Suatu hari di masa awal pandemi, saya tertarik pada salah satu podcast dengan judul yang sangat menohok, “Podcast Om-om.” Jelas-jelas dari nama saja sudah  nggak mashok bagi anak muda di umur 20-an seperti saya, lebih lagi yang saya putar adalah episode dengan judul yang nggak kalah tua: “Semua Akan Botak pada Waktunya”. Nama besar Box2Box yang kebetulan menaungi podcast inilah membuat saya benar-benar terjebak dan yakin betul memutar episode tersebut. Dan satu alasan lagi, ya, karena gabut aja.

“Tring ting ting ting, Box2Box media network”. Podcast pun dimulai. 

Di episode tersebut Tyo, Patra, Rama, dan Roy sebagai pengisi suara memberikan kesaksian mereka Tentang insekuritas om-om soal kebotakan. Masalah orang tua, pikir saya.  Dari keempatnya hanya om Roy yang botak sedari menjadi mahasiswa semester 2, sedangkan sisanya hanya persoalan rambut yang menipis, botak mundur, hingga botak jidat kanan kiri. 

Awalnya saya cuma menertawakan cerita para orang tua ini karena merasa terhibur. Tapi setelah itu saya menyadari bahwa mungkin mereka adalah gambaran insekuritas yang akan saya alami sepuluh tahun mendatang. Yah ini masalah serius!

Gondrong Atau Botak?

Awal pandemi merupakan awal dari usaha saya menggondrongkan rambut, usaha yang dulu selalu gagal saya ulang kembali, dengan niat yang membumbung tinggi. Dan dalam proses pengondrongan tersebut, akhirnya saya menyadari kengerian yang dibicarakan om-om itu. 

“Loh kok rontok terus ya,” pikir saya yang tiap hari tak pernah absen menyaksikan helai-helai rambut berguguran. Saya selalu mencoba menenangkan diri sendiri, bahwa sudah kewajaran kalau menggondrongkan rambut akan mengalami kerontokan semacam ini. 

Berbulan-bulan saya selalu berusaha menjaga kesehatan rambut demi meminimalisir kerontokan tersebut.  Hingga pada akhirnya rambut bagian depan saya bisa dikucir ke belakang, suatu kebanggaan di fase penggondrongan rambut. Sembari menatap cermin, saya melihat ada yang aneh, “Wah, rambutku kok mundur…” Persis seperti yang om-om itu ceritakan.

Saya menyadari itu di jidat sebelah kanan. Sebagai gambaran, kulit kepala dengan jidat itu memiliki perbedaan yang sangat kentara, apalagi jika disorot dengan cahaya. Dan saya baru mengingat kembali cerita Patra Gumala di podcast tersebut, bahwa rambutnya yang menipis berawal dari kerontokan ketika ia menerima tantangan tidak cukur rambut selama setahun. 

Di posisi ini, jujur saya serba salah. Apabila saya meyakini kalau kebotakan adalah bom waktu yang pasti, artinya menggondrongkan rambut adalah kemewahan terakhir pria di usia seperti saya sekarang. Semakin menggondrongkan rambut, kerontokan akan lebih sering terjadi. Bingung kan?

Kebotakan Adalah Bom Waktu yang Pasti

Ketakutan saya semakin menjadi-jadi ketika obrolan tua ini saya bawa ke tongkrongan. Anehnya, teman saya juga menyadari hal yang sama. Saya yang awalnya mengira ini adalah masalah saya sendiri, ternyata juga dialami oleh teman lain. Dan sebagai langkah antisipasi, teman saya pun langsung gercep membeli berbagai macam treatment rambut, sebelum masa-masa mengerikan itu datang.

Entah sebuah konspirasi Tuhan, tepat pula kala itu Pandji Pagiwaksono memposting foto dengan kepala yang dibabat habis dengan caption, ”sebelum kebotakan menghabisi rambut gue, gue habisin duluan. I win”. Sepertinya benar, kebotakan itu kemungkinan yang lebih pasti. Dan hari ketika saya menulis ini, tepat persis setelah Pandji menceritakan kembali kebotakannya di YouTube Raditya Dika.

Dan sebagai gambaran yang lebih mengerikan, tengoklah perubahan fisik Damon Albarn vokalis band Blur sebagai salah satu bagian skena Britpop 90-an. Di masa mudanya ia dianugerahi wajah tampan nan imut ala pria British. Bagaimana tidak, banyak pria yang berkomentar di kolom komentar lagunya, bahwa mereka rela menjadi “gay” hanya untuk Damon muda.

Entah sebuah jokes atau serius, itu buah kekaguman pada Damon. Sedekade berlalu. Tepat menuju akhir abad, rambut jidat sebelah kanan dan kirinya mulai terkikis. Hingga beberapa berkomentar kalau wajahnya dinilai boros karena pengaruh rambutnya, jauh dari penampakannya di usia 20-an. Padahal dia baru memasuki usia kepala tiga kala itu. End of century, oh, its nothing special.

Lalu kini saya meyakini, selain kebahagiaan, rambut yang utuh adalah anugerah Tuhan yang mahal. Dan saya berharap, saya menjadi salah satu orang yang kebagian hal tersebut. Heuhue. Beneran!

Sumber gambar: www.cnnindonesia.com

Penyunting: Halimah