Salah satu hal umum yang dialami oleh seorang santri ketika keluar dari pondok pesantren adalah kurangnya keterampilan keduniaan (life skill). Keterampilan itu tentu mengalami perkembangan dan perubahan mengikuti zaman. Hal itu wajar karena selama dipondok sebagian besar waktunya diisi dengan belajar dan kajian agama dari ilmu fiqh, tafsir sampai tasawuf.

Dilema itu juga saya alami dan teman-teman saya ketika mondok dulu. Selesai mondok bahkan saat mondok sebagian besar teman-teman saya kawin atau memilih menjadi TKI. Apa lagi saat itu teman-teman saya sebagian ngaji kitab saja, tidak sekolah. Maklum ketika itu belum membuka lembaga pendidikan formal dipondok seperti sekarang yang sudah ada SMP dan MA. Saya beruntung masih bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.

Bagi santri yang orang tuanya mampu, ia bisa memilih melanjutkan jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi agar bisa medapatkan sertifikat untuk melamar pekerjaan. Bagi santri yang orang tuanya kurang mampu, tentu pilihannya mencari pekerjaan, jadi TKI – sebagian besar malah memilih kawin.

Padahal banyak santri-santri itu berasal dari dusun-dusun pelosok, berasal dari keluarga tidak mampu dan sebagian sudah yatim – merupakan anak-anak pintar dan cepat menerima pelajaran. Disiplin dan kemampuan baca kitab-nya bagus. Namun ketika ditanya, nanti setelah mondok mau jadi apa, akan melakukan apa – sebagian besar mereka bingung.

Kebingungan itu terjadi karena mereka tidak tahu dan tidak mengikuti perkembangan dunia diluar, termasuk perkembangan dunia kerja. Satu sisi selama di pondok mereka kurang mendapatkan pelatihan, bimbingan dan pengetahuan skill yang sifatnya teknis dan berpotensi mendatangkan pendapatan. Setelah selesai nyantri, banyak yang fokus mencari pekerjaan dan penghidupan ekonomi. Dilema itu juga banyak dialami oleh ustaz-ustazd muda dipondok.

Dulu waktunya full mendalami agama, sekarang full menggali peluang ekonomi untuk menghidupi keluarganya. Tak sedikit yang harus memilih jadi TKI ke Malaysia, Saudi Arabia dan lain-lain. Itu bukan berarti bekerja sebagai TKI kurang baik, malah juga mulia. Tapi menjadi TKI sebagai gambaran sulitnya mencari pekerjaan. Termasuk juga memilih aliran / ajaran keagamaan lain yang berbeda jauh dengan model ideologi keagamaan yang ia dalami sebelumnya ketika mondok.

Refleksi dari Gus Dur

Saya jadi teringat kisah Gus Dur yang meminta kepada seorang tokoh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) agar bisa ‘naik kelas’. Istilah ‘naik kelas’ itu dipergunakan Gus Dur supaya ia bisa berkembang, punya akses pergaulan yang luas dan bisa mengikuti dinamika perkembangan dunia. Permintaan Gus Dur itu dipenuhi oleh tokoh itu sehingga Gus Dur dilibatkan dalam program-program pemberdayaan pesantren oleh LP3ES.

Jadi bisa dikatakan LP3ES lah ‘batu loncatan’ Gus Dur sehingga bisa berkiprah secara luas dimasyarakat, bangsa dan negara. Program ‘loncatan’ dari LP3ES itu salah satu penyebab suskesnya seorang Gus Dur. LP3ES telah menjadi kendaraan bagi Gus Dur untuk mengenal kehidupan riil bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dari sana Gus Dur bisa berkenalan dan berinteraksi dengan banyak tokoh-tokoh dari latar, bidang, pemikiran dan agama yang berbeda-beda. Sejak itu Gus Dur juga mulai percaya diri memperkenalkan diri dan pemikiran-pemikirannya kepada publik melalui berbagai tulisan yang ia kirim kemedia massa cetak. LP3ES telah memberikan kesempatan khusus kepada Gus Dur memperkenalkan potensinya kepada publik.

Hal ini lah yang menurut saya perlu menjadi perhatian ormas-ormas Islam seperti NU, NW dan Muhammadiyah termasuk pemerintah. Mereka itu bukan hanya kader-kader muda potensial, calon pemimpin tapi juga calon ulama. Kendala ekonomi jangan terus menerus menjadi kendala anak-anak bangsa lahirnya ahli-ahli agama yang mengerti kondisi dan budaya bangsa Indonesia.

NU selaku ormas Islam yang memiliki jaringan dan alumni pesantren paling besar – menurut saya perlu memperhatikan khusus isu ini sebelum diambil dan diurus oleh orang lain. Apa lagi NU memiliki jaringan struktur dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Ceritanya akan sangat lain kalau potensi santri dan ustaz muda itu diambil oleh kelompok lain yang berlawanan dengan dakwah NU.

NU perlu membuat strategi khusus untuk melakun intervensi problem tersebut. Selain untuk menyelamatkan pendidikan, keilmuan tapi juga kendala ekonomi yang mereka hadapi. Bukan kah itu bagian dari upaya strategi untuk memotong rantai kemiskinan dan keterbelakangan. Kalau mau jaringan kuasa, elit dan kekuatan politik yang dimiliki NU, saya rasa hal itu tidak terlalu sulit untuk dilakukan.

Life skill santri kekinian yang bahkan juga dibutuhkan ustaz-ustaz pondok seperti budiya pertanian, peternakan, perikanan, internet marketing, pemasaran dan lain-lain. Skill usaha bidang usaha itu bisa dilakukan ketika masih nyantri atau yang sudah pulang kampung.

Program Balai Latihan Kerja (BLK) itu harus lebih dibumikan dan didekatkan. Para santri dan ustazd harus ikut didaftarkan ikut program pelatihan kerja online yang diprogram pemerintah. Apakah program itu menjawab problem yang dihadapi oleh para santri dan ustaz yang saya sebut diatas kita lihat saja perjalanannya. Semoga ke depan life skill santri makin berkembang ya.