Menjadi mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (PBSI) merupakan tugas moral yang berat. Tidak seperti jurusan ilmu lainnya, selain harus fokus untuk menjalankan tugas kuliah. Mahasiswa PBSI juga harus siap dengan segala coba, halang rintang, dan pandangan di mata orang.

Ada tiga kata dalam satu skema, pendidikan, bahasa, dan sastra. Pendidikan sebagai proses atau bisa disebut usaha untuk mendidik orang lain. Bahasa dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sistem lambang bunyi yang arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama dan berinteraksi. Sementara, sastra merupakan bahasa sanskerta yang berarti teks dengan kandungan berupa pedoman, atau instruksi.

Dari segi nama saja sudah cukup kompleks, menunjukkan betapa tidak sederhananya jurusan PBSI. Memang banyak yang beranggapan, “kuliah kok bahasa Indonesia padahal sudah sejak lahir belajar bahasa Indonesia,” “Ada pepatah duniamu seluas bahasamu, makanya jangan cuma belajar bahasa Indonesia,” “Lah kok tidak ambil jurusan bahasa asing aja, bahasa Arab, Inggris, Jerman, atau bahasa Alien,” stigma seperti itu sudah lumrah terdengar sejak saya mahasiswa baru dulu.

Namun, jurusan PBSI tidak sesederhana itu. Berikut hal yang harus dipahami jika nanti hendak menjadi mahasiswa jurusan PBSI. Beban yang harus dipukul sebagai mahasiswa PBSI, stigma yang harus dilawan agar tidak terus menerus berlangsung.

Pertama, Dipercaya Sebagai Ahlinya Ahli Bahasa

Beruntung hanya dipercaya, bukan diwajibkan. Sebagai mahasiswa yang masih sama sama belajar tentang berbagai hal, saya menyatakan kami bukanlah KBBI berjalan. Sudah sering terjadi di tongkrongan, saat ada pembahasan agak mendalam saya seringkali dituntut untuk mengartikan sebuah kata. Padahal saat inikan sudah ada KBBI daring, tinggal unduh saja di gawai kesayangan, segala urusan selesai.

Kedua, Dianggap Akan Menjadi Guru Padahal Bercita Cita Sebagai Penulis

Berbicara lulusan PBSI prospek kerjanya tentu beragama, bukan hanya guru. Bisa menjadi editor bahasa, jurnalis, copywriter, hingga penulis profesional. Tapi, karena di judul jurusan ada kata ‘pendidikan’ seolah prospek utamanya hanya guru.

Saya sendiri agak aneh dengan pandangan sempit ini. Perlu dipahami, di PBSI mata kuliah itu terbagi menjadi tiga fokus utama yaitu, bahasa, sastra, dan pendidikan. Jika prosentase tiga sub itu memiliki porsi yang sama.

Baik pendidikan, bahasa, dan sastra diajarkan secara bersamaan bersesuaian dengan kebutuhan mahasiswanya. Tidak baik juga, mengira ngira masa depan orang. Lah orang sekarang juga bekerja tidak hanya terbatas pada disiplin ilmu, banyak yang justru berbeda.

Ketiga, Sering Dikira Joki Tugas

Sudah menjadi rahasia umum, kalau di dunia perkuliahan ada saja mahasiswa yang butuh pada jasa joki tugas. Apalagi, di tengah pandemi dengan kurang efektifnya pendidikan, pemahaman akan materi kian menurun, sehingga joki tugas jadi solusi.

Nah, sasaran empuk yang sering ditanya terkait penerimaan joki tugas ini adalah mahasiswa PBSI. Saya sendiri, dan beberapa teman sudah lumrah mengalami hal itu, dari mulai iming iming uang yang cukup besar, hingga bentuk balasan jasa lain. Saya mengecam keras tindakan itu, sebab mahasiswa PBSI adalah semulia mulianya mahasiswa yang melawan plagiat.

Keempat, Jurusan PBSI Pasti Pandai Menulis

Sudah saya jelaskan diatas, PBSI memiliki tiga fokus, dan satu lagi soal keprotokolan. Tidak semua mahasiswa PBSI pandai menulis, karena beberapa juga bercita cita menjadi guru atau bahasa.

Anehnya, karena sering dianggap pandai menulis kalau berurusan dengan fakultas lain dalam sebuah acara, atau organisasi mahasiswa PBSI sering menjadi bahan wajib untuk jadi sekretaris. Tidak peduli karena gak bisa nulis, atau belum berpengalaman pokoknya mahasiswa PBSI pasti bisa.

Jadi, bagaimana sobat? Mahasiswa PBSI tidak sesederhana itu bukan, banyak suka duka dan halang rintang. Jelasnya, mahasiswa PBSI itu ramah ramah, dan jarang marah marah. Jangan dilupakan juga, keberadaan mahasiswa PBSI sebagai pelanjut estafet dari perjuangan sumpah pemuda ketiga, bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Mempelajari bahasa Indonesia itu, gampang gampang susah. Gampang karena dikenal sejak kecil, susah karena ternyata bahasa Indonesia, sastra, dan pendidikan kompleks perlu yang banyak dipelajari lebih dalam.

Editor : Hiz