Kalau kamu adalah fans Manchester United (MU) dan masih bisa tersenyum setelah final Liga Eropa kemarin, saya ucapkan selamat. Selamat bahwa kamu sudah lulus tahap lanjutan dari kurikulum spiritualitas modern: ikhlas tanpa syarat, sabar tanpa jeda.

Kita jujur-jujuran saja, jadi fans MU bukan lagi soal sepak bola, ini sudah lebih tinggi levelnya. Ia adalah jalan panjang pencarian makna. Sebuah ibadah sunah yang dikerjakan tiap pekan, dengan pahala berupa… ya, minimal bukan degradasi.

Namun, tenang saja. Tidak ada penderitaan tanpa tuntunan. Kalau sepak bola sudah tidak bisa diandalkan untuk memberi kebahagiaan, mungkin sudah saatnya kita mencari cara lain: meniti jalan spiritual melalui MU.

Terima Kenyataan, Jangan Terlalu Banyak Bertanya

Sejak 2017, MU memang pernah menyentuh langit. Mourinho memberi trofi Liga Eropa dan sempat ada harapan bahwa “we are back!” Tapi itu seperti mimpi siang bolong, alias sebentar doang!

Lalu, 2021, kita disuguhkan adu penalti paling panjang dalam sejarah. Semua pemain, termasuk kiper, ambil giliran. Tapi tetap saja kalah. Kalau itu bukan pertanda Tuhan sedang menguji keimanan, entah apa lagi coba, ya kan?

Terus gimana 2024–2025? Final Liga Eropa. Tottenham yang jadi lawan. Jika mengikuti perhitungan di atas kertas, semestinya memang bisa, tapi kenyataannya? Kita semua tahu. Lagi-lagi, pulang tanpa piala! Mungkin karena “Setan Merah” sekarang lebih senang memberi harapan daripada kemenangan, hahaha.

Yakini Bahwa Trofi Hanyalah Urusan Duniawi

Sebagian fans klub lain mungkin masih sibuk memuja piala, medali, dan selebrasi, pokoknya hal-hal duniawi lain yang bersifat sementara. Namun, bagi fans MU, tentu tidak. Kami sudah memasuki fase spiritual, bahwa kami sadar bahwa “yang penting adalah proses, bukan hasil (walaupun hasil juga lumayan sih, kalau boleh jujur).

Toh hidup ini cuma persinggahan dan kalau harus lewat jalan penuh luka seperti jalur MU, ya kami terima saja. Siapa tahu ini semua menyiapkan kami jadi manusia yang kuat dan, tabah.

Sekarang kami tidak berharap banyak. Clean sheet itu prestasi. Gol dari open play? Itu keajaiban. Kalau menang beruntun dua kali? Itu sudah layak dirayakan setara malam takbiran.

Karena realita jadi fans MU sekarang bukan lagi soal menanti trofi. Tapi menanti hal-hal kecil yang bikin hidup ini terasa tidak terlalu pahit. Misalnya: kabar pemain cedera ternyata salah. Atau rumor De Gea balik ke Old Trafford meski cuma buat jadi mentor.

Tetap Merah, Meski Luka

Yang paling penting dalam menjadi fans Manchester United ialah jangan berpaling. Jangan pindah ke City karena mereka menang terus. Jangan mendadak jadi Madridista karena Vinicius lucu. Tetaplah merah, meski kalah. Karena cinta sejati itu justru terasa ketika kamu tetap tinggal meski tahu dia selalu gagal. MU tidak butuh fans musiman. MU butuh penganut setia—mereka yang mencintai bukan karena trofi, tapi karena trauma kolektif yang telah ditempa bersama.

Olok-olok dari fans rival? Ah, itu bukan hinaan. Itu latihan. Kami tidak baper. Kami bahkan bantu viralkan meme yang menyindir klub favorit kami. Kami tahu ini semua bagian dari perjalanan spiritual: menertawakan kesedihan, sampai akhirnya jadi kuat karena sudah tidak punya ekspektasi.

Mungkin memang takdir MU adalah seperti ini. Menang sesekali, kalah seringkali, tapi selalu jadi pusat perhatian. Selalu ditertawakan, tapi tetap jadi bahan obrolan, dan entah kenapa, itu semua bikin kami makin sayang.

Pada akhirnya, menjadi fans MU bukan sekadar soal mendukung klub sepak bola. Ini adalah proses pendewasaan. Sebuah spiritual journey yang penuh luka, tawa, dan tentu saja: sabar.

Editor: Yud

Gambar Unsplash