Gondrong, identik dengan kriminal di masa orde baru. Pada masa orde baru dulu, stereotip berambut gondrong bisa berarti dekat dengan malaikat maut. Lagi asyik-asyik ngopi tiba-tiba bisa saja dada tertembus peluru petrus. Menurut kakak ipar yang pernah melalui periode itu, mayat korban petrus dibiarkan tergeletak begitu saja di pinggir jalan, di dekat sungai, atau di kolong jembatan. Ngeri deh ngebayangin jadi orang gondrong di masa orde baru.

Beruntungnya saya tumbuh dewasa setelah masa orde baru tumbang. Disebabkan oleh pertumbuhan rambut yang sangat cepat, akhir-akhir ini saya merasa malas sekali potong rambut. Saya biarkan rambut-rambut tumbuh subur dan liar karena memang jenisnya sedikit bergelombang. Beragam respon diberikan oleh orang-orang terdekat. Ada yang memuji dan tak sedikit yang keberatan. Padahal kepala saya yang lebat kenapa mereka yang merasa berat sih ya?

Stereotip Berambut Gondrong: Dari Disangka Hantu Sampai Disangka Seniman

Koyok Genderuwo!” seru salah seorang teman dekat sewaktu melihat foto saya dengan rambut gondrong untuk pertama kalinya. “Dipotong yang rapi lah rambutnya,” kata salah seorang teman lain. Respon seperti itu memang sudah saya prediksikan jadi saya tidak kaget. Kadang saya hanya balas dengan emoji ketawa atau saya jawab “Males potong.” Lucunya, ada beberapa stereotype lain yang saat ini melekat sama orang gondrong.

Jika di masa orde baru stereotip yang melekat pada orang gondrong adalah kriminal, saat ini stereotip yang melekat pada orang gondrong adalah anak seni, anak senja, dan anak indie. Tentu saja stereotip ini juga melekat pada saya yang baru pertama kali mencoba gondrong. 

“Keren om, berasa banget anak seninya,” kata keponakan merespon foto saya. Padahal saya bukan pelaku seni sama sekali. Nyanyi jelek, main alat musik apapun tidak bisa termasuk yang paling umum seperti gitar. Ngelukis juga cuma ala kadarnya. Memang saya terkadang menulis, tapi ini pun masih belajar. Jadi saya bingung kenapa keponakan saya langsung mencap saya dengan kata “seni” hanya karena rambut gondrong. 

Kok di Rumah Aja? Bukannya Kamu Anak Senja Kopi Indie ya?

Stereotip berambut gondrong yang paling ngeselin adalah dikira anak senja. Ini sudah pasti dialami siapa saja yang rambutnya gondrong, entah kenapa. Ketika saya lebih memilih untuk di rumah saja daripada menghabiskan sore hari di pinggir pantai sambil menunggu matahari terbenam, diledek lah saya, “Alaaah, anak senja kok ga suka sunset”. Pdahal bukannya tidak suka sih. Tapi badan yang capek sehabis kerja ini lebih suka dibawa istirahat.

Saat nongkrong di alun-alun, ketika saya lebih memilih energen vanilla daripada kopi hitam. “Anak senja kok nggak suka kopi.” Duh, sekali lagi bukan nggak suka. Cuma kalo minum kopi, nanti malam pasti sulit tidur. Sedangkan badan butuh istirahat supaya semangat berangkat kerja pagi hari. Kenapa sih orang gondrong harus kopa-kopi terus? Sekali-kali teh, energen, atau STMJ kan juga nggak dosa.

 Masalah lagu juga. “Orang gondrong itu dengerinnya lagu indie” yang satu ini ngeselin banget. Sejak kapan orang hanya boleh denger yang indie-indie aja? Memang kenapa dengan yang nggak indie? Kalo saya suka ost anime kenapa hah, nggak suka? Ngajak ribut? Ayok!! Lagian ditanyain indie artinya apa jawabnya salah satu genre lagu. Genre lagu NDasmu.

Tolong lah, nggak semua orang gondrong itu adalah orang yang seperti itu. Nggak semua orang gondrong adalah anak indie, pelaku seni atau anak senja yang hidupnya hanya sore dan kopi. Saya gondrong nggak lain dan nggak bukan karena memang malas aja buat potong rambut. Nggak ada niatan untuk dianggap jadi anak seniman, indie ataupun anak senja. Saya orang biasa yang juga hidup secara biasa.

Nggak Semua Orang Gondrong Sama 

Mulailah untuk tak menggeneralisasi manusia dengan ciri-ciri yang sama. Tak hanya berlaku bagi orang gondrong. Berlaku juga bagi orang bertato, orang bercadar, juga bagi orang berjanggut atau kelompok manusia lainnya. Generalisasi dan stereotip itu sesuatu yang menjengkelkan. 

“Dia gondrong, pasti dia bla,bla,bla…” Pendapat seperti ini menunjukkan egoisme diri yang berlebihan. Para Ilmuwan membutuhkan riset, pengamatan secara mendalam dan menyeluruh baru bisa menyimpulkan sebuah teori, lah kita kok dengan mudahnya menyimpulkan sebuah stereotip hanya dari penampilan saja. Hhhhh sulitnya berambut gondrong…