Saya merasa tertampar ketika saya membaca buku Sekolah Yang Menumbuhkan Catatan Refleksi Seorang Guru karya Muhammad Dhofier ini. Bagaimana tidak? Ternyata di Indonesia tercinta ini iklim membaca yang ada di masyarakat begitu mengenaskan, begitu juga dengan tingkat kemampuan matematika dan sains. Beberapa kali Dhofier menyinggung data hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) dari tahun 2003 – 2015 yang menunjukkan bahwa Indonesia selalu berada di posisi 10 dari bawah (hal: 10-11, 23 dan 26).

Dhofier yang seorang guru dan pengamat pendidikan menyadari bahwa sosok guru harus berdiri di garda terdepan untuk menumbuhkan minat baca generasi muda, setidaknya lewat sekolah. Namun apa di kata, terkadang sekolah tempat belajar pun masih membelenggu dan menghalangi potensi yang ada pada diri setiap siswa. Makanya dalam buku ini banyak kritikan dari penulisnya yang ditunjukkan untuk sekolah, kurikulum dan Pemerintah yang juga mempunyai peran penting dalam memajukan kualitas SDM di Indonesia.

Kritik Terhadap Ujian Nasional

Beberapa poin kritikannya adalah terkait masalah penghapusan Ujian Nasioanl (UN) di sekolah. Betapa UN ternyata sangat membatasi pertanyaan-pertanyaan dan kreativitas yang ada di imajinasi para siswa. Sudah sejak SD, SMP, SMA bahkan sampai kuliah siswa sudah dibatasi oleh pertanyaan-pertanyaan dan soal-soal yang itu-itu saja.

Dilema Sistem Zonasi dan Sekolah Favorit

Belum lagi masalah yang muncul ketika nilai UN sangat diagungkan dan menjadi standar untuk masuk sekolah favorit. Selain mengurung potensi, juga membuat kualitas SDM di sekolah tidak merata. Sudah betul pemerintah menerapkan sistem zonasi agar tidak ada lagi sekolah favorit dan diskriminasi murid yang dikatakan nilainya rendah.

PR Jadi Beban atau Pengembangan?

Kritikan selanjutnya adalah terkait dengan pemberian Pekerjaan Rumah (PR) di sekolah. Menurutnya pemberian PR yang dilakukan selama ini sangat membebani siswa secara fisik dan emosional, di sisi lain juga dianggap lagi-lagi membelenggu kreativitas siswa. Oleh karenanya yang tujuan awalnya agar siswa belajar mandiri, malah menjadi mengandalkan guru les, privat dan orang tua untuk menyelesaikan beban PR tersebut.

PR juga mengindikasikan bahwa materi yang diberikan oleh guru di sekolah belum selesai dan harus butuh tambahan waktu, yaitu dengan diberikannya PR. Hal ini dikarenakan demi mengejar target harus selesai materi sesuai kurikulum yang berlaku.

Dhofier menulis, bahwa sebaiknya PR itu jangan berbentuk materi yang membosankan dan membebani para murid. Alangkah baiknya jika PR diisi dengan untuk menggali potensi dan kreativitas siswa, tentu dengan cara menyenangkan. Seperti, menulis diary harian, membuat cerpen, atau tugas-tugas lainnya yang sesuai dengan potensi masing-masing.

Kekerasan Verbal dalam Pendidikan

Selain pada sistem yang ada di sekolah, Dhofier juga mengkritik kekerasan verbal yang dilakukan para guru yang terkadang jarang disadari oleh mereka. Ia merasa prihatin ketika mendengar bercakapan anak usia 7 tahun bersama temannya membicarakan boleh untuk membunuh cecak. Informasi ini tentu dari gurunya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah diksi pembunuhan, karena bisa membangkitkan sisi sadisme atau bahkan pycopat yang ada pada diri siswa.

Anjuran membunuh cecak merupakan bentuk kekerasan kultural yang bisa menjadi bom waktu yang melahirkan perbuatan yang tidak diinginkan di kemudian hari. Hal ini juga membuktikan gagalnya seorang guru dalam proses berkomunikasi kepada murid untuk menyampaikan sesuatu lebih humanis sekiranya tidak berpengaruh negatif pada seorang murid.

Pengalaman terjun di dunia belajar-mengajar yang sudah puluhan tahun Dhofier tekuni tidak membuatnya tumpul dan tunduk pada sistem, justru dalam dirinya selalu muncul pemberontakan terhadap realitas pendidikan yang terjadi di Indonesia. Puncaknya adalah dengan menyampaikan semua uneg-uneg-nya lewat karyanya ini.

Buku ini sangat cocok untuk para guru dan pegiat, praktisi pendidikan sebagai acuan dan alternatif perspektif dalam menyikapi dinamika pendidikan yang ada di Indonesia agar hasil tes PISA mendatang bisa meningkatkan skor dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Editor: Tama