Pandemi Covid-19 telah merubah tatanan ekosistem kehidupan, baik ekonomi, pendidikan, budaya, hingga agama. Masyarakat perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan sementara ini. Aktivitas di luar rumah harus sebisa mungkin dikurangi, bahkan dihindari, sehingga hanya ada dua kemungkinan terburuk bagi kalangan menengah ke bawah. Yaitu mati kelaparan karena pekerjaan terhenti dan bantuan sembako tak tepat sasaran, atau menjemput nyawa di tengah kepastian ganasnya pandemi covid-19.

Bantuan sosial sebetulnya sudah jauh-jauh hari diinstruksikan oleh presiden Joko Widodo kepada seluruh jajarannya untuk melancarkan bantuan kepada penerimanya. Namun alih-alih tepat sasaran, bantuan sosial itu seolah anak kecil yang tersesat di tengah karnival, lepas dari orang tuanya, lengah tanpa arah, bahkan dikriminalisasi orang lain. Meski di sisi lain ada seorang warga yang rela memberikan bansos kepada orang yang lebih membutuhkan yang kemudian viral di media sosial. Bansos pada realitanya banyak yang dimonitori kepentingan politik dan juga salah sasaran karena “orang berada” mendadak ngaku miskin.

 

Suara Kemanusiaan di Tengah Polemik BPJS

Di tengah adaptasi dengan pandemi, rakyat gusar dengan resminya BPJS untuk dinaikkan mulai tanggal 1 Juli 2020. Presiden mengambil tindakan untuk menaikkannya melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomir 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken pada hari Selasa (5/5). Menurut salah seorang politisi partai, keputusan ini dilakukan untuk keberlangsungan BPJS itu sendiri. Karena jika tidak dinaikkan, akan berdampak pada bangkrutnya BPJS.

Perinciannya kenaikannya adalah: iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000 dari Rp80.000, kelas II naik menjadi Rp100.000 dari Rp51.000, dan kelas III naik menjadi Rp42.000 dari Rp25.500. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp16.500 untuk kelas III sehingga yang dibayarkan tetap Rp25.500. Kendati demikian, pada tahun 2021 subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp7.000 sehingga yang harus dibayarkan peserta kelas III adalah Rp35.000.

Sejumlah politisi lain mengkritik pedas kebijakan presiden ini, khususnya kalangan oposisi pemerintah.  Seorang politisi menilai bahwa keputusan menaikkan tarif BPJS demi kepentingan BPJS itu sendiri di tengah pandemi ini, bukanlah sebuah keputusan yang “merakyat”. Namun, di sisi lain, politisi di bawah payung presiden Jokowi, menangkalnya dengan dalih bahwa kalangan elit politik lah yang membesar-besarkan masalah.

Di tengah ketidakpastian antara baik-buruknya keputusan presiden ini, ada satu kepastian yang tidak dapat ditolak oleh siapapun, yaitu kepastian bahwa rakyat butuh kepekaaan pemerintah. Kepastian ini tidak disuarakan atas dasar politik, melainkan suara kemanusiaan. Pemerintah telah berbaik hati untuk tidak menaikkan tarif kelas III. Namun demikian, bukan berarti kelas II dan kelas I tidak layak untuk diberi keringanan. Rakyat mendaftar BPJS karena butuh. Dan di tengah butuh-butuhnya, tarif malah melonjak. Sungguh melewati batas kewajaran sebuah kebijakan. Semoga pemerintah lekas memberikan solusi yang lebih baik lagi.

 

Penulis: Firdan Fadlan Sidik