Mungkin saat awal tahun kemarin banyak orang yang punya resolusi beragam. Mulai dari lulus kuliah, dapat kerja, menikah, punya pacar, sampai naik gaji. Wajar, kan sudah kebiasaan membuat resolusi hidup baru kalau sudah masuk tahun yang baru juga. Saya juga punya resolusi tahun ini agar segera lulus kuliah. Terkait resolusi kenaikan gaji, terdapat juga sebuah fenomena yang disebut hedonic treadmill sebagaimana yang hendak diuraikan selanjutnya.

Bagi orang yang sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri, yang namanya naik gaji pasti sangat diharapkan. Ya, meskipun tidak selalu cepat didapat juga. Biasanya mesti melalui berbagai proses supaya naik jabatan atau naik gaji. Akan tetapi, jujur saja, uang jadi salah satu hal yang kebanyakan orang jadikan resolusi tiap tahun baru. Saya juga mau lah punya uang banyak. Hehehe.

Kalau pepatah bilang money can’t buy happiness, ah nggak juga tuh. Saya sih bahagia kalau bisa beli ini itu dengan uang saya sendiri. Jelas kalau punya banyak uang, siapa juga yang tidak bahagia? Kalau ada yang jawab tidak ada, omong kosong itu. Tidak mungkin! Mana bisa manusia hidup tanpa uang. Saya bahagia kalau bisa beli banyak makanan dengan uang saya sendiri. Self reward kalau orang bilang setelah melakukan pekerjaan.

Hedonic Treadmill

Bagi sebagian orang, mungkin uang memang segalanya. Ya, tidak apa-apa, tidak usah julid. Di sisi lain, terdapat juga sebuah gejala atau fenomena yang disebut dengan hedonic treadmill akhir-akhir ini. Sederhananya, hedonic treadmill ini semacam keadaan di mana orang percaya kalau kebahagiaan itu berbanding lurus dengan kondisi keuangan, kesuksesan, dan keadaan materi.

Hedonic treadmill ini sangat perlu diwaspadai. Bagaimana tidak, konsep dari hedonic treadmill ini kalau gaji atau pendapatan seseorang naik, gaya hidup juga ikutan naik. Duh, kok kacau, ya kalau begitu.

Hedonic treadmill berhubungan dengan cara adaptasi manusia, di mana perasaan bahagia hanya akan berlangsung sementara dan akan kembali ke semula. Misalnya begini, seseorang yang hobi main game, akan merasa sangat bahagia ketika bisa memiliki playstation 1. Kebahagiannya terhadap playstation 1 itu akan memudar ketika playstation 2 muncul dengan fitur teranyar. Begitu pula ketika playstation 3 hadir.

Keinginan untuk selalu memiliki yang lebih itu dapat dikatakan hedonic treadmill. Lantas, apa hubungannya dengan naik gaji? Ya, kalau gaji naik, tentu ada perasaan untuk membeli barang-barang yang sebelumnya tidak dimiliki atau bahkan sudah punya, tetapi ingin di-upgrade menjadi lebih anyar.

Contoh lain supaya bisa dibayangkan. Anggaplah saya membeli rumah baru. Saya sudah mampu membeli rumah baru, namun ada keinginan untuk membeli lebih banyak furnitur di dalamnya. Furnitur yang ingin saya beli semuanya keluaran terbaru dan modern. Ketika gaji saya naik, saya justru ingin menambah ruangan dan membeli furnitur baru lagi. Padahal, furniture sebelumnya masih baik-baik saja. Begitu lah hedonic treadmill.

Saya rasa, kebahagiaan akan menjadi barang mahal apabila demikian karena mengikuti sifat konsumtif sesuai gaji yang diterima. Rasanya jadi nggak puas-puas dan nggak bahagia. Bahagia hanya sebatas naik gaji dan barang-barang keluaran baru yang wajib saya beli. Padahal tidak terlalu dibutuhkan.

Jalan di Tempat

Saya rasa, hampir semua orang pernah mengalami hal semacam ini, benar tidak? Saya juga pernah, kok mengalami hedonic treadmill ini. Meskipun tidak sering. Untungnya, hedonic treadmill ini tidak saya jadikan gaya hidup hingga sekarang. Karena, ketika penghasilan saya semakin naik, maka keinginan akan sesuatu pun begitu. Itu bikin kacau.

Kalau dipikir-pikir, orang yang percaya kebahagiaan berbanding lurus dengan gaji yang diterima itu layaknya berjalan di atas treadmill, jalan saja di tempat. Tidak ke mana-mana.

Hedonic treadmill bisa ditemukan pada orang atau bahkan diri sendiri. Coba saja perhatikan, siapa tahu ada di antara orang-orang terdekat yang sedang merasakan euphoria hedonic treadmill.

Pertama, orang itu akan memaksakan keinginan. Tahu, kan kalau butuh dan ingin itu beda-beda tipis. Biasanya orang yang ingin beli sesuatu bilang sedang butuh. Padahal sudah punya dan pengin upgrade saja supaya lebih modern. Atau beli barang branded, tetapi dicicil setiap bulan ditambah nongkrong di kafe fancy demi feeds instagram.

Kedua, orang itu ingin terlihat sukses dan berkelas. Berbeda, ya kalau ingin terlihat sukses dan sukses beneran. Begitu juga dengan berkelas. Berbeda kalau hanya ingin terlihat berkelas dengan berkelas beneran. Banyak orang tertipu dengan penampilan luar yang terlihat berkelas dan menganggapnya sebagai orang yang sudah pasti sukses. Padahal tidak seperti itu.

Ketiga, orang itu tidsk punya investasi dan tujuan hidup. Orang investasi itu bentuknya beda-beda. Ya, bagaimana mau investasi kalau gaji tiap bulan saja dipakai konsumerisme terus. Konsumtif untuk memenuhi gaya hidup di media sosial. Kalau sudah begini, tujuan hidupnya juga nggak jelas. Hanya menjalani yang di depan mata dan nggak memikirkan masa depan.

Ketiga ciri-ciri di atas bisa saja ditemukan pada beberapa orang yang sedang merasakan euphoria hedonic treadmill. Coba saja lihat di sekeliling, ada atau tidak orang-orang seperti itu. Semuanya kembali pada diri masing-masing. Akan tetapi, perencanaan keuangan adalah kuncinya.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Medium