Sebagai manusia, hidup di dunia nyata memang haruslah bersikap dewasa. Akan tetapi, di saat ini, belum tentu manusia yang dewasa di dunia nyata, itu juga dewasa di dunia maya. 

Riset terakhir di tahun 2021 dirangkum Kompas Tekno dari We Are Social tentang intensitas masyarakat Indonesia yang menggunakan sosial media menyentuh angka 8 jam 52 menit per harinya. Hal itu menunjukkan bahwasannya masyarakat Indonesia ketika sudah bangun tidur, kebanyakan hidupnya diproyeksikan di dunia virtual ketimbang di dunia nyata. 

Memang nggak bisa dipungkiri sih, sejak lahirnya modernisasi, kita sebagai makhluk yang katanya para filsuf fitrahnya itu enggak bisa lepas dari eksistensi, mau enggak mau, yah harus terjun ke dalam dunia sosial media. Dari mulai komunikasi online, pesan makanan online, belanja online, sampai bahkan berdo’a dan beribadah secara online. Iya, bukan?

Di satu sisi kita melihatnya memang sosial media lebih pragmatis dalam hal menyediakan ruang eksis. Tapi, di sisi yang lain, juga memberi dampak yang sangat krusial bagi kualitas diri seorang insan. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang di awal niatnya untuk berekspresi, eh malah melahirkan dehumanisasi.

Seperti yang saya alami baru-baru ini, yakni peristiwa ketersinggungan. Ketika saya update story dengan kata-kata yang saya buat sendiri tentang isu-isu kehidupan sosial, tiba-tiba ada saja yang komen nyuruh buat jangan update story yang terlalu satire dan menohok. Tentu bukan orang itu yang tersinggung, tapi dia adalah salah satu kawan dari orang yang tersinggung, yang juga salah satu kawan saya. Enggak satu atau dua kali saya mendapat teguran seperti itu.

Story saya kadang kala memang sedikit satire dan menohok, alih-alih buat mengekspresikan diri, tapi ada konotasi yang memang saya buat untuk menyinggung. Namun, di kasus tersebut, saya bukan bermaksud untuk melukai perasaan seseorang, tapi untuk memberi afirmasi bahwa apa yang saya ekspresikan itu adalah hal yang perlu dipertimbangkan dalam kehidupan manusia. 

Setelah mendapat laporan terkait ketersinggungan dari seorang kawan, lantas saya menilik sosial media dari kawan yang katanya tersinggung tadi. Ternyata dia pun update story, dan kontennya menyinggung saya. Isi story sosial medianya adalah cuplikan video dari seorang pemuka agama, lalu merembet sampai pada hadist-hadist yang saya tidak tahu sahih apa tidak. Intinya konten dia menyuruh agar jangan memakai kata-kata yang membuat orang bisa tersinggung.

Melihat itu, seketika saya langsung berpikir, “ini maksudnya apa sih orang-orang, katanya melarang orang buat enggak boleh menyinggung, tapi kok malah dirinya sendiri menyinggung”.

Tentu saya sangat mengerti, bahwa yang dimaksud itu jangan memakai kata-kata kasar ataupun vulgar, yang menyebabkan perasaan orang lain tersinggung. Tapi, kalau memang tujuan otentik dari konten dia adalah ‘mengingatkan orang-orang agar tidak sampai menyinggung orang lain’, lantas, bukankah dia sedang menjilat ludahnya sendiri? di mana saya termasuk yang tersinggung.

Sekilas memang seperti paradoks persoalan ini, tapi sebetulnya sepemahaman pendek saya: ini hanyalah perkara subjektivitas yang perlu disadari oleh orang-orang dalam bermain sosial media. Kita perlu menyadari bahwa sosial media adalah tempat berkumpulnya banyak orang; banyak pikiran; banyak kepribadian. Atau dengan kata lain, ketika kita memutuskan untuk terjun ke dalam sosial media, maka kita juga memutuskan untuk berhadapan dengan banyak perbedaan. Oleh karena itu, tidak bisa kita mengatur sepenuhnya isi otak orang lain agar sesuai dengan isi otak kita sendiri.

Bukan maksud hati melarang mereka untuk saling mengingatkan atau melepaskan perihal agama. Tapi, seyogianya kita harus lebih dewasa lagi dalam bermain sosial media. Bukan hanya dewasa dalam menampilkan konten saja, tapi juga dewasa dalam menerima dan menyikapi konten yang ada di sosial media. Sah-sah saja saling mengingatkan, memakai dalih agama, apalagi di negara kita yang sangatlah pekat dengan religiusitas.

Nah, tapi, dengan kita bersikap demikian, bukan berarti kita kemudian mengkambing hitamkan orang lain atas ketidakmampuan kita dalam menerima ketersinggungan. Kita perlu kritis dalam memandang dunia luar dan diri kita sendiri. Siapa tahu mereka yang menyinggung itu, sebenarnya adalah mengingatkan; siapa tahu kalau ternyata yang mereka singgung itu, sebenarnya mengoreksi kesalahan kita. Iya, bukan? Wong kita ini manusia, kok, bukan sang maha kebenaran.

Sebetulnya apa sih, makna singgung itu? Kok, orang-orang itu dikit-dikit tersinggung? Dikit-dikit tidak boleh menyinggung?

Kalau kita lansir dari lektur KBBI, diksi “menyinggung” itu adalah sebuah homonim. Artinya sebuah kata itu memiliki ejaan yang sama, tapi maknanya berbeda karena berasal dari sumber yang berlainan. Diksi menyinggung sendiri masuk dalam kata kerja. Jadi, kata “menyinggung” itu dapat diartikan ke dalam suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertiaan dinamis lainnya. Dengan begitu, kayaknya memang kita harus menyadari, bahwa menyinggung seseorang itu enggak bisa dicitrakan sebagai suatu tindakan yang negatif. Sebab, itu hanyalah kata kerja, bukan kata sifat. Gimana?

Dari sini kita tahu, bahwa ternyata bukan sosial media yang membuat iklim hubungan antar manusia sekarang itu jadi dehumanisasi. Melainkan manusianya sendiri yang belum mampu menggunakan sosial media itu secara manusiawi. Sosial media sekarang kan, memang jadi fasilitas primer kita dalam bereksistensi. Jadi, ya, harusnya kita lebih melek terhadap sosial media; lebih mengenali karakteristik sosial media yang kadang kala memang manipulatif.

Kalau kita menganggap sosial media hanya sebatas fasilitas yang biasa-biasa saja, bahkan seoalah menyamakan dengan dunia nyata, maka yang terjadi ya seperti yang saya ceritakan tadi, seolah-olah sosial media yang membuat antar manusia bermusuhan; yang melahirkan dehumanisasi; yang seakan menyetir kehidupan kita. Padahal, yah kitanya sendiri yang seolah-olah tidak punya akal.

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels