Tentu kita semua telah tahu bahwa segala ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan pahalanya dilipatgandakan. Sekecil apa pun ibadah itu, pahala yang kita terima akan sangat berlimpah. Dari sini kita bisa melihat dengan jelas bahwa Allah swt benar-benar Maha Pemurah. Mengingat Ramadhan hanya datang satu tahu sekali, kita jelas tak bisa melewatkan kesempatan ini. Oleh sebab itu, kita mestinya terus berupaya mengisi hari-hari di bulan Ramadhan dengan banyak beribadah. Bukan hanya ibadah wajib, tapi juga ibadah sunnah.

Bicara soal ibadah di bulan Ramadhan, mayoritas dari kita tampaknya sudah tak asing dengan hadis yang menyebut bahwa tidurnya orang yang berpuasa merupakan ibadah. Hadis tersebut ternyata dinilai sebagai hadis maudhu’ (palsu) oleh jumhur ulama’. Kendati demikian, substansinya masih memiliki relevansi dengan kehidupan manusia. Hadis (palsu) tersebut tampaknya secara tidak langsung mencoba memberitahu bahwa tidur lebih baik daripada melakukan maksiat di bulan Ramadhan. Hal ini selaras dengan apa yang pernah dinyatakan Gus Baha’ bahwa di masa sekarang orang bisa menjadi wali Allah lantaran banyak tidur. Musababnya seperti yang telah disebutkan tadi, apabila orang tersebut bangun mungkin ia tak akan terhindar dari perbuatan maksiat.

Lantas, apakah kita akan mengisi Ramadhan dengan tidur sepanjang hari, lalu berdalih untuk menghindari maksiat?. Saya rasa hal itu merupakan pembenaran atas rasa malas kita. Meskipun tidur bisa menyelamatkan kita dari dosa, bukan berarti kita dianjurkan tidur sepanjang hari selama Ramadhan. Mbok yo ojo nemen-nemen anggene dadi beban keluarga!. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan saat Ramadhan. Mulai dari tadarus al-Qur’an, bersih-bersih rumah, hingga menyapu masjid. “Tapi semua itu mengundang dahaga!”. Justru itu yang menjadikan pahala kita berlipat. Sebab, upaya yang kita kerahkan lebih keras daripada saat kita tidak berpuasa.

Namun, aktivitas-aktivitas tadi tampaknya cukup sulit dilakukan bagi kaum mager seperti saya. Terus, apakah kaum mager bisa mengisi Ramadhan dengan ibadah yang sesuai dengan karakter mereka? Sangat bisa. Setidaknya ada 3 macam ibadah yang bisa dijalankan oleh kaum mager saat di bulan Ramadhan, sebagai berikut.

Ibadah Dzikir

Dzikir merupakan bentuk amalan lisan. Kita tak butuh tenaga ekstra untuk mengerjakannya. Cukup dengan kita menggerakkan bibir, maka terlaksanalah ibadah dzikir. Tentu ini sangat cocok dengan karakter kaum mager. Bahkan, dzikir tidak mewajibkan kita dalam keadaan suci―meski tetap saja melakukannya dalam keadaan suci lebih afdal. Ini menjadi indikasi betapa dimudahkannya kita dalam mencari pahala. Oleh sebab itu, jangan sampai kita tak menggunakan kesempatan emas tersebut. Bila kita merasa malas untuk melakukan aktivitas fisik, jangan sampai kita juga malas melaksanakan aktivitas lisan (dalam hal ini dzikir).

Lantas, praktiknya bagaimana? Saya rasa disesuaikan dengan kemampuan masing-masing kita dulu saja. Artinya, kita tak harus memaksa diri kita untuk berdzikir dalam jangka waktu lama. Sedikit-sedikit dulu tak mengapa, asalkan konsisten. Nanti lama-lama (insyaallah) ibadah dzikir kita akan mengalami peningkatan. Terus, kalau kita masih merasa berat berdzikir dalam jumlah yang sedikit, bagaimana? Tenang, ada solusinya. Kita bisa mulai dengan langkah awal kita melalui upaya mengganti misuh dengan kalimat thayyibah. Misal, saat kita kalah main game, alih-alih misuh akan lebih baik bila kita beristighfar. Selain lebih enak didengar telinga, hal tersebut juga dapat menghapus dosa, memberi kita pahala, dan tentunya membuat hati lebih tenang.

Belajar

Lah, kok belajar? Nggak salah? Tentu saja tidak, kawan. Wahyu yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad saw berisi perintah membaca. Secara lebih luas, perintah tersebut bisa dipahami sebagai perintah belajar. Banyak yang menyebut bahwa perintah membaca tersebut menyiratkan penentangan Islam terhadap kebodohan. Guna menghapus kebodohan dalam diri kita, apa lagi yang bisa kita lakukan selalin belajar?. Urgensi belajar sendiri juga banyak disinggung oleh Nabi saw. Kita mungkin sudah cukup banyak membaca/mendengar hadis tentang kewajiban mencari ilmu.

Terus, gimana cara kita belajar di bulan Ramadhan ini?. Tampaknya di era sekarang tak ada alasan bagi kita untuk tak belajar. Kita bisa belajar melalui aktivitas membaca. Bila tak punya buku, kita bisa mencari artikel di berbagai situs (tentunya situs yang kredibilitasnya sudah jelas, ya!). Kalau tak suka membaca, kita bisa belajar dengan cara menyimak ceramah-ceramah agama yang banyak bertebaran di YouTube. Kita bahkan bisa memilih sendiri mau mendengarkan ceramah siapa, pun demikian dengan temanya. Fleksibilitas semacam itu jelas tak akan kita dapatkan saat nonton TV. Bagi yang merasa capek matanya sebab nonton video terlalu lama, bisa beralih ke podcast. Kurang gampang apa coba sekarang?. Masalah kuota? Tenang! Ada WiFitetangga (tapi izin dulu, ya).

Tafakkur dan/atau Tadabbur

Secara harfiah, kata tafakkur dan tadabbur memiliki arti yang sama yakni berpikir. Namun, keduanya sebenarnya memiliki perbedaan. Melansir dari alam caknun.com, objek dari tadabbur adalah al-qaul/kata-kata (lebih spesifiknya lagi al-Qur’an); sementara itu, objek dari tafakkur adalah alam semesta, diri manusia dan perilakunya, serta kejadian atau peristiwa. Intinya di sini kita berusaha untuk berpikir dan merenung. Dua aktivitas tersebut banyak disinggung dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, dua aktivitas itu merupakan perkara yang sangat penting.

Aktivitas tafakkur dan/atau tadabbur merupakan bentuk upaya kita untuk tak membuat pikiran menganggur. Pasalnya, pikiran merupakan anugerah yang sangat berharga dari Allah swt, masa’ kita malah menjadikannya seolah tak berguna?. Tafakkur dan/atau tadabbur sepertinya adalah aktivitas yang sangat mudah dilakukan. Kita tak perlu menggerakkan lisan, kita tak butuh kuota, cukup kita manruh fokus pada pikiran. Lantas, tujuan dari dua aktivitas ini apa?. Banyak, dua di antaranya yakni mengambil hikmah atas apa yang telah terjadi dan menyadari keagungan Allah rabb al-‘alamin.

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels