reform dengan reform yang sangat sulit. Padahal political capital kita ga cukup. Jadi, kita juga mesti sadar ketika political capital kita itu limited, kita harus create success story, kita harus ciptakan supaya kita gain political support, agar reform ini bisa dijalankan.

Terakhir, kata Chatib “Problem dari akademisi, seperti saya, seperti banyak orang yang di public policy adalah ketika dia propose reform, reformnya tidak jalan, dia salahkan politisi. Padahal yang harus dilakukan adalah how to incentifies politicians atau leaders to do reform”.

***

So, sudah siap melakukan pembaruan di komunitasmu?

Penulis: Aunillah Ahmad