Obrolan seputar rumah tangga adalah tema diskusi yang sangat menarik bagi semua pasangan, baik yang sekadar berhubungan, atau bagi mereka memang menjalin relasi yang penuh keseriusan. Pada beberapa kesempatan, saya sering mendengar, atau lebih tepatnya adalah mendengarkan obrolan muda-mudi yang-yangan, baik ketika ngobrol secara langsung, maupun ketika duduk di samping mereka secara tidak sengaja.

Dalam obrolan tersebut, saya sering mendengar kalau tugas suami adalah bekerja, dan tugas istri mengurus rumah. Tentu saja ini tidak masalah, lha wong itu juga kesepakatan tiap pasangan, ya kan? Namun emosi saya agak berkecamuk ketika ada anggapan kalau tugas mengurus rumah dianggap sepele dan mudah untuk dilakukan, apalagi suami merasa tidak perlu melakukannya karena sudah bekerja dari pagi sampai sore. Dikira mengurus rumah mudah apa gimana?

Urusan pekerjaan rumah tidak semudah itu

Saya memang bukan perempuan atau ibu rumah tangga, tapi saya paham bagaimana beratnya mengerjakan tugas rumahan, karena itu saya kurang terima jika pekerjaan rumah dianggap mudah dilakukan. Sedikit cerita, belum lama ini ibu saya meninggal dunia akibat diabetes yang telah lama ia rasakan. Kaki dan tangannya sudah lama tidak bisa merasakan sentuhan. Keluhan yang berkali-kali ia ucapkan ketika meminta saya memijitinya secara perlahan.

Terlepas dari kesedihan yang saya rasakan, ada hal-hal yang baru saya pelajari ketika ibu tiada. Salah satunya adalah mengurus rumah. Sebagai gambaran, saya adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Dua kakak saya sudah berumah tangga dan tinggal di kota sebelah. Kakak saya satunya bekerja di kota sebelahnya lagi. Alhasil, seringkali di rumah hanya ditinggali oleh aku dan bapak.

Kondisi tersebut memaksa saya menjadi tokoh utama dalam mengurus rumah. Ya kali bapak yang harus mengurus semuanya. Awalnya saya benar-benar terkoyak, seringkali mbatin “ini gimana caranya?” Tapi ya gitu, setelah dijalani akhirnya terbiasa juga.

Sejak kecil saya memang tidak pernah dibebankan untuk mengurus rumah. Iya, saya termasuk kategori anak rumahan yang jarang ngapa-ngapain. Saya mulai belajar menyapu ketika di sekolah, belajar memasak dan mencuci pakaian ketika kuliah. Itu pun tidak tiap hari saya lakukan. Walhasil, ketika kondisi ini terjadi, saya langsung kelabakan. Semesta memang suka bercanda.

Dari pengalaman saya mengurus rumah, kegiatan pertama yang harus dikerjakan adalah memasak. Bagi yang belum tahu, yang capek dari memasak itu bukan kegiatan memasaknya, tapi kegiatan sebelum memasak. Yaktul, memikirkan kira-kira mau masak apa ya?

Jangan salah, berpikir dan memutuskan untuk masak apa bukan hal yang gampang. Kenapa demikian? Karena kita harus menyesuaikan masakan dengan selera semua penduduk rumah, serta bahan-bahan yang dipunya. Kalau masak sendiri mah enak, apa aja dilahap, gosong pun nggak masalah, ya kan? Apalagi kegiatan memasak adalah kegiatan harian. Tidak mungkin dong kalau masak sayur sop terus tiap hari.

Dulu, sebagaimana pemuda pada umumnya, saya sering menghabiskan waktu malam hari untuk overthinking seputar karir, pendidikan, asmara, dan sebagainya. Sekarang, tema overthinking saya berubah menjadi pertanyaan “besok masak apa, ya?” Setelah memasak, tentu saja harus cuci piring serta peralatan masak lainnya. Bersihin kompor dari bekas cipratan minyak, sampai bahan makanan yang jatuh dalam proses memasak yang serampangan.

Bersih-bersih setelah masak memang tidak terlalu membutuhkan skill ekstra. Ini hanya memerlukan niat dan sedikit ketelatenan untuk memastikan semua piring aman dari sisa-sisa makanan. Meski demikian, hal ini tetap saja melelahkan.

Memasak mungkin masih bisa dimaklumi, tapi lain halnya soal membersihkan

Apakah kegiatan rumah sudah selesai? Tunggu dulu, lantai di pekarangan masih perlu disapu. Dan jika rumah Anda berada tepat di seberang jalan raya (seperti rumah saya), Anda harus rajin-rajin menyapu setidaknya 3-4 kali dalam sehari jika tidak ingin melihat debu jalanan bermesraan dengan lantai rumah Anda yang istimewa.

Menyapu debu yang tidak terlalu kelihatan membutuhkan kesabaran ekstra, karena harus dilakukan pembersihan secara berulang-ulang agar benar-benar bersih. Begitu juga ngepel lantai. Semua pekerjaan rumah tangga harus disertai dengan kesabaran dan ketelatenan.

Setelah itu apa? Tentu saja mencuci pakaian. Di zaman modern, mencuci pakaian lebih memang dimudahkan dengan adanya mesin cuci yang hampir dimiliki tiap rumah. Meski demikian, tetap saja harus menjemur pakaian, mengangkat jemuran ketika kering, serta melipati beberapa potongan baju dengan riang dan gembira.

Jika dilakukan satu atau dua hari, mungkin masih biasa saja. Namun ketika sudah menjadi rutinitas yang harus terus dilakukan, tentu saja beban menjadi bertambah. Kita tahu bahwa melakukan rutinitas yang sama berulang-ulang membuat kita jenuh dan bosan. Sama halnya keluhan pekerja kantoran yang capek karena tiap hari harus melakuan hal yang sama.

Oiya, kegiatan yang saya sebutkan tadi adalah kegiatan rumah tangga secara umum. Jika memiliki anak, tentu saja beban dan aktivitasnya bertambah.

Pekerjaan domestik atau pekerjaan rumah sejatinya adalah hal yang dikerjakan semua anggota keluarga tanpa membedakan jenis kelaminnya. Kenapa? Karena pekerjaan tersebut cukup berat untuk dilakukan, apalagi jika dilakukan sendirian.

Meski demikian, saya belum pernah mendengar ibuk saya mengeluh akan hal ini. Dulu ketika masih ada, ibuk saya tidak pernah mengeluh, beliau hanya sering bertanya besok masak apa? Iya, pertanyaan yang dulu sangat saya remehkan. Maaf ya, buk!

Sampai saat ini, yang ada dalam benak saya ketika sudah berumah tangga tidak sekadar “aku moco koran sarungan, kowe belonjo dasteran” (Aku membaca koran pakai sarung, kamu belanja sambal pakai daster). Namun, juga mengerjakan tugas rumah secara bersama-sama, serta mengaajak anak untuk melakukan pekerjaan rumah agar mereka terbiasa dalam kemandirian secara berkelanjutan.

Editor: Nawa

Gambar: Google