Cara move on negeri ginseng patut dicoba. Biar negara tak terjebak pada masalah yang sama.

Korea – Republik Korea Selatan lebih khususnya – hari ini menjadi sesuatu yang sangat dekat dengan keseharian kita. Lewat budaya K-Pop dan segala turunannya, mengantarkan budaya kontemporer Korea tersebut menjadi bagian yang mustahil untuk dilepaskan dari keseharian kita, terlebih generasi millenial.


Menjamurnya budaya ala Korea tersebut mempengaruhi produk aktivitas kita. Musik yang didengarkan, pakaian yang dikenakan, makanan yang dikonsumsi, bahkan gaya pemikiran pun sempat-sempatnya kita adopsi.

Cara Move On Suatu Bangsa dari Masa Lalu Kelam

Namun jangan salah, Korea tidak semata apa yang ditampilkan artis-artis K-Pop hari ini. Selayaknya kita, Korea juga mempunyai sejarah panjang mengenai perjalanan republiknya, bahkan mirip-mirip dengan yang pernah dialami Indonesia. Namun mereka punya cara move on yang tepat.

Korea dan Indonesia, keduanya mengalami sejarah panjang hidup dalam keterkungkungan rezim militer yang otoriter. Sejarah gelap yang mencatat banyaknya korban dari bengisnya tangan dingin kekuasaan. Pelanggaran HAM, pembunuhan dan penculikan aktivis, demonstrasi mahasiswa, dan yang terpenting menjadi catatan yakni militerisme dan segala perangkat turunannya.

Istilah militerisme adalah mengacu pada paham atau kondisi di mana kekuatan militer menguasai panggung politik dan kehidupan masyarakat sipil. Imbasnya, dari banyak catatan sejarah – termasuk Korea dan Indonesia – berbagai medium dan peristiwa melahirkan pelanggarah-pelanggaran HAM dan membunuh demokrasi sendiri.


Lantas persamaan latar sejarah di dekade 1980-an antara kedua negara tersebut apakah memberikan pandangan yang sama dalam konteks hari ini? Oh jelas bukan.


Korea berhasil meracik cara move on dari masa lalunya. Sedangkan kita masih terkungkung dalam cerita lama. Korea mampu memberikan pelajaran bagi generasi mudanya tentang bahayanya militerisme, sedangkan kita masih saja membanggakan heroisme-heroisme warisan rezim Orba. Kok bisa-bisanya?

Cara Move On dengan Produk Budaya yang Menarik


Berangkat dari pengetahuan sejarah, Korea seringkali mengalih-wahanakan catatan-catatan sejarah tersebut ke dalam bentuk medium yang lebih menarik untuk dicerna, semisal film. Melalui film, banyak tema-tema penting tentang sejarah yang jadi menarik untuk dipahami generasi saat ini.

Peristiwa-peristiwa bersejarah yang selama ini dilihat melalui barisan teks-teks semata berubah dalam bentuk film yang jelas visualnya lebih nyata bukan?
Film yang merupakan medium dengan jumlah konsumen yang banyak dipercaya menjadi arena penyampaian gagasan yang strategis. Sehingga ketika sebuah film diterima dengan sangat terbuka, gagasannya mampu menjadi pandangan baru bagi generasi muda.

Termasuk melalui film 1987: When The Day Comes dan A Taxi Driver, gambaran kelam tragedi Gwuangju di tahun 1980-an akibat kengkangan rezim otoriter dan militerisme dapat disampaikan secara apik. Peringatan sekaligus pelajaran yang asyik.


Baik 1987: When The Day Comes ataupun A Taxi Driver keduanya merupakan film thiller politik yang secara isi gagasan mempunyai kemiripan. Baik tema yang diangkat, ataupun latar yang dipakai dalam film. Keduanya menceritakan tentang perjuangan menegakkan demokrasi ditengah represifitas militer. Perlawanan-perlawanan melawan dominasi militer menjadi gagasan utama dalam tubuh film.

Keberhasilan keduanya menyampaikan latar sejarah yang sama, memberikan pengaruh yang besar pada setiap penontonnya dalam menyikapi paham militerisme yang pernah bercokol kuat di negerinya.

Refleksi Bagi Indonesia

Gambaran mengenai kekerasan bahkan pembunuhan yang diakibatkan oleh militerisme memberikan wawasan untuk generasi Korea sekarang dalam memandang catatan sejarah yang pernah ada. Efeknya, kedua film tersebut mempengaruhi pandangan dan tindakan generasi-generasi hari ini.

Melaluinya, Korea berhasil melepaskan diri dari sejarah-sejarah kelamnya. Mereka punya cara move on dan berani untuk berubah.

Sedangkan Indonesia? Kita masih sibuk memperdebatkan segala remeh-temeh kehidupan sehingga lupa memberikan warna baru bagi sejarah panjang kelamnya rezim militer. Melalui film, Korea mempu melepas belenggu. Sedangkan kita masih bergelut dengan debat-debat yang menyita waktu.