Banyak risiko kerja kurir, mereka yang harus bertemu dengan beragam orang, di kala Covid-19 masih giat menyerang.

Kurir yang saya maksud adalah mereka yang bekerja di sektor jasa mengantarkan orang dan barang pesanan. Sedang di masa pandemi ini, interaksi fisik bisa membawa bahaya. Risiko kerja kurir menjadi semakin berat rasanya.

***

Rabu tanggal 9 Juni 2021 jam 12.10 siang saya menerima pesan WA, “Mba, Bapak sedo (meninggal)”. Tangan saya gemetar memegang ponsel, seakan tidak percaya dengan apa yang saya baca. Bapak dalam pesan itu sebenarnya adalah Pak Lik (paman) saya.

Semenjak bapak saya meninggal, Pak Lik menggantikan fungsi  sebagai orang tua pengganti, tempat meminta nasihat dan menjadi wali nikah saya. Hari itu saya baru saja berniat pergi membeli tiket kereta menuju kota kelahiran saya, setelah sehari sebelumnya saya mendapat kabar Pak Lik diopname. Penyakit diabetes yang sudah dia derita bertahun-tahun, semakin mengganas sejak covid 19 menggerogoti tubuh rentanya.

Pak Lik saya adalah seorang tukang becak. Walaupun kami (saya dan anak-anak Pak Lik) memintanya berhenti, Pak Lik tetap gigih mencari nafkah karena tidak mau merepotkan siapapun. “Aku akan berhenti kerja kalo sudah mati” adalah prinsip hidup yang dia pegang teguh. Dengan becak kesayangannya, Pak Lik biasa mangkal di depan sebuah supermarket besar di kota saya.

Dengan semakin banyaknya ojek online, berbekal HP jadul, Pak Lik menawarkan jasa angkut dan antar barang selain membawa penumpang yang semakin sedikit jumlahnya. Mungkin dari salah satu kegiatan – mengharuskan dia berinteraksi dengan banyak orang yang berbeda – membuat dia akhirnya tertular virus mematikan itu.

Di hari yang sama, media online riuh dengan pemberitaan tentang McD, sebuah restoran cepat saji ternama bekerja sama dengan BTS – ikon K-Pop ter-hits abad ini – membuat paket menu BTS Meal. Sebuah paket makanan yang hanya “memoles” packaging dengan simbol grup band tersebut, dengan isi yang nyaris sama sebagaimana menu di McD pada umumnya.  

Menjadi viral, karena di mana-mana ditemukan antrian jaket hijau ojek online yang mengular menciptakan kerumunan baru. Kerumunan inilah yang membuat sebagian gerai MCD di berbagai kota terpaksa disegel aparat. Bahkan di kota tempat tinggal saya sekarang, 3 gerai restaurant cepat saji itu disegel oleh Satgas Covid-19. Karena dianggap melanggar protokol kesehatan.

Ada beberapa para pecinta BTS atau Army menyerukan untuk memberi tips kepada para kurir cemilan itu atas jasa nya memperjuangkan simbol-simbol idola mereka. Sekilas seruan itu cukup bijaksana sebagai pengganti waktu yang terbuang karena panjangnya antrian.

Namun apakah mereka, baik McD atau Army, menyadari pengorbanan para kurir “urusan perut” tidak sesederhana itu? Di masa Covid-19 seperti sekarang ini, risiko kerja kurir bisa dibilang mempertaruhkan  nyawa hanya demi beberapa lembar puluhan ribu saja.

Hafidz, anak dari teman baik saya, adalah seorang mahasiswa yang merangkap sebagai driver ojol untuk membantu perekonomian keluarganya. Booming BTS Meal sudah dia prediksi dari awal karena sebagai milenial dia aktif di berbagai media sosial. Dia mengaku sengaja menghindari area dekat McD supaya tidak mendapatkan orderan BTS Meal dari pelanggan.

Selain itu, ia tahu risiko dan kerugian yang akan dia dapatkan hanya untuk menyenangkan hasrat sesaat penggila BTS. Dia cukup paham kemungkinan menjadi silent carrier corona kepada ayahnya yang tengah sakit.

Berbeda dengan Hafidz, Pak Toni tetangga yang kos di sebelah rumah saya tetap nekat mengambil orderan McD karena sepinya orderan sejak pandemi, sementara dia harus membayar kos tiap bulannya, dan untuk mengirimkan uang kepada anak dan istrinya di kampung. Pak Toni tidak memiliki pilihan untuk menolak orderan BTS Meal daripada tidak mendapatkan uang. “Nggak mikir corona aku mba. Yang penting dapat duit,” ujarnya.

Menjadi kurir adalah sebuah pilihan pekerjaan baru yang semakin tumbuh subur seiring meningkatkannya kebutuhan belanja online di masa digital. Posisi sebagai jembatan antara produsen ke konsumen mengharuskan mereka berhubungan dengan banyak orang yang berbeda.

Ditambah dengan rendahnya literasi edukasi masyarakat tentang e-commerce, pekerjaan ini memiliki resiko tinggi. Kendati demikian  pekerjaan ini tidak memiliki jaminan keamanan, apalagi jaminan kesejahteraan. Resiko tertular virus, resiko kecelakaan ataupun resiko dimaki-maki konsumen telah menjadi makanan sehari-hari.

Pertimbangan driver-driver ojol yang rela mengantri berjam-jam kurang lebih sama dengan Pak Toni dan Pak Lik saya, daripada Hafidz yang memilih untuk tidak mengambil orderan di hari itu. Prinsip “lebih takut tidak mendapatkan uang daripada takut terjangkit virus” adalah pilihan berat dan sangatlah kontradiktif. Di satu sisi mereka pun tahu konsekuensi apa yang akan mereka terima, tapi sebagai tulang punggung keluarga, mereka harus terus bekerja.

Siang itu, di ruang tunggu sebuah stasiun kereta api, saya hanya mampu terduduk lemas memandangi foto terakhir Pak Lik sebelum dimasukkan ke dalam peti. Bu Lik melarang saya untuk pulang, karena jenazah Pak Lik langsung dimakamkan saat itu juga, tanpa kehadiran seorang-pun dari  keluarganya. Selain itu, Bu Lik masih harus diisolasi selama berhari-hari untuk memutus mata rantai penularan di kampung saya.

Pilihan saya, mencegah kemungkinan buruk, memilih menahan rindu dua tahun tidak pulang demi kebaikan orang-orang di kampung halaman hanya berakhir sia sia. Saat corona berkuasa atas nama nafkah keluarga.

Editor : Hiz

Foto : Finance Watch