Beragam suku, budaya, agama, ras dan kode etik masyarakat berperilaku dalam bersosialisasi pun telah mewarnai kehidupan toleransi masyarakat di Indonesia. Bahkan di era perjuangan kemerdekaan hingga akhirnya Indonesia dapat mencapai kemerdekaan secara mandiri, berkat semangat toleransi para pejuang kemerdekaan dengan menghilangkan egoisme suku, ras, dan agama, yang memunculkan semangat persatuan dan kesatuan seluruh rakyat Indonesia untuk mengusir penjajah dari bumi.

Semangat toleransi yang dibalut dengan rasa nasionalisme dan cinta tanah air hingga saat ini masih dijunjung tinggi dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu keistimewaan Indonesia sebagai negara multikultural, menerapkan setiap agama secara setara di hadapan negara dan tentunya agama tidak boleh dibiarkan menjadi sumber diskriminasi.

Akrab dengan perbedaan, lebih menyatukan

Dengan adanya keanekaragaman dalam berbagai bidang yang sudah disebutkan di atas menyebabkan Indonesia dijuluki sebagai masyarakat yang multi etnik, multi agama (multi religi), multi budaya (multikultural), dan sebagainya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (Plural Society). Dalam kehidupan bernegara, diperlukan upaya mengedepankan toleransi agar tercipta ketentraman dan kedamaian satu sama lain.

Masyarakat pun banyak yang bertanya-tanya secara awam, mengapa sikap toleransi sangat penting dalam keragaman bangsa Indonesia? Apa manfaat dari adanya sikap toleransi tersebut? Toleransi keberagaman masyarakat menjadi keniscayaan di Indonesia yang majemuk dan terdiri dari berabagai macam suku bangsa. Toleransi adalah sifat atau sikap toleran manusia untuk saling menghormati dan menghargai, baik antar individu maupun antar kelompok di masyarakat.

Mengenal lebih jauh makna toleransi

Toleransi berasal dari bahasa latin “tolerantia” yang berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran.Toleransi atau sikap toleran diartikan sebagai sikap menghargai terhadap kemajemukan. Dengan kata lain, sikap toleran bukan saja untuk mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain, bahkan lebih dari itu, terlibat dalam usaha mengetahui dan memahami adanya kemajemukan. Dengan demikian toleransi dalam konteks ini berarti kesadaran untuk hidup berdampingan dan bekerjasama antar pemeluk agama yang berbeda-beda.

Secara konseptual, sikap toleransi dapat membuat kita hidup rukun antar sesama, walaupun pada setiap lingkungan tentunya akan ada perberbedaan dalam hal pendapat, prinsip, ide, agama, suku, ras dan budaya. Namun, hal tersebut pun bukan sebuah halangan bagi masyarakat indonesia untuk dapat hidup dengan rukun dan gotong royong. Hasil luas dari penerapan sikap toleransi tersebut di lingkungan sekitar ialah dapat memberikan manfaat kesadaran atau awareness kepada masyarakat untuk saling tolong menolong dan bahu membahu antar sesama tanpa memandang status atau “barrier” di antara mereka.

Namun perlu menjadi suatu catatan penting pula bahwa adanya implementasi sikap toleransi pada masyarakat Indonesia majemuk ini tidaklah lepas dari peran konsep “Bhinneka” yang mengakui adanya keanekaan atau keragaman, serta konsep “Tunggal Ika” yang menginginkan adanya kesatuan.

Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” dipetik dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Istilah tersebut ter- cantum dalam bait 5 pupuh 139. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Dan di bawah ini merupakan terjemahan dari bait asli sebelumnya:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.

Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.

Kitab Sutasoma mengajarkan toleransi kehidupan beragama, yang menempatkan agama Hindu dan agama Buddha hidup bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama itu hidup beriringan di bawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk. Meskipun agama Hindu dan Buddha merupakan dua substansi yang berbeda, namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Hindu dan Buddha bermuara pada hal “Satu”. Hindu dan Buddha memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran.

Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang semula menunjukkan semangat toleransi keagamaan, ke- mudian diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia. Sebagai semboyan bangsa konteks permasalahannya bukan hanya menyangkut toleransi beragama tetapi jauh lebih luas seperti yang umum disebut dengan istilah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Semboyan itu dilukiskan di bawah lambang negara Indonesia yang dikenal dengan nama Garuda Pancasila. Lambang negara Indonesia lengkap dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.

Pembagian unsur-unsur di dalamnya

Toleransi telah mengantarkan kepada beberapa pemahaman, yang pertama, sebagai bentuk perbedaan yang terikat di dalam satu keutuhan, sebagaimana dalam hal ini menunjuk kepada keberadaan bangsa Indonesia. Dan yang kedua, di dalam wujud yang satu terdapat keberagaman isi atau wujud yang satu, dalam hal ini adalah identitas bangsa Indonesia tanpa meninggalkan ciri keberagaman dari unsur-unsur pembentuknya, yakni suku, adat istiadat, bahasa lokal, agama/kepercayaan dan sebagainya.

Dengan toleransi, kita bisa menghargai dan menghormati aktivitas masyarakat sekitar, terutama kehidupan budaya masyarakat yang memiliki banyak perbedaan. Selain itu, kita masih harus mempererat tali silaturrahmi baik antar sesama pemeluk agama, maupun beda agama. Dengan menghayati makna toleransi di atas, maka kehidupan masyarakat yang berbeda suku, agama dan ras dapat tercapai dengan sebaik-baiknya. Bahkan toleransi dapat memberikan dampak dan manfaat yang luas bagi pemeluk agama dan masyarakat tertentu di Indonesia.

Sebagai penutup, namun sekaligus juga sebagai pengingat bersama bahwa keanekaragaman adalah hukum alam dan merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia yang bukan hanya untuk disyukuri tetapi juga selalu dirawat dan dipelihara. Perbedaan-perbedaan yang ada seharusnya tidak dilebih-lebihkan karena pada dasarnya kita semua adalah bersaudara. Oleh karena itu, seharusnya semua elemen dari bangsa tanpa memandang golongan tertentu harus bersatu mewujudkan negara yang lebih baik dan kehidupan masyarakat yang sejahtera dengan menghormati, membantu, saling membuka, dan berdialog jika ada masalah yang terjadi.

Peduli pluralisme di Indonesia dan pendidikan Bhinneka Tunggal Ika merupakan beberapa contoh pengajaran yang perlu dilakukan sejak dini sebagai tindakan persuasif dan preventif. Sedari awal masyarakat kita telah memiliki pemahaman tentang kebhinekaan bangsa tapi semua tetap bersatu demi Indonesia yang lebih baik. Akhir kata, alangkah baiknya bagi kita untuk selalu menjadikan kata-kata dari bapak Alm. Gusdur sebagai pengingat akan kesadaran kehidupan bermasyarakat yang tidak pandang bulu, yakni Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.

Editor: Nawa

Gambar: kompasiana.com

REFERENSI

 Gischa, S. (2021). Prinsip, Fungsi, dan Indikator Toleransi. Kompas. https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/17/165217769/prinsip-fungsi-dan-indikator-toleransi

Pursika, I. N. (2009). Kajian Analitik Terhadap Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Jurnal Pendidikan Dan Pengajaran, 42(1), 15–20. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JPP/article/viewFile/1726/1512