Siapa yang sudah kerja? Bukan saya. Tapi sebentar lagi saya akan memasuki dunia kerja yang mana kata orang-orang jenuh dan membosankan. Dunia kerja gitu-gitu aja. Bangun pagi, pergi ke kantor, duduk, buka laptop, dan ulangi. Hmm apa iya? Coba kasih tahu saya, bener nggak sih itu.

Di masa pandemi seperti ini saja saya yang belum jadi pekerja sudah merasakan stressnya mengarungi hidup sebagai seorang mahasiswa akhir yang juga sambil sedikit-sedikit cari cuan. Ya, daripada punya hobi tapi nggak dimanfaatkan. Buat apa, betul tidak? Betul dong.

Masa-masa berat dialami oleh semua orang

Mulai dari siswa, mahasiswa, sampai pekerja yang sibuknya bukan main, saya rasa kita semua sudah pernah merasakan fase terberat dalam hidup deh. Kalau siswa sekarang ya begini. Bosan, jenuh, dan stress menghadapi sekolah online. Buat mahasiswa ya nggak jauh beda kok, apalagi mahasiswa akhir. Rasanya pengen pecahin kepala sangking pusingnya.

Pekerja ini nih yang paling saya salut sebenarnya. Kalau lihat ayah saya sendiri, yang kerjanya mati-matian, saya nggak bisa kerkata apa-apa lagi. Karena sebegitu giatnya beliau mencari nafkah. Pergi ke kantor pagi buta, kembali ke rumah larut malam. Angkat topi saya buat ayah.

Saya kadang mbatin, apa nanti kalau saya sudah terjun ke dunia kerja, bakal seperti itu ya. Apa nanti kalau saya sudah kerja bakal lupa pulang ya. Dan segelintir pertanyaan yang berenang di kepala seperti lagunya Nadine Amizah. Ya, bagaimana namanya juga overthinking di usia muda.

Sering sekali saya lihat anak-anak muda bahkan orang dewasa yang sekarang sedang meniti karir alias bekerja, mereka benar-benar mengabdikan dirinya untuk pekerjaan. Seolah-olah hidup mereka hanya sebatas pekerjaan. Paham sih saya kalau zaman sekarang semuanya serba butuh duit. Nggak cuma banyak, tapi ekstra banyak.

Bekerja sebagai bentuk pengabdian

Mereka ya sudah kerja biasanya dibayangi dengan banyak tuntutan keluarga untuk membiayai adik-adik yang masih kecil. Hmm..beberapa sih nggak semua. Sudah gitu dibayangi kapan menikah. Duh, kan menikah butuh biaya nggak sedikit ya. Maka dari itu, mereka anak-anak muda ini getol sekali kerja lembur bagai qudha demi mengumpulkan uang buat modal nikah di hotel bintang lima.

Kalau saya bisa bilang mereka ini banyak sekali yang gila kerja. Pokoknya mereka harus kerja sampai titik darah penghabisan. Kalau belum tipes, belum istirahat. Kalau belum diusir satpam kantor, belum pulang. Saya punya nih teman model begini. Orangnya rajin sekali kerja, kerja, dan kerja. Tapi saya khawatir kalau-kalau dia stress dan malah jatuh sakit. Nggak jarang saya dengar cerita dia kalau dia merasa burnout.

Burnout terjadi karena stress

Burnout yang kita tau sebagai stress berat itu diakibatkan oleh pekerjaan yang menumpuk. Nah, teman saya ini begini pernah sekali dia cerita kalau lelah kerja dan sedang merasa stress berat. Butuh day off katanya, tapi kok ya nggak mungkin. Jadi, hanya bisa ditahan saja. Ya, kalau nggak begitu, nggak gajian dong.

Ada istilah hustle culture yang pernah saya dengar. Hustle culture semacam kondisi gila kerja yang bisa membuat orang merasakan kondisi burnout. Wah, bahaya sih kalau menurut saya. Jujur, saya saja merasakan burnout bukan karena pekerjaan. Bagaimna nanti kalau sudah kerja ya. Ngeri ngeri sedeeepp~

Paham betul kok saya di kondisi seperti ini, pekerjaan jadi yang utama. Tapi kalau sudah masuk dalam tren hustle culture ini, bakal kacau deh. Apalagi kalau sudah burnout. Saya rasa ini jangan sampai terjadi. Karena saya merasakan nggak enaknya burnout itu seperti apa.

Saya jadi kehilangan motivasi untuk melakukan apapun, merasa sedih dan nggak mampu mengurus pekerjaan yang sedang saya kerjakan. Jadinya, saya jadi merasa pekerjaan itu nggak ada gunanya dikerjakan lagi. Kalau sudah begini jadinya nggak baik untuk kesehatan juga.

Jadi jarang makan karena stress berat. Eh, atau mungkin ada beberapa orang yang mengurangi stress dengan makan banyak. Kalau berlebihan makannya juga nggak baik kan untuk kesehatan. Semua itu ada positif dan negatifnya. Tapi, kalau sedang burnout semuanya terasa negatif deh saya rasa.

Salahsatu perilaku yang akrab dengan workaholic

Tren hustle culture yang melanda si workaholic ini perlu diatasi segera. Kalau sekiranya pekerjaannya sudah berlebihan, nggak ada salahnya lho berhenti sejenak dan beristirahat sambil memandang langit-langit kantor mungkin. Nggak terlalu membantu sih sepertinya. Atau pergi ke rooftop dan hirup udara segar sebanyak-banyaknya mumpung gratis.

Jangan sampai tren hustle culture justru membuat kita burnout dan malah mengacaukan seluruh pekerjaan yang sebelumnya sudah tersusun rapi. Kalau sudah burnout, siapa dong yang akan melanjutkan pekerjaan nantinya.

Gila kerja sih nggak apa-apa. Tapi, kalau sudah sampai burnout dan mengganggu aktivitas sehari-hari sih tentu sangat tidak enak ya. Terkadang di kondisi seperti itu, peran psikolog juga dibutuhkan lho. Supaya kita bisa tahu penanganan yang tepat ketika burnout akibat hustle culture ini sedang melanda kita.

Jadi, nggak ada salahnya konsultasikan pada psikolog. Atau kalau memang belum siap, banyak-banyaklah ngobrol dengan orang lain. Percaya deh, ngobrol itu membantu mengurangi sedikit banyak rasa stress kita. Semangat~

Editor: Nawa

Gambar: vemme daily