Hari ini, 10 Desember 2019 bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia. Dalam sejarahnya, Hari HAM ditetapkan berdasarkan pernyataan global yang disebut sebagai Universal Declaration of Human Rights oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Dalam Universal Declaration of Human Rights, ada 18 hak yang kemudian disebut sebagai hak asasi manusia.

Meskipun sudah dideklarasikan, namun perjuangan untuk HAM nggak berhenti begitu saja. Banyak peristiwa-peristiwa yang mencederai HAM setelah deklarasi. Sebut saja pembantaian etnis Bosnia oleh Kroasia pada 1995, juga pelanggaran HAM dalam beberapa konflik dan perang di Timur Tengah tahun 2000-an. Di Indonesia sendiri, banyak pelanggaran HAM terjadi di masa orde baru.

Bisa dibilang, perhatian untuk HAM di Indonesia baru diberikan secara layak setelah reformasi.  Salah satunya tergambarkan dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memuat 10 hak asasi di dalamnya. Meski begitu, tetap saja ada kasus-kasus pelanggaran HAM pasca-reformasi, pembunuhan aktivis HAM Munir misalnya.

Menghindari Kekerasan Fisik dan Verbal

HAM di dunia maupun Indoneisa memang selalu diperjuangkan, meskipun masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang sulit untuk dituntaskan. Namun perhatian yang diberikan nggak bisa diremehkan, bahkan bisa dianggap sebagai langkah yang penting untuk menghargai hidup dan kehidupan manusia. Bagi kita generasi muda, menghargai HAM bisa banget dimulai dari keseharian. Salah satunya di sekolah dan kampus.

Lazim kita kenal, saat di sekolah maupun kampus kita merasakan jadi junior waktu baru masuk. Seiring berjalannya waktu, lama-kelamaan predikat “senior” auto-melekat pada diri kita. Yang paling lazim terjadi, di acara resmi maupun pergaulan sehari-hari, senior bersikap galak ke junior karena junior dianggap nggak sopan, banyak tingkah, sampai bikin ulah. Bahkan nggak jarang galaknya itu menggunakan kekerasan.

Nah, menghargai HAM salah satunya bisa dilakukan dengan mengetahui tentang kekerasan yang jadi bagian dari pelanggaran HAM, lalu menghindarinya. Kekerasan sendiri nggak mesti berupa kekerasan fisik. Tindakan-tindakan kekerasan bisa dalam bentuk verbal maupun tekanan mental. Kalau ucapan dan tekanan  mental saja termasuk kekerasan, apalagi tindakan memukul, menendang, dan bentuk-bentuk kekerasan fisik lain, kan?

Selanjutnya, yang perlu kita pahami adalah kekerasan nggak pernah bisa mengatasi masalah. Misal, ketika ada junior yang menurut kita “bikin ulah”, justru masalah ngak akan selesai kalau kita hadapi dengan kekerasan fisik. Bahkan, seringkali kekerasan yang diberikan akan berbalas kekerasan lainnya.

Balasan itu bisa berupa tindakan kekerasan dari junior ke senior. Atau yang lebih nggak masuk akal, junior yang nggak terima disikapi dengan kekerasan bakal membalas dendam. Bentuk balas dendamnya adalah membalas ke juniornya kelak ketika dia (atau mereka) menjadi senior. Nah, kalau sudah begini, jadi lingkaran setan senioritas yang toxic, nih.

Oh iya, menurut beberapa penelitian terbaru, kekerasan verbal nggak kalah dahsyat efeknya dibandingkan dengan kekerasan fisik. Kekerasan verbal seperti perundungan (bullying), hinaan, bentakan, sumpah-serapah, sampai ancaman kekerasan fisik bisa berdampak buruk secara psikis. Bahkan dalam banyak kasus, kekerasan verbal semacam ini menjadi penyebab depresi sampai bunuh diri.

Banyak Solusi Selain Kekerasan

Ketimbang menempuh jalur-jalur kekerasan, lebih baik kita sama-sama melatih diri untuk menggunakan solusi-solusi lain yang lebih ramah. Menghindari jalan kekerasan, karena kekerasan bukan solusi untuk menyelesaikan masalah. Lebih baik meretas langkah untuk solusi-solusi yang bersifat persuasif dengan argumentasi yang kuat.

Meskipun tujuannya baik, namun banyak yang pesimis cara-cara nirkekerasan bisa berhasil. Padahal nyatanya, kalau diseriusi, sangat mungkin cara-cara yang ramah dan persuasif bisa menjadi solusi. Contohnya penegakan hukum di negara kita tuh, cara-cara penyidikan KPK disebut menjaga HAM para terduga maupun saksi.

Melalui cara-cara yang ramah itu, KPK justru bisa menjalankan tugasnya dengan baik bahkan mengembalikan triliunan kerugian negara. Sebaliknya, cara-cara yang mencederai HAM dan “mau praktisnya saja” banyak bikin salah tangkap, ketidakadilan, sampai pengakuan yang terpaksa dilakukan karena si terduga nggak kuat lagi dengan kekerasan yang diterima.

Akhirnya, menggunakan langkah-langkah nirkekerasan bisa kita sebut sebagai upaya untuk memakai otak, bukan memakai otot dalam penyelesaian masalah. Bisa banget dicoba sebagai salah satu usaha menghargai hak asasi. Menghargai hak yang melekat dalam diri manusia sejak lahir, yang harus dijaga bersama-sama, selama kita masih menjadi manusia.

 

Penulis: Nabhan Mudrik

Ilustrator: Ni’mal Maula