Covid bukan imaji. Bentuk mawas diri atas imaji itu adalah kita dapat turut membebaskan menjadi perasaan yang nyata, bukan sekedar bayangan.

Imaji seringkali diasosiasikan sebagai guratan bayangan dari apa yang terpikirkan. Segala rupa dan bentuk hanya tergambar dalam sekilas bayangan alam pikir.

Imaji, erat kaitannya dengan imajinasi, dan apa yang ada di dalam imajinasi bagi sebagian orang, lazimnya hanya untuk sebagai bayangan yang jauh dari nyata.

Termasuk saat ini ketika kita membahas mengenai wabah kesehatan bercampur sosial, ekonomi, dan politik ini. Wabah COVID-19 bagi sebagian orang hanyalah imajinasi; ini maknanya bukan berarti kebanyakan dari kita di Indonesia adalah penganut paham konspirasi dan segala turunannya.

Makna yang tersiratnya adalah, kita yang hanya bersikap lazim dan pasrah pada keadaan wabah, tak jauh beda dengan orang-orang yang hanya membayangkan ini sebagai imajinasi belaka; hanya sebagai bayangan yang tak kasat mata.

Bagi yang tak pernah berurusan dengan wabah ini, hampir tak sedikit yang juga abai bahwa ini adalah wujud nyata dari bentuk keadaan sesungguhnya, bahwa ada penyakit yang memang “ada”, bukan di-ada-ada.

COVID itu “Ada”, COVID bukan imaji

Pengalaman bergelut dengan wabah ini tidak hanya sekali menghampiri hidup saya. Hampir dua kali, namun untungnya belum pernah merasakan langsung sesak dan pilu saat dilanda penyakit penyerta virus COVID-19 ini.

Pertama, saat tetangga sendiri yang terpapar, yang berimbas pada saya dan keluarga memang bukan secara fisik, namun secara sosial sudah dicap sebagai orang yang harus dijauhi. “Si kontak erat,” kata tetangga-tetangga sinis itu menjuluki saya dan keluarga.

Namun, tak berapa lama mereka berucap, ternyata mereka yang jadi korban virus ini selanjutnya. Saya masih belum terpapar.

Pengalaman kedua, ketika adik sendiri yang terpapar, saat hendak pulang ke rumah, ia sempat tes usap terlebih dahulu dan mendapatkan hasil yang buruk. Terpaksalah menepi di rumah sakit, dan tidak pulang sekitar satu bulan lamanya karena tante yang saat itu bepergian dengan adik mengalami perburukan kondisi sehingga harus dirawat.

COVID-19 ini tidak lagi harus dipandang sebagai bencana kesehatan yang mengakibatkan perburukan kondisi bagi individu saja. Sekumpulan virus ini telah menjadi wabah sosial, ekonomi, dan politik.

Semua aspek hampir “terpapar” dan berujung tidak stabil. Ini membuktikan bahwa kehilangan orang-orang tersayang saat mereka terpapar COVID-19 dalam jumlah yang banyak dan serentak, adalah kepiluan bagi semua struktur kehidupan bernegara.

Selama ini mungkin kita menganggap bahwa kehilangan individu dalam unit keluarga adalah kedukaan bagi keluarga tersebut, hanya bagi keluarga itu. Namun, COVID-19 mengubah perspektif itu menjadi sebuah hal yang harus selalu dihargai oleh semua keluarga.

Satu nyawa di dalam keluarga adalah rezeki yang tak ternilai. Dan satu nyawa tersebut sama maknanya bagi semua aspek dalam kehidupan kita, tidak hanya bagi keluarga itu sendiri.

Namun yang akan dihadapi di depan, varian dan skeptisme yang kian besar, menjadi tantangan tersendiri untuk menyudahi sikap tak acuh dan bayangan imaji terhadap si virus ini.

Gerakan Kolaborasi: yang Bisa Menyadarkan “Imaji”

Per data Reuters, saat ini (per tanggal 5 Februari 2022) tingkat infeksi Indonesia adalah tingkat infeksi terparah keempat setelah India, Turki, Iran untuk wilayah Asia dan Timur Tengah.

Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi saat ini–walau sebelumnya tampak tenang sebelum varian Omicron baru muncul–menunjukkan bahwa kita masih mengulang respon yang sama atas kejadian gelombang sebelumnya.

Persepsi kita dalam rentang ketenangan setelah varian Delta menuju varian Omicron ternyata masih berhenti; tidak berkembang untuk mulai empati pada orang-orang yang kehilangan keluarga karena COVID-19.

COVID bukan imaji. Mestinya kita tidak lagi berhenti pada pandangan bahwa COVID-19 ini hanya menyergap individu dalam keluarga secara acak. Imajinasi kita bisa dikepakkan dalam bentuk responsif yang lebih simpatik.

Data selama ini mestinya menjadi acuan pemerintah kita untuk melihat strategi seperti apa yang harus dikeluarkan selama masa menuju titik puncak gelombang baru.

Namun fakta kebijakan di lapangan masih tak sedikit yang mencederai data itu sendiri. Kita yang saat ini masih diberi kesehatan dan diberi waktu untuk membaca, penting untuk mengeluarkan imaji COVID-19 menjadi buah empati dan kesadaran bersama.

Contoh perilaku baik, yakni sudah hampir dua tahun masa wabah, penanganan diprakarsai oleh responsivitas Muhammadiyah Covid Command Center (MCCC) dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).

Atribut di dalam COVID-19 ditelaah berlarut-larut untuk menemukan gerakan antisipasi yang gesit dan tidak berhenti pada persepsi “sekedar” menganggapnya imaji; meski mungkin anggota-anggota di dalam MCCC dan MDMC itu belum pernah terpapar COVID-19 selama masa baktinya.

Apa yang dilakukan oleh MCCC dan MDMC itu sebagai gerakan bersama telah meretas batas imajinasi itu sendiri.

Mengikuti “Imaji” untuk Modal Sosial

Serangkaian cerita mengenai bagaimana fase masyarakat dapat terima atas keadaan wabah ini sekiranya menjadi modal bahwa mereka sebenarnya juga ingin lepas dari keadaan tantrum akibat wabah.

Mereka ingin lepas dari imajinasi COVID-19 yang mungkin masih ada dalam pikirannya. Padahal, salah satu bentuk mawas diri atas imaji itu adalah kita dapat turut membebaskan menjadi perasaan yang nyata, bukan sekedar bayangan.

Professor Sulfikar Amir, peneliti khusus bidang Social Resilience sekaligus Associate Professor di Nanyang Technological University Singapore (NTU) juga mengatakan dalam vlognya bahwa modal terbesar menghadapi wabah (bencana apapun) yang sesungguhnya adalah social capital (modal sosial), dan wujud dari modal sosial ini adalah rasa saling memiliki dan kedekatan untuk berperilaku tolong-menolong.

Mungkin benar, bagi yang tak pernah merasakannya, COVID-19 memang imajinasi; hanya ada dalam bayangan, belum pernah dirasa, belum pernah terlihat dan turut ditilik.

Tetapi, hal demikian bukanlah hal buruk bila modal itu digunakan sebagai motivasi yang menuntun pada empati dan rasa partisipasi untuk menolong sesama, dan kunci untuk mewujudkan itu ada pada sekarang; iqro kembali, karena COVID bukan imaji.

Editor: Lail

Gambar: Pexels