Chelsea dikalahkan lawan, Abramovich meradang.

Setelah menjadi fans Chelsea lebih dari 15 tahun, sejak pertama kali Roman Abramovich membeli klub London Biru ini, kini saya sadar bahwa gonta-ganti pelatih memang jalan ninja terbaik untuk tim kebanggaan saya. Lha mau bagaimana lagi, kalau karakter dan mentalitas pemain Chelsea gitu-gitu aja yang bakal selamanya ganti pelatih tiap belum genap dua tahun.

Kekalahan dari Manchester City dan Juventus yang lalu jadi bukti betapa pemain Chelsea nggak bisa diajak sabar dalam mengikuti arahan pelatih. Tuchel nggak salah, Abramovich apalagi. Tuchel, Lampard, Sarri, Conte, Mourinho, bahkan Roberto Di Matteo sudah menjalankan tugas dengan optimal sebagai pelatih. Akan selalu ada satu dua pemain yang tersingkir, itulah seleksi alam di atas lapangan yang cuman muat sebelas orang.

Mungkin sekarang Tuchel belum dipecat, tapi kalau di liburan Natal nanti Chelsea punya jarak lebih dari sepuluh poin dibandingkan pemuncak klasemen Premier League, saya bisa bilang, ganti saja lah. Mungkin pemain Chelsea mulai bosan. Membayangkan Tuchel jadi pelatih baru yang lama di klub mendadak kaya seperti Pep Guardiola dan Jurgen Klopp, kayaknya bukan Chelsea banget deh.

Sebagai fans Chelsea, saya sudah paham kok bahwa haluan bisnis Chelsea adalah meminjamkan pemain muda yang nggak dibutuhkan pelatih, atau bahkan menjualnya mentah-mentah sebelum harganya turun. Lihat contoh Kevin De Bruyne, Tammy Abraham, Mohamed Salah, bahkan Romelu Lukaku sendiri, satu-satunya yang berani-berani kembali ke Chelsea.

Akan tetapi, melihat performa Lukaku pada saat laga melawan City dan Juve, bikin saya makin pesimis kalau doi bakal sanggup melanjutkan kesuksesannya di Inter musim lalu. Lha wong sudah tiga pertandingan nggak mampu bikin gol lho. Kok ya nggak maksa beli Erling Haaland aja to yo, padahal kalau main di Football Manager saja pemain yang pertama kali saya beli selalu Haaland.

Barangkali pemain Chelsea butuh penyegaran, katanya Tuchel salah satu pelatih yang susah diajak ngomong. Banyak maunya, banyak mintanya, banyak maksanya, bahkan mantan pemain asuhan Tuchel di Bundesliga ada lho yang komentar kalau Tuchel tukang bully.

Mungkin bener, mungkin salah, kita semua nggak akan pernah benar-benar tau wong Instagram saja Tuchel nggak punya. Bahkan Mourinho lho mulai bikin branding di Instagram sejak ditunjuk jadi pelatih Tottenham, sampai sekarang berhasil membuat AS Roma jadi pimpinan klasemen Serie A, eksis banget di media sosial.

Bisa jadi pula pemain Chelsea butuh kebebasan lebih, tanpa taktik dan strategi yang muluk-muluk, tanpa pola pressing dan ball possesion tingkat dewa. Sejak awal taktik Tuchel memang selalu kewalahan menghadapi tim dengan pertahanan yang ‘wait and see’.

Sebaliknya, bahkan pada saat Chelsea dikalahkan City, taktik Tuchel yang khas itu, kalah oleh Rodri yang bermain brilian di lini tengah. Ditambah high pressing yang diterapkan Pep dengan menekan passing di kawasan 20 meter pertahanan Chelsea. Hasilnya, blunder lagi, kebobolan lagi.

Lama kelamaan, kesalahan individu pemain Chelsea jadi sumber malapetaka Tuchel. Contoh laga Liga Champions versus Juventus, baru saja peluit babak kedua ditiupkan, posisi duduk saya bahkan belum pewe lho. Lha kok udah kebobolan dalam hitungan detik, kan absurd banget dong. Tuchel waktu diwawancara cuman jawab ‘its impossible’. Impossible ndasmu, wong jelas-jelas kebobolan kok.

Di dua laga terakhir, melawan City dan Juve, Tuchel mulai terlihat defensif, menyalahkan pemain dan nggak bisa menjelaskan bagaimana taktiknya nggak guna selama dua kali sembilan puluh menit. Jawabannya harusnya sederhana, ya sudah waktunya ganti pelatih saja. Ternyata, Tuchel nggak hebat-hebat amat.

Editor : Hiz

Foto : Istimewa