Akhir-akhir ini saya dengar kalimat “generasi sandwich” di berbagai media sosial. Terutama Twitter. Jelas lah, Twitter jadi media sosial paling utama penyebaran informasi. Jujur saja deh sekarang ini orang-orang lebih banyak mengandalkan Twitter ketimbang platform berita daring. Ya, termasuk saya juga. Soalnya kenapa? Ya, karena Twitter benar-benar cepat sekali kalau ada informasi. Sekalipun itu berita nggak penting-penting amat.

Oke, kembali lagi pada istilah generasi sandwich tadi itu. Lho, kok bisa ya disebut generasi sandwich. Padahal yang saya tahu sandwich itu roti lapis isi daging, keju, sayur, dan saus-saus yang enak. Lantas, apa sih generasi sandwich itu? Biar saja jelaskan singkatnya.

Generasi sandwich merupakan generasi yang memang kata sandwich itu diambil dari roti sandwich yang berlapis-lapis. Namun, generasi sandwich lebih dikenal karena keadaan finansialnya yang sepertinya turun temurun deh. Maksud saya bukan kaya tujuh turunan ya. Jadi, begini pernah nggak sih kita dengar kalimat anak pertama itu harus jadi tanggung jawab keluarga.

Atau begini. Pokoknya anak pertama harus sekolah tinggi, bekerja, dan biayai adik-adiknya sampai lulus sekolah juga. Nah, itu lah sobat yang dinamakan generasi sandwich. Jujur, saya pun seperti itu. Saya dituntut oleh orang tua agar nanti kalau sudah jadi wong sugih, biayai lah adik-adik sampai lulus sekolah. Setinggi-tingginya pokoknya. Hmm, saya sih mesam-mesem saja.

Generasi sandwich jadi salah satu budaya pola asuh anak yang jujur saya tidak saya sukai. Mengapa demikian? Ya, karena kalau orang tua siap dengan banyak anak harusnya orang tua juga siap dengan finansial anak-anak mereka. Ini pandangan saya lho ya. Jangan salty. Makanya, kalau saya nanti jadi orang tua hal pertama yang akan saya ubah adalah generasi sandwich ini.

Ngomong-ngomong soal budaya pola asuh anak, di Indonesia ini masih banyak lho pola asuh anak yang ternyata nggak sesuai dengan generasi Z. Wah, kok bisa ya? Ya, tentu bisa perbedaan usia dan pandangan yang jadi faktor. Generasi Z punya pandangan yang cenderung bebas dan liar. Kreatif juga sih. Kalau generasi di atasnya? Kolot katanya pemikirannya. Tentu nggak nyambung.

Baru-baru ini saya baca salah satu thread di Twitter tentang budaya pola asuh anak apa saja sih yang bakal dihilangkan atau diubah kalau generasi Z yang jadi orang tua di masa depan. Saya tertarik juga bacanya. Makanya saja jadikan bahan tulisan ini.

Generasi Sandwich Harus Diputus

Pertama, ini pendapat saya yang paling utama. Kalau saya jadi orang tua nanti, yang akan saya ubah pertama kali adalah ini. Bagi saya generasi sandwich ini benar-benar nggak banget. Ternyata beruntungnya saya nggak hanya saya yang setuju dengan ini. Hehe. Ada juga warga Twitter yang menyuarakan hal yang sama dengan saya.

Saya sebagai anak pertama merasakan sekali dampaknya kalau ada generasi sandwich. Saya jadi banyak mbatin. Ya, bisa nggak ya di masa depan saya jadi orang kaya lalu membiayai adik-adik saya sampai S1, S2, S3, dan S yang lainnya. Beban nggak tuh? Tentu lah. Makanya, saya akan menerapkan kalau memang saya sebagai orang tua masih mampu jasmani rohani untuk memenuhi segala kebutuhan anak-anak saya, ya akan saya penuhi.

Nggak ada di kamus hidup saya anak pertama harus yang paling bertanggung jawab. Maka dari itu, saya setuju kalau punya anak itu dilihat dari finansialnya juga. Jadi, anak pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya punya porsi hal yang sama dalam urusan biaya membiayai ini.

Mendengarkan Pendapat Anak Tanpa Embel-embel “Melawan Orang Tua”

Kasus semacam ini pasti sudah nggak asing lagi. Anak-anak generasi Z sering merasakan ini. Saya salah satunya juga. Hahaha. Haduh banyak sekali sih budaya pola asuh anak yang menurut saya keliru, tapi saya rasakan juga. Hadeh. Memang anak pertama.

Banyak orang tua yang masih kurang mampu mendengarkan apalagi menerima masukan dari anak mereka. Kan saya sudah bilang tadi umur dan pola pikir yang memengaruhi. Orang tua merasa paling benar sedangkan anak mereka merasa pendapatnya juga harus didengar. Namun, sayangnya masih banyak orang tua yang pakai embel-embel “melawan orang tua” kalau anaknya mengeluarkan unek-unek. Hayolo serba salah kan.

Karena hal ini, saya rasa makin banyak anak yang malas ngobrol sama orang tua mereka. Ya, karena meskipun ngobrol tetap saja si anak akan salah. Lalu, semuanya kembali lagi dengan pendapat orang tua yang mau nggak mau harus diterima. Nggak salah kalau generasi Z ingin menghapus ini di masa depan.

Lebih Waspada Terhadap Kesehatan Mental Anak

Nah, ini juara deh menurut saya. Banyak sekali warga Twitter yang rata-rata generasi Z ini memikirkan tentang mental health. Lha ya jelas dong di kondisi sekarang ini, saya rasa nggak ada tuh kondisi mental yang baik-baik saja. Tentu semua terguncang. Bosan di rumah, banyak PR, banyak tugas kuliah, banyak kerjaan di kantor, dan masih banyak lagi yang bikin kesehatan mental kita memang patut dipertanyakan.

Jujur, kadang di kondisi seperti ini masih banyak orang tua yang belum waspada terhadap kesehatan mental anak mereka. Masih banyak yang nggak tahu kalau anak mereka melalui hari-hari berat meskipun ya di rumah saja. Orang tua masih nggak bisa tanya tentang hal itu pada anak mereka. Gengsi mungkin.

Kadang saya juga mikir ketika orang tua pusing-pusingnya cari tambahan biaya untuk sekolah dan kebutuhan sehari-hari, orang tua jadi kurang ngeh dengan kesehatan mental anak mereka. Karena kesehatan mental diri sendiri juga tentu sedang nggak baik. Berakhir lah dengan pertengkaran atau cek cok antara anak dan orang tua karena sama-sama capek. Ya, tetap saja tidak bisa orang tua terus-terusan menyalahkan anak kalau lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Ya, siapa tahu memang sedang belajar online dan mengerjakan banyak tugas.

Tidak Membeda-bedakan Gender

Siapa yang malas mengerjakan pekerjaan rumah karena kamu perempuan? Siapa yang malas angkat galon karena itu kerjaan laki-laki? Hahaha. Kasus seperti ini banyak juga terjadi di keluarga Indonesia. Generasi Z ternyata aware juga ya dengan masalah ini. Keren sih. Salut saya.

Mereka nggak mau kalau pekerjaan rumah hanya dilakukan oleh perempuan atau laki-laki saja. Contohnya, cuci piring, nyapu, ngepel, dan masak. Kalau budaya patriarki memang masih kental di sini. Itu yang coba dihilangkan oleh generasi Z, kalau mereka jadi orang tua nantinya.

Pola asuh anak semacam ini sebenarnya bagus lho. Ya, karena melakukan pekerjaan rumah itu nggak semata-mata tugas anak perempuan saja. Begitu juga angkat galon. Angkat galon mah nggak harus laki-laki dong. Saya juga biasa angkat galon bareng ibu saya kalau di rumah. Chill lah.

Beberapa budaya pola asuh anak di atas saya rasa akan hilang seiring berjalannya waktu kalau generasi Z jadi orang tua nanti. Teknologi sudah semakin canggih. Pikiran generasi Z tentu lebih canggih lagi pastinya. Terlepas dari itu semua, budaya pola asuh anak antara generasi atas dan bawah memang sama-sama punya kebaikannya sendiri. Pada akhirnya semuanya memang demi anak.