“Monggo pinarak,” kalimat yang pertama kali saya dengar dari warung nasi goreng depan mess.
Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Kalimantan, saya merasa bahwa penjual nasi goreng tersebut pasti akan menjadi bestie saya. Pasalnya belum apa-apa, pak nasi goreng seakan tahu bahwa saya anak rantau dari Jawa dan beliau menyambut saya dengan bahasa Jawa krama alus yang melambangkan selamat datang dengan nada menta’dimkan saya sebagai seorang pelanggan.
Namun beberapa menit kemudian datang 2 perempuan cantik berkulit putih bermata sipit yang juga disambut dengan kalimat yang sama “monggo pinarak“. Anehnya, kalimat setelahnya berganti menjadi kalimat berbahasa daerah yang sama sekali belum pernah saya dengar.
***
Ya benar, banyak sekali pak-lek pak-lek dan bude-bude Jawa bertebaran di tanah kalimantan. Salah satunya di sekitaran tempat saya merantau, yakni Kutai Barat, Kalimantan Timur. Hampir setiap jengkal warung disini adalah warung milik orang Jawa. Nama warungnya pun tidak jauh dari nama-nama Lek Mi, Yu Rah, Lek Jam, Ojo lali, Hidayah, Barokah, dan turunannya.
Hebatnya lagi, mereka mampu bertahan hingga puluhan tahun di tanah perantauan hanya dengan berjualan item yang sama tanpa ada padamnya. Apa iya mereka pakai jampi-jampi dan sebagainya?
Penjual Ramah
“Jampa-jampi sudah tidak relevan lagi, karena keramahan adalah koentjie”. Demikian lah sepenggal kata yang saya dapatkan dari hasil analisa beberapa warung Jawa yang saya singgahi. Tentu sebagai pendatang, perihal sopan santun, adab dan keramahan harus selalu dikedepankan. Orang Jawa yang notabene dikenal dengan keramahannya tentu sangat erat memegang “pitutur luhur” tersebut untuk mampu bertahan dan diterima baik oleh masyarakat lokal.
Beberapa warung Jawa yang pernah saya singgahi memang pelayananya ramah dan memuaskan, ya meskipun kadang ada satu-dua karyawan yang mbesengut tidak aturan. Namun owner yang biasa turun lapangan ikut ngulek bumbu dan mempersiapkan hidangan, mereka ramah sekali dalam melayani pembeli yang keinginanya bermacam-macam.
Tak hanya itu, kadang penjual pun sempat melempar berbagai macam pertanyaan yang jika pembelinya ternyata sama-sama orang jawa, obrolan mereka pasti berakhir dengan bahasa Jawa medok ala Suroboyoan atau Jawa tengahan. “Hlo sampean Jowo bake, salam kenal”
Penjual Weh-Weh (Suka Memberi Bonus)
Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa bonus pack menjadi salah satu solusi menarik minat pelanggan. Saya pun curiga bahwa pak lek dan bude-bude Jawa banyak membaca skripsi dan artikel jurnal untuk mengambil strategi marketing. Ya, meskipun bonusnya tak seberapa besar, namun bonus-bonus kecil tersebut terbukti membuat pelanggan balik lagi untuk makan.
Pernah kala itu saya pertama kali makan di salah satu warung halal dekat alun-alun. Warung ini nampak jejal oleh mama-mama Bugis, emak-emak Dayak, dan mandor-mandor tambang. Ternyata setelah beberapa kali saya singgah dan mengamati, bonusan berupa gratisan es teh, kerupuk, tambahan sayur membuat pelanggan betah dan ketagihan. Ya meskipun bonusan tersebut hanya ada di hari hari tertentu saja, namun setidaknya hal itu menjadi ingatan manis pelanggan.
Rasa Kedaerahan dan Kesamaan Nasib antar Penjual dan Pelanggan
Pekerja banyak pula yang berasal dari Jawa. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja tambang yang tidak ada waktu lebih untuk sekadar memasak makanan. Selain itu, cita rasa khas dari bumbu maskan Jawa yang medok, pedas dengan kuah santan kental menjadi salah satu alasan mereka untuk sekalian mengobati kangen dengan masakan ala-ala kampung halaman.
Berbeda dengan masakan ala masyarakat lokal, meskipun saya akui bahwa masakan mama-mama Dayak juga sangat mantap, tapi masakannya cenderung garingan alias tanpa kuah. Kalaupun ada yang berkuah, biasanya kuah bening, asam manis yang tentu kurang nendang di lidah saya dan bapak-bapak pekerja tambang yang semasa di kampung halaman, kami semua tidak pernah berpaling dari sayur pedas bersantan.
Selain itu, rasa senasib dan seperjuangan menjadikan saya dan perantau lain melabuhkan pilihan pada warung Jawa sebagai tempat favorit untuk makan. Tak jarang dari dari kami pun akhirnya banyak yang menjadi bestie dari pemilik warung yang akhirnya bersama-sama mendirikan semacam paguyuban kecil-kecilan untuk menyambung tali persaudaraan. Ya itung-itung untuk saling curhat dan saling menguatkan antar sesama perantau.
***
Itulah sekelumit pengalaman hidup merantau dan berbaur dengan orang multi etnis di tanah Kalimantan. Selain menyenangkan, banyak sekali pelajaran berharga yang tentu tidak pernah saya dapatkan dari buku bacaan.
Editor: Assalimi
Gambar:
Comments