Kata halal, secara bahasa berasal dari kata halla yang artinya lepas atau tidak terikat. Adapun secara etimologi, lafadz halal berarti suatu hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya atau dapat diartikan sebagai suatu hal yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Halal juga memiliki beberapa kategori sebagaimana yang akan diulas dalam tulisan ini.

Halal yang selalu dipersoalkan dalam wacana Ushul Fiqih memang tidak dibahas, justru yang lebih banyak diuraikan tentunya adalah mubah. Menurut Abdul Karim Zaidan, halal dapat dimaknai dengan makna mubah yang berarti segala sesuatu yang diberi pilihan oleh syari’at tentang seorang mukalaf yang akan melakukan dan tidak melakukannya tanpa ada hubungannya dengan do’a dan pahala.

Istilah halal menurut Al-Qur’an berarti yang dibolehkan. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata halal berasal dari akar kata الحل yang artinya “terbuka” الفتح. Adapun secara istilah, berarti setiap sesuatu yang tidak dikenakan sebagai penggunaannya atau sesuatu perbuatan yang dibebaskan syari’at untuk dilakukan. Menurut Abu Ja’far at-Tabari, kata halal حالال berarti terlepas atau terbebas اًقْطل. Sedangkan menurut Muhammad Ibn Ali al-Shaukani bahwa sesuatu dinyatakan halal karena terlepas dan terurainya sampai simpul tali atau ikatan larangan yang mencegahnya.

Berdasarkan pendapat Imam Syafi’i bahwa sesuatu dikatakan halal jika tidak ada dalil atau hujah yang mengharamkannya, termasuk juga sesuatu yang didiamkan hukumnya (al-maskut ‘anhu) dan yang tidak ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, perkara yang didiamkan itu hukumnya tetap halal karena tidak ada dalil syari’at yang mengharamkannya.

Merujuk pada pendapat Abu Hanifah, beliau menghukumi tidak halal atas sesuatu yang didiamkan, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kehalalannya. Pendeknya, Abu Hanifah mengambil jalan Ihtiyath (jalan aman dan terpelihara dari kecerobohan dan kecepatan penentuan hukum), sedangkan Imam Syafi’i memilih jalan takhfif wa al-taysir (jalan yang meringankan dan memudahkan).

Dengan demikian, Islam memandang bahwa yang berhak menentukan kehalalan segala sesuatu adalah Allah Swt. Bahkan, kita sebagai manusia tidak ada yang berhak melarang sesuatu yang dibolehkan oleh Allah atausebaliknya. Berkaitan dengan masalah makanan dan minuman yang halal, maka ini telah dijelaskan dalam QS. al-Jatsiyah ayat 13 yang berbunyi:

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.

Bertitik tolak pada ayat di atas, maka makanan dan minuman yang halal adalah segala sesuatu yang ada di alam raya ini halal untuk digunakan sehingga makanan yang terdapat di dalamnya adalah halal. Lebih tepatnya, menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja untuk memenuhi kebutuhan fisik, termasuk di dalamnya makanan, minuman, obat-obatan, dan sebagainya.

Makanan dan minuman dapat dikatakan halal harus memiliki beberapa kategori sebagai berikut:

Kategori Pertama, Halal secara Dzatnya

Pada dasarnya, semua makanan dan minuman yang ada di dunia ini halal untuk dimakan, kecuali terdapat dalil yang melarang baik itu dari Al-Qur’an atau hadis. Sesuai dengan kaidah fiqih:

األصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على التحريم

Artinya: Asal dari segala sesuatu adalah mubah, selagi tidak ada dalil yang mendukung akan larangannya.

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum asal segala sesuatu yang diciptakan Allah Swt adalah halal dan mubah, kecuali terdapat nash shahih yang menunjukkan keharamannya. Dengan kata lain, jika tidak terdapat nash shahih atau tidak tegas penunjukkan keharamannya, maka sesuatu ini tetaplah pada hukum asalnya, yaitu mubah.

Hal ini berarti makanan dan minuman yang halal harus terbuat dari bahan yang halal pula, tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan menurut syariat. Seperti halnya nasi, susu telur, dan seterusnya.

Halal Cara Mendapatkannya

Makanan dan minuman dapat dikatakan halal selain secara dzatnya, di sisi lain harus diperoleh dengan cara yang benar pula. Agama Islam sangat menuntut kepada umatnya agar menikmati segala sesuatu yang halal. Kendati sesuatu hal tersebut halal, tetapi cara mendapatkannya tidak sesuai dengan hukum agama akan menjadi haram.

Jadi, walaupun kita mengonsumsi makanan dan minuman yang dari segi dzatnya adalah halal, namun kita mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, dan cara-cara terlarang lainnya, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai hal yang haram pula.

Kategori Ketiga, Halal secara Pengolahannya

Makanan dan minuman yang sehat pasti memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang, proporsional dengan kebutuhan konsumen, tidak berlebih-lebihan, serta aman yang dapat menghindarkan kita dari siksa Tuhan, baik di dunia maupun akhirat. Akan tetapi, makanan dan minuman tersebut tidak bisa dikatakan sehat lagi, jika diolah dengan cara yang tidak diinginkan.  

Memang segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan dan akan menjadi haram dikarenakan pengolahannya yang tidak sesuai. Seperti halnya anggur yang semulanya halal, namun ketika diolah menjadi minuman keras yang memabukkan, maka minuman tersebut diharamkan karena dapat merusak akal.

Editor: Nirwansyah

Gambar: Seputar Lampung – Pikiran Rakyat