Banyak alasan untuk mencintai Liverpool .
Saat umur saya baru menginjak usia enam atau saat gelaran piala dunia diselenggarakan di Korea-Jepang, saat itulah saya mulai mengenal dunia sepak bola dan pemain top dunia dengan kemampuan di atas rata-rata.
Di umur segitu, saya sudah mengenal Fransisco Totti, Pirlo, Batistuta, hingga David Beckham. Yang jelas nama-nama pemain top di liga Eropa. Sampai saat ini, saya masih ingat bahwa saya pernah menggambar jersey sisi belakang di ruang tamu dengan nama dan nomor punggung Totti semasa ia masih di AS Roma.
Mulai beranjak remaja, dunia antara saya dan sepak bola–terkhusus di Liga Eropa–malah terputus. Saya sama sekali tak tahu tentang informasi per-sepakbola-an Liga Eropa. Bahkan hingga duduk di bangku perkuliahan, saya hanya tahu beberapa nama-nama klub, khususnya di liga Inggris dan Spanyol. Nama pemain bola yang ada dalam otak saya hanya Ronaldo dan Messi. Itulah mengapa, jika saya diajak main PS PES atau WE, saya lebih memilih main perang-perangan saja.
Awal mula saya mendengar klub bola di Liga-liga Eropa macam Chelsea, MU, Barcelona, AC Milan, Juventus, Real Madrid, Arsenal, hingga Liverpool itu saat saya masih duduk di bangku SMP. Di mana setiap klub-klub itu ternyata dijagokan oleh kawan-kawan saya semasa SMP hingga sekarang.
Di saat itulah saya suka bingung, entah apa yang membikin mereka begitu ngotot membela tim yang mereka unggulkan atau apa yang mereka bicarakan mengenai Liga Eropa. Namun satu hal yang pasti: selalu ada argumen ndakik ala bocah di setiap pergumulan mengenai kekuatan dan keunggulan setiap tim yang mereka jagokan. Saya menganggap perdebatan itu layaknya angin kentut saja.
Di titik ini, saya rasa sebuah klub seperti halnya sebuah agama atau keyakinan, ia benar-benar merasuk ke setiap denyut nadi dan aliran darah. Setiap fans akan membela mati-matian klub yang dijagokannya, bila perlu melakukan debat terbuka. Barang siapa yang kalah, klubnya akan di-roasting sampai ke akarnya.
Hingga pada medio 2020, saya mulai mbribik klub dengan satu-satunya semboyan terindah, “You’ll Never Walk Alone”, klub mana lagi kalau bukan Liverpool. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya beberapa influencer yang menjagokan klub ini sebut saja dr. Tirta, Zarry Hendrik, Sabda PS, hingga salah satu tokoh dalam film pendek berjudul “The Only One” yang juga mengemari klub berjulukan The Kop itu.
Kemudian saya penasaran mengapa mereka begitu mengemari Liverpool? Apa hebatnya? Dan bagaimana kualitas pemainnya jika dibandingkan dengan pemain lain di luar Liverpool? Dari pertanyaan itu, saya mulai membaca artikel dan menonton Youtube yang menyuguhkan segala hal tentang Liverpool mulai dari sejarah, pemain legenda, perolehan trofi, hingga formasi kesebalasan sekarang.
Sampai pada akhirnya saya membaca artikel yang mengulik tentang sosok yang sangat berpengaruh dalam kemajuan, kegemilangan, dan peletak pondasi awal Liverpool. Dialah Bill Shankly, yang mana patungnya berdiri di luar Anfield yang bertuliskan “He made the people happy”. Dan itu nyata adanya. Namun, ia harus mati dalam keadaan patah hati karena menyatakan mundur dari kursi manajemen tanpa adanya alasan. Sungguh teramat sangat misterius.
Mencintai Liverpool Seutuhnya
Seiring berjalannya waktu, dengan segenap informasi yang saya peroleh dari berbagai sumber, terlebih mengetahui betapa cintanya Liverpudlian kepada Liverpool sehingga sebuah Tragedi Hillsborough terjadi yang mengakibatkan sejumlah 96 pendukung Liverpool dinyatakan meniggal. Untuk mengenang tragedi memilukan itu, Liverpool menambahkan dua obor di sisi kanan dan kiri pada logo, dan pada sisi belakang jersey yang tersemat dua obor dengan angka 96 di tengahnya.
Dari laku spiritual itu saya akhirnya mengenal, memahami, lantas belajar mecintai Liverpool. Saya menemukan secercah keyakinan, kepercayaan, dan harapan yang semakin mengakar dalam setiap tarikan nafas.
Saya akhrinya mulai beradaptasi dengan ritme permainannya dan seluruh berita di media daring. Puncaknya, saya dibikin takjub sebab klub yang paling berpengalaman di Liga Inggris ini sukses mengobrak-abrik Mabes MU di Old Trafford dan mengembalikan rudal The Gooners beberapa waktu lalu.
Rentetan kemenangan Liverpool sedikit banyak dipengaruhi oleh duo senior: Virgil van Dijk dan Henderson, menurut saya, mereka adalah lakon yang paling berpengaruh dalam mengatur ritme penyerangan dan pertahanan. Ini terbukti saat pertahanan Liverpool mengalami penyerangan, Virgil hadir untuk mengomandoi sistem pertahanan yang ideal. Ia pun terlihat lebih bisa mengontrol emosinya.
Ini terlihat saat Ronaldo mencoba merebut bola dari Jones secara paksa–saat melawan MU beberapa waktu lalu–yang berakhir bentrok sesaat. Kemudian ia memprotes Ronaldo namun dihadang langsung oleh Bruno Mars dengan cara mendorong dadanya. Bukannya tersulut api amarah, ia justru bergegas menuju wasit untuk mencari keadilan. Dan tau siapa yang mudah sekali terpancing emosinya saat itu?
Ya, dialah Robertson. Salah satu yang paling depan dalam hal meladeni lalu bersilat lidah, bila perlu baku pukul kepada siapapun yang membikin rekan setimnya–atau bahkan dia sendiri–dilanggar begitu keji.
Begitupula dengan sang kapten Henderson. Ia terlampau cerdik dalam mengatur ritme penyerangan, menerjemahkan taktik ala Klopp kemudian mendistribusikannya kepada tim, hingga membaca strategi lawan, yang pada akhirnya mampu dikonversikan menjadi sebuah gol indah. Tentu saja berkat kerjasama dan kekompakan tim.
Terlepas dari itu semua, dalam sebuah pertandingan sepak bola dan olahraga apa pun, kemenangan memang menjadi tujuan utama. Namun bukan hanya itu saja, ada saatnya seri atau bahkan kandas. Ini hal yang wajar belaka. Yang lebih utama dalam semesta sebuah liga adalah bagaimana sebuah klub yang kita gandrungi itu tetap walk atau berjalan menuju perubahan yang mendatangkan kegembiraan bagi kita, juga kejayaan bagi klub yang kita cintai.
Atau kita juga bisa belajar lebih bijak dari kredo Olimpiade, “Hal terpenting dalam Olimpiade bukanlah untuk menang, tetapi untuk berpartisipasi”. Seperti halnya yang paling penting dalam hidup ini bukanlah kemenangan, tetapi juga perjuangan. Yang utama bukanlah karena telah berhasil mengalahkan. Lebih dari itu. Sebab kita telah berjuang dengan sebaik-baik pengorbanan.
Editor : Hiz
Foto : Pexels
Comments