“IPK gak penting di dunia kerja. Yang dibutuhin tuh skill sama attitude”

“IPK tinggi bukan jaminan sukses”

“Mereka yang waktu sekolah ranking 10 besar, yang waktu kuliah IPK nya 3,8-4,0 pada kemana sekarang? Jadi apa mereka?”

Kamu familiar dengan kalimat-kalimat sejenis di atas? Saya yakin saya bukan satu-satunya orang yang pernah mendengar atau menerima “wejangan” tersebut.

Waktu saya masih berstatus mahasiswa baru (maba), beberapa senior saya sempat menyebutkan hal serupa. Saya yang masih maba unyu-unyu cuma manggut-manggut.

Setelah lulus dan bekerja, barulah saya sadar bahwa apa yang mereka gembar-gemborkan soal “IPK itu tidak penting” tidak sepenuhnya benar.

Romantisasi IPK Rendah

Saya tidak tahu kenapa ada orang-orang yang gemar meromantisisasi IPK rendah dan nyinyir pada mereka yang ber-IPK tinggi. Apakah itu semacam pembenaran atas kegagalan akademik mereka?

Masalahnya kan IPK bagus atau tidak, tentu ada sebabnya. Apakah mahasiswa yang bersangkutan rajin mengikuti perkuliahan? Apakah ia mengerjakan tugas dengan baik dan mengumpulkannya tepat waktu? Apakah ia bisa mengerjakan ujian dengan lancar?

Itu adalah beberapa hal yang mempengaruhi nilai dan IPK. Tentu ada pula faktor X, Y, Z yang turut mempengaruhi di luar yang bisa dikendalikan.

Jadi, kalau IPK mu nasakom alias nasib satu koma, silakan introspeksi diri. Bukan malah mencari-cari alasan atau pembenaran, apalagi nyinyirin orang lain yang ber-IPK tinggi.

Jika kamu termasuk orang yang suka meromantisisasi IPK rendah, sebaiknya kamu hentikan kebiasaan itu dan pahami alasan-alasan berikut.

1. Tidak Semua Orang Mau Dan Mampu Menjadi Pengusaha

Ada stereotipe bahwa orang yang IPK nya rendah biasanya memilih jadi pengusaha sedangkan orang yang IPK nya tinggi lebih suka jadi karyawan.

Lalu, orang yang ber IPK rendah, orang yang drop out dari sekolah—pokoknya orang yang tidak sukses dalam akademiknya—menjadi bos dari sejumlah karyawan yang “pintar-pintar” (baca: ber IPK tinggi).

Saya tahu, memang ada orang-orang yang secara akademik tidak sukses tapi sukses dalam pekerjaan. Menjadi pengusaha besar, kaya, punya ribuan karyawan dan cabang di beberapa kota. Namun, berapa banyak sih orang yang bisa seperti itu?

Kadang kita hanya melihat si A, B, C ini dari nilai akademiknya yang pas-pasan tapi bisa jadi pengusaha sukses. Okelah, dia pernah drop out, jarang masuk kelas, IPK nya jelek, tapi kita lupa kalau dia terus belajar (meski belajar hal lain yang tidak berhubungan jurusan kuliahnya) untuk meng-upgrade kemampuannya. Oiya, jangan lupa juga soal privilese (baca: uang, status sosial keluarga, relasi dll) yang bisa mempengaruhi kesuksesannya.

Nah, kalau kamu merasa IPK itu gak penting karena ingin jadi pengusaha, kamu sudah punya mentalitas dan kemampuan seorang pengusaha belum?

2. Merugikan Para Pejuang dan Penerima Beasiswa

Setahu dan sependek ingatan saya, cukup banyak program beasiswa yang mensyaratkan minimal nilai IPK tertentu. Bagi pejuang dan penerima beasiswa ini, anggapan “IPK tidak penting” jelas can’t relate.

IPK yang jeblok berpotensi membuat beasiswanya dicabut. Bagi yang ingin mendaftar pun otomatis bakal tertolak karena tidak memenuhi nilai minimal IPK yang disyaratkan.

3. Merugikan Mereka yang Hendak Berkarier di Dunia Akademik dan Penelitian

Minat dan bakat setiap orang itu berbeda. Ada yang ingin jadi pengusaha, PNS, dosen, peneliti dan sebagainya.

Mereka yang ingin berkarier di bidang pendidikan dan penelitian, entah sebagai dosen atau peneliti, nilai akademik yang bagus adalah syarat yang wajib dipenuhi.

Untuk bisa menjadi dosen atau peneliti saja, pendidikan minimal harus S2. Kalau IPK terlalu rendah, mereka bakal kesulitan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana. Ingat, kuliah S2 dan S3 itu tidak semudah kuliah S1, lho.

4. Sulit Mendapat Kerja

Tidak hanya di dunia akademik dan penelitian, pekerjaan kantoran, baik itu perusahaan swasta, BUMN atau institusi pemerintahan, biasanya menetapkan minimal IPK tertentu sebagai syarat seleksi.

Boro-boro mau menunjukkan skill dan attitude, lolos seleksi administrasi saja tidak gara-gara IPK yang terlalu rendah.

Memang benar, skill dan attitude itu lebih penting dalam dunia kerja. Namun, itu terjadi setelah kamu diterima kerja.

Jadi, dalam hal ini IPK tetap penting sebagai “pintu masuk” alias syarat administrasi sebelum kamu bisa menjalani tahapan seleksi berikutnya hingga dinyatakan diterima.

“Ah, hari gini kok masih cari kerja. Buka lapangan kerja dong!”

Ya, gak masalah sih kalau kamu maunya begitu. Namun, coba lihat lagi ke penjelasan di poin pertama, ya.

5. Salah Satu Cara Membahagiakan Diri Sendiri dan Orangtua

Bagi orang-orang yang tidak punya banyak privilese, prestasi akademik bisa jadi adalah satu hal yang membuat mereka bahagia dan percaya diri.

Terlebih jika mereka berasal dari keluarga menengah ke bawah, orangtua mereka pasti juga ikut bahagia dan bangga.

Jika mereka tampak ambisius mengejar IPK tinggi, jangan buru-buru nyinyir ya, guys. Saya takut nyinyiranmu malah merusak kebahagiaan dan semangat mereka.

Simpulan

IPK itu tetap penting meski bukan yang utama dan satu-satunya. IPK bisa jadi penanda sebertanggung jawab apakah kamu pada kuliahmu. Selain itu, IPK juga jadi petunjuk apakah kamu menguasai kompetensi dasar dari bidang studimu.

Tidak masalah kok, kamu aktif di banyak kegiatan organisasi, kepanitiaan atau magang asal tidak melupakan kewajiban utamamu sebagai mahasiswa.

Mencari pembenaran dan meromantisisasi IPK rendah sedangkan kamu mampu berupaya lebih adalah suatu kemalasan. Kamu pun tidak perlu menambahinya dengan nyinyir pada mereka yang ber IPK tinggi.

Editor: Lail

Gambar: Pexels