Kerap kali kita mendengar dalam percakapan sehari-hari tentang pentingnya bersyukur dalam menjalani hidup kita. Hal ini juga sering dikatakan oleh tokoh-tokoh agama dalam menyebarkan ajaran agama tentang rasa syukur. Tetapi disamping itu ada masalah mengenai ajaran tentang rasa syukur ini, yang menurut saya harus dituangkan dalam suatu tulisan.
Masalah yang saya maksud ialah mengapa ketika ajaran-ajaran tentang rasa syukur disebarluaskan, seakan-akan kita tidak boleh lagi melakukan kritik juga perlawanan atas penindasan dan ketidakadilan yang dialami umat manusia.
Bersyukur Bukan Pasif
Contohnya saja ketika ada pekerja atau buruh yang melakukan aksi perlawanan akibat akan disahkannya Omnibus Law. Lantas banyak orang yang menggunakan kata ‘’syukur’’ sebagai senjata untuk membungkam para pekerja. Kata-kata itu, seperti “Ehh ga usah kritik pemerintah karena mau mengesahkan Omnibus Law, harusnya tuh kamu bersyukur masih punya pekerjaan walau gajinya rendah. Liat aja di luar sana masih banyak orang yang tidak punya pekerjaan”.
Parahnya, rasa syukur ini dibalut dalam balutan agama. Seakan-akan agama mengajarkan kita untuk selalu bersyukur lantas pasrah (pasif, bukan pasrah takwa-red) terhadap apapun kondisinya. Ini juga yang membuat kita sebagai manusia tidak punya daya nalar kritis dalam melihat problem umat manusia sekarang ini. Apakah ketika kita bersyukur dengan kondisi kita sekarang lantas kita tidak peduli lagi dengan orang-orang yang “lebih buruk” keadaanya dari kita, itu juga ajaran dari agama?
Atas dasar itulah saya punya pertanyaan, apakah memang rasa syukur ini membuat kita apatis terhadap kondisi dunia saat ini? Yang di dalamnya banyak sekali penindasan dan bentuk-bentuk ketidakadilan yang terjadi.
Kita harus mengetahui bahwa pada masa yang kita alami sekarang, di dalamnya terdapat segala bentuk permasalahan-permasalahan yang harus dihadapi, seperti problem rasisme, ketimpangan kekayaan (Bayangkan saja, hasil riset dari Oxfam dilansir dari CNBC Indonesia, memperlihatkan bahwa harta 2.153 miliarder di dunia masih jauh diatas meninggalkan harta kekayaan gabungan dari 4,6 miliar orang di dunia!), kerusakan lingkungan alam akibat ulah manusia, dan masalah-masalah lain.
Berdasarkan fakta di atas, apakah memang kita harus bersyukur saja dengan kondisi kita hari ini, tetapi apatis terhadap keadaan segala problem yang ada saat ini? Hemat saya tentu tidak.
Bersyukur Bukan Berarti Apatis
Rasa syukur tidak mengeliminasi segala bentuk rasa persaudaraan dan kepedulian antar umat manusia. Bersyukur dengan kehidupan kita lalu tidak peduli dengan orang lain, bukankah itu permasalahan yang mendasar juga?
Jika kita meyakini bahwa rasa syukur adalah bentuk pengakuan atas segala bentuk kenikmatan yang Tuhan berikan, lalu apakah dengan itu kita tidak bisa mempertanyakan mengapa ada manusia lain yang tidak mendapatkan kenikmatan seperti pengusaha kaya itu nikmati?
Untuk menjawab pertanyaan itulah, kita harus melihat kondisi materiel saat ini dan mengakui bahwa banyak sekali terjadi permasalahan yang dihadapi umat manusia. Dan hanya bersyukur atas keadaan kita, sembari tidak bersolidaritas kepada sesama manusia lain yang mengalami segala bentuk penderitaan adalah suatu bentuk imoralitas.
Bukankah setiap agama mengajarkan cinta kasih kepada sesama umat manusia? Lantas mengapa kita saat ini hanya fokus mengejar kenikmatan diri sendiri, lalu buta dan tak mau tau atas kondisi yang dialami manusia yang secara esensial sama dengan kita?
Menutup tulisan ini, saya punya pertanyaan yang bisa kita renungkan bersama. Pernahkah kita melakukan hal sederhana, seperti bertanya kepada tetangga kita yang tak mampu, Apakah mereka hari ini sudah makan? Jangan sampai karena rasa syukur pada diri sendiri membuat kita kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.
Penulis: Muhammad Ifan Fadillah
Penyunting: Aunillah Ahmad
Comments