Sebelum ngetren istilah Thrift seperti sekarang, kegiatan membeli baju bekas di Jember disebut beli Babebo (yang mungkin juga ada di daerah lain). Entah bagaimana asal muasal nama babebo ini lahir. Ada yang berteori bahwa kepanjangan dari babebo adalah baju bekas bos. Tapi tetap tak ada yang bisa membuktikan teori itu benar atau tidak. 

Di Jember, tepatnya di Kecamatan Ajung, depan Pom Bensin. Ada sebuah pasar babebo yang cukup besar dan lengkap. Mau nyari pakaian seperti apa aja ada di sana. Mulai dari kaos, kemeja, jaket, sweater, celana jean, rompi, tas, ransel, selimut sampai handuk bekas pun ada. Jika dilihat mereknya, rata-rata pakaian bekas itu berasal dari luar seperti Korea, Jepang, China, Amerika dan lainnya. Bahkan saya pernah beli sweater berwarna hitam buatan Nikaragua. 

Babebo sebenarnya bisa ditemui hampir di seluruh pasar, tapi yang paling lengkap di Jember, ya di Ajung ini. Dulu ada dua yang terbesar, satu lagi di Kecamatan Mangli. Dekat Rest Area Jubung. Tapi yang di Mangli sudah ditutup. Maka pedagang yang dulu jual di Mangli akhirnya pindah juga berjualan di Ajung.   

Babebo ini seakan menjadi surga atau oase berbelanja bagi kami kaum mahasiswa proletar. Ingin baju yang branded tapi dengan dana yang minim? Babebo lah tempat yang sangat tepat. Hanya dengan uang dua puluh ribu rupiah kita sudah bisa membeli barang yang kita incar. Bisa lebih murah jika kita punya skill menawar yang mumpuni.

Babebo Bersaing dengan Thrift Shop

Tapi beberapa tahun belakangan transaksi tawar menawar dengan para pedagang menjadi sedikit sulit. Beberapa harga pakaian pun jauh lebih mahal. Apalagi barang dengan merek terkenal seperti Nike, Adidas, Puma, Columbia, Uniqlo dan Dickies. Para pedagang di sana sudah mulai membedakan mana barang bermerek dan kurang bermerek. Dulu sweater Nike yang bisa seharga tiga puluh ribu rupiah, kini rata-rata dibandrol dengan harga ratusan ribu.

Barang-barang yang masuk ke pasar babebo ini pun kualitasnya kalah jauh dari yang dulu. Sekarang sulit sekali menemukan barang bermerek yang masih bagus. Ada yang bermerek tetapi terkadang banyak minusnya.  Ternyata setelah ditelusuri, fenomena ini dipengaruhi dengan maraknya Thrift Shop online yang semakin dilirik anak muda.

Barang-barang yang bagus-bagus sudah lebih dulu dibeli oleh para pemilik thrift shop sehingga yang masuk pasar babebo Jember bisa dikatakan hanya sisa-sisa. Sialnya harga yang dibandrol di thrift shop sangat tidak ramah kantong bagi kami kaum akar rumput. Saya pernah liat di sebuah akun instagram thrift shop, sebuah sweater Disney dibandrol dengan harga dua ratus ribuan. Ada juga yang menjual jaket Chicago Bulls dengan harga lima ratus ribu rupiah.

Saya paham sih barangnya bagus-bagus, bermerek terkenal dan kondisinya masih sangat layak pakai, tapi tetap saja itu harga yang terlalu mahal untuk pakaian bekas. Sejatinya penjual baju bekas di babebo zaman dulu memiliki tujuan untuk memberikan pakaian bermerek dengan harga yang ramah. Tapi sekarang babebo malah juga terimbas dengan ngetrennya budaya thrift. Selain barang bagus di babebo semakin sulit ditemukan, para penjual di babebo juga ikut-ikutan menaikkan harga walaupun tidak separah di thrift shop.

.

Yang ngeselin juga, dulu pemuda-pemuda kaya yang sok-sok menghina babebo, sekarang malah doyan belanja di thrift shop. Dulu berasa sekali bahwa babebo yang merupakan cikal bakal thrift shop dipandang sebelah mata, dan bahkan presiden Jokowi sempat melarang masyarakatnya untuk beli babebo karena dianggap merugikan Negara. Sekarang thrift shop ngetren, Pak Presiden nggak ada tuh protes dan ngasih intruksi untuk tidak membeli di thrift shop, malah dianggap budaya baru milenial sampai masuk kontennya Mbak Nana.  

Padahal pada dasarnya, babebo dan thrift shop adalah hal yang sama, cuma beda nama dan harga. Sama kayak es teh dan ice tea. Jika es teh harganya tiga ribu rupiah, ice tea bisa berharga dua puluh ribu. Hanya dengan mengganti nama menjadi lebih gaul dan milenial, harga sebuah barang bisa melambung tinggi meskipun dengan kualitas yang sama.