Orang tua kadang terkesan seperti anggota DPR yang hobi studi banding. Kadang, anak merasa menjadi objek : dibanding-bandingkan dengan kakak atau adik, anak tetangga, anaknya tante, anaknya Pakde, dan sejenisnya. Bikin, overthinking saja. Efeknya, ketemu orang jadi insecure. Ekstremnya, malah ada yang jadi alergi silaturahim. 

Harusnya kita punya “tabungan toleransi”. Jangan-jangan kita juga bakal dinilai begitu saat menjadi orang tua. Nah, tulisan semoga jadi bedak pengurang gatal-gatal akibat jenis alergi tersebut. 

Kecerdasan, capaian akademis, pekerjaan, kesuksesan anak berbeda-beda. Lumrah, kadang kita merasa dilihat dengan cara di-zoom in, terasa mengecil, tak ada artinya. Sebaliknya, orang tua kok melihat anak yang lain, entah kakak atau adik, anak tetangga, anaknya temen, anaknya tante dengan zoom out. Terlihat besar, menonjol dan serba keren.

Kecerdasan, bagaimana anak berkembang dan mandiri akan ter-detect sejak bagaimana proses dia dilahirkan lewat persalinan yang dijalani ibunya. Pendeknya, inilah teori tentang tipe-tipe anak versi Mbah Uti

Sejatinya beliau bukan nenek saya sendiri, sih. Melainkan ibu dari temannya istri saya. Tapi, karena beliau sudah bercucu, yuk kita sepakati saja memanggilnya sebagai Mbah Uti. Anggap saja ini notulen, pas silaturahim lebaran mendengarkan Mbah Uti ber-story telling tentang pengalamannya. Dan rasanya sayang kalau  tidak dibagikan kepada milenialis. 

Ringkasnya, beliau punya tiga anak. Semuanya sudah berkeluarga. Cukup mandiri di mata saya. Karena itu, saya bilang : “Mbah Uti hebat  ya? Semua anaknya sudah berhasil, dalam arti sudah mandiri semua”. Dari pertanyaan itu, beliau berkisah tentang tiga anaknya, dan cara beliau memaknainya.  

Si Sungsang

Kebetulan anak pertamanya lahir dengan proses yang sulit.  Si bayi dalam posisi sungsang. Betapa hebat ia berjuang, alhamdulillah si sungsang selamat. Sesuai proses lahirnya, ternyata si Sungsang tumbuh-kembang harus dengan ektra perhatian. Si Sungsang kesulitan dalam akademis. Tidak bisa menguasai pelajaran dengan cepat, di rumah harus dikawal untuk belajar ulang. Menjelaskan materi kepada dia, perlu berkali-kali. Konten harus di-replay berkali-kali. 

Kadang jawabannya terbolak-balik alias sungsang. Contoh tak bisa membedakan mana Jakrta, mana Indoensia. Mana negara, mana ibu kota. Begitu pengalaman Mbah Uti dengan anak sulungnya.

Si Lancar

Anak keduanya, seperti ditakdirkan sebagai anak yang memudahkan tugas orang tuanya. Saat dilahirkan, kata Mbah Uti, lahir begitu saja. Nyaris tak perlu banyak tenaga, tak harus kuat-kuat mengejan. Si bayi seperti mencari jalan keluar sendiri. Kata komika Dodit, lahir dengan otodidak.

Sesuai saat proses lahirnya, ia memang tumbuh dan besar sebagai si Lancar. Ia dilahirkan menjadi anak yang mandiri. Udah lewat jalan tol, belum masuk gerbang tol dia sudah full BBM, e-toll penuh, bekal minum isotonik dan camilan siap, tinggal gas pol kira-kira begitu ilustrasinya. Si Lancar ini sekolah, bekerja dan berkeluarga ssama sekali nggak bikin repot orang tua.  

Sejak kecil kelihatan mandiri. Sepertinya dia tahu sebelum diceramahi bagaimana menempuh langkah-langkah hidupnya. Ketika SD sudah tahu ingin ke SMP mana. Saat lulus SMP, ia sudah siap akan melanjutkan ke SMA sesuai minatnya. Ketika memilih jurusan kuliah sudah tahu masa depan mana yang ingin ia capai. Ibarat kata, ortu tinggal kasih restu.

Si Biasa

Anak ketiga lahir dengan normal. Pas lahir tidak terlalu menyulitkan, pun tidak mudah juga. Tapi harus ngeden juga, perlu didorong kuat. Seturut dengan proses lahirnya, ia tumbuh dan berkembang dengan biasa-biasa saja. Tak menonjol juga dalam akademis. Ia hanya butuh dorongan kuat dan bantuan di saat-saat tertentu. Kata Mbah Uti, tipe nggak banyak kontroversi. Apa kata ortu, ikut saja deh.  

Sayang Tanpa Asterisk 

Mulanya saya sudah anggap Mbah Uti ini gampang memberi label.  Teorinya ketinggalan kereta zaman, men-judge bahwa kecerdasan, kemandirian bahkan kesuksesan adalah bakat alam. Teori yang berafiliasi pada bakat dan alam (nature). Sealiran dengan teori bawaan atau  “Teori gawan bayi” (berdasar kosakata Tegal, asal saya). 

Namun, setelah lebih dieksplor lagi penjelasannya, saya berubah pikiran. Mbah Uti ini tegas mencintai ketiga anak-anaknya tanpa syarat. Dengan tipe dan karakternya masing-masing. Mereka didampingi dalam hal belajar sesuai dengan kecepatannya masing-masing. Ketiganya menamatkan jenjang sarjananya. Si Sungsang memang seperti siput. Soal belajar, perlu ditangani dengan banyak taktik dan kesabaran. Tetapi karena anak lainnya, si Lancar, tak banyak butuh bantuan maka konsentrasi orang tua menjadi lebih tertuju kepada si Sungsang. 

Begitu pula saat anak-anaknya mulai menapaki rumah tangga. Dikit-dikit intervensi ortu. Si Lancar sih tinggal ditanyain kabarnya saja, sedangkan si Biasa, kadang sesekali didampingi.

****

Ketika orang tua kelihatan tidak adil di mata anak-anaknya, bisa jadi mereka sedang memerankan sebagai  orang tua yang sayang tanpa syarat. Jangan dihakimi lebih menyayangi si Lancar atau si sungsang. Seperti Mbah Uti yang mengasuh dengan cara berbeda cara yang berbeda.  

Orang tua, terlebih seorang ibu, sayang tanpa ada simbol bintang asterisk. Itu lho, tanda bintang yang imut dan tertulis “syarat dan ketentuan berlaku”, pakem yang suka dipake dalam dunia iklan. Sementara seorang ibu tidak beriklan melainkan berikhlas. 

Sejatinya, tidak sedang membuat kecerdasan itu bertingkat-tingkat seperti paramida. Tak bermaksud mengkotak-kotakkan. Beliau mencoba fokus pada realitas : setiap anak punya potensi, dan perkembangan yang berbeda-beda. Human is unic. Tak terlalu berlebihan Mbah Uti ini saya bilang punya mindset growth. Cirinya beliau tetap semangat berjihad membawa semua anak-anaknya berkembang, bagaimanapun hambatannya. 

Tapi saya tetap kritis, dan tertarik bertanya. “Maaf, kalau Mbah Uti dulu punya anak keempat, dan kebetulan melahirkan dengan sesar, gimana?” 

Si Sesar

Katanya, zamannya Mbah Uti, mengalami proses persalinan, tak dikenal sesar-sesar-an. Tipe si Sesar, dianalogikan si anak tak ada daya juang yang tinggi keluar, ia dicomot begitu saja dari perut dengan bantuan teknologi. Tipe anak yang bergantung fasilitas. 

Seorang ibu yang dioperasi sesar, bukan berarti minim risiko. Sudah begitu, mengandung sembilan bulan, mendidik dan membesarkan juga sama.  

Karena operasi butuh biaya, mereka  dijuluki si Anak Mahal. Nyetir dengan GPS-nya. Menerjemahkan dengan translator di tangan. Sepertinya, Mbah Uti sedang nyindir generasi sekarang didominasi milenial dan gen Z. Milenial meremaja dengan teknologi internetnya. Gen Z apalagi, sejak ceprot lahir, sudah di alam digital. Tinggal si anak mau menguasai apa dikuasai olehnya. Di zaman ini, anak sesar mudah jadi anak yang nyasar.

Nah, kamu tipe yang mana? Tipe sungsang, lancar, biasa atau si sesar anak mahal? Dan yang pasti kombinasi dua atau tiga tipenya. Silakan mendeteksi diri sendiri.

Yang jelas, Mbah Uti tugasnya sudah paripurna. Tetapi teori Mbah Uti memberi kita pesan pada kamu yang : masih sekolah, kuliah, atau sudah punya ayang dan kebelet jadi jadi orang tua, atau malah sudah jadi ortu muda. Kamu termasuk  tipe anak yang mana? 

Dan, andai kamu sudah jadi orang tua muda atau (nanti) jadi orang tua, gimana mendidik dan mengasuh anak-anaknya? Sanggupkah sehebat Mbah Uti mengasuh dan mendidik anaknya mandiri, sekalipun dengan tipe-tipe yang berbeda?

Semoga ini jadi bedak peredam gatal.  Jangan alergi amat meskipun kita jadi sasaran studi banding. Minimal kita nggak merasa yang paling. Merasa paling gagal, merasa paling hebat, merasa paling sukses, merasa besar, merasa kecil. Pola pikir yang menurut Carol S. Dweck tidak sejalan dengan growth mindset.

Editor : Faiz

Gambar : Pexels