Tak sedikit musisi yang menjadikan kota sebagai latar lagunya. Seperti romantisasi KLA Project di tembang “Yogyakarta” dan Andhitia Sofyan dengan “Sesuatu di Jogja”, yang berhasil mengorek sisi manis Yogyakarta. Atau Didi Kempot, yang mendramatisasi berbagai tempat menjadi sarat akan nelangsa, cidro, dan ngrantes. Tapi lain dengan album “Kota, Dosa, & Kenangan” milik Silampukau, yang mengorek Surabaya dari beberapa sisi.

Di album Silampukau “Kota, Dosa,& Kenangan” duo folk ini, me-manifestasikan Surabaya dengan menampilkan beberapa sisi. Terkadang Silampukau menampilkan Surabaya dengan problem khas metropolitannya. Di sisi lain, Silampukau juga menampilkan sisi Surabaya yang kadang bisa manis dan romantis. Perpaduan latar belakang sastra dan besar di Surabaya, menjadikan lirik-lirik Silampukau tak hanya puitis, tapi juga lugas dan blak-blakan khas arek Suroboyo.

Di lagu “Malam Jatuh di Surabaya”, Silampukau merekam bising sore hari di Jalan Ahmad Yani. Riuh jalanan sore kota metropolitan, yang dipenuhi raga-raga lelah para pekerja. Di lagu ini, Silampukau hanya berusaha merekam, tanpa tendensi apapun. “Magrib mengambang lirih dan terabaikan. Tuhan kalah di riuh jalan” begitulah dengan apa adanya Silampukau merekam kejadian yang umum di jalanan.

“Malam Jatuh di Surabaya” kadang membuat saya merasakan udara panas Ahmad Yani yang dipenuhi “Orkes jahanam, mesin dan umpatan.” Di sisi lain bubuhan puitis Silampukau membuat sore hari yang bising menjadi sedikit romantis. Ya, bagi saya begitu.

Sebagai kota metropolitan terbesar ke dua di Indonesia, Surabaya memang menjanjikan harapan bagi pendatang. Dengan dua kemungkinan, gagal atau berhasil. Seperti di lagu “Rantau (Sambat Omah)” Silampukau menceritakan kerinduan akan rumah sebagai perantau, dengan testimoni perjuangan selama di Surabaya. Dari “Berharap jadi kaya” menjadi “Gagal jadi kaya.” Ya, begitulah Surabaya.

Kemajuan pembangunan Surabaya memang menjanjikan banyak harapan akan kehidupan. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur juga merenggut banyak keceriaan. Seperti keceriaan bocah yang bermain sepak bola yang makin terkikis seiring pembangunan kota. Dengan terang-terangan dan sarat kritik sosial, “Bola Raya” memberitakan itu semua, di mana tanah lapang lambat laun berubah menjadi gedung. 

Tapi di sisi lain Surabaya tetap menyimpan sedikit keceriaan di tengah himpitan kota. Seperti keceriaan di Taman Remaja Surabaya yang terangkum dalam lagu “Bianglala”.  Pun sedikit nakal, Silampukau merekam detail situasi, seperti para muda-mudi di antrean remang-remang. “Awas ya, itu tangan” sentil nakal Silampukau.

Yang menarik adalah bagaimana Silampukau juga turut menampilkan Dolly di “Si Pelanggan”. Sebagaimana yang hadir di benak kita ketika terlontar Surabaya, maka Dolly akan menyelinap di dalamnya. Dolly dengan permasalahan sosialnya, kadang dari sisi pria dan pelanggan, juga menjadi sedikit pelipur lara.“Si Pelanggan” lebih nampak seperti merangkum keresahan Silampukau soal penutupan salah satu prostitusi terbesar ini.

Pun di sisi lain, Silampukau juga menyoroti bagaimana penutupan Dolly tak serta-merta meringkus permasalahan sosial di dalamnya. “Yakinlah, pelacur dan mucikari ‘kan hidup abadi” begitu tandas keduanya. Bahwa Dolly tak hilang, Dolly hanya tak menetap di satu gang sempit di Surabaya.

Silampukau juga tak naif dalam menampilkan Surabaya, pun juga berhasil mengorek sisi romantis Surabaya di “Puan Kelana”. Singkatnya, “Puan Kelana” bercerita tentang kisah LDR antara dua kota, Surabaya dan Paris. “Puan Kelana” lebih nampak seperti anti-tesis dari lagu dengan kisah yang serupa, seperti lagu “Pergilah Kasih” dari Chrisye. Jika Chrisye tentang kerelaan, maka Silampukau adalah tentang ketidakrelaan.

Mengambarkan kekosongan sesosok pria yang ditinggal kekasihnya ke Paris. Lantas, dengan sedikit hiperbola, membandingkan kedua kota beda negara tersebut. Surabaya yang sama romantisnya dengan Paris. Pun Paris juga sama penuh marabahaya-nya dengan Surabaya. Saya pikir, “Puan Kelana” dengan kisah ngrantes-nya serta dengan sedikit lirik dan aksen Prancis-nya, menjadi lagu yang paling menarik perhatian saya. Mungkin juga kamu.

Keresahan, permasalahan, keceriaan hingga ke-ngantes-an di Surabaya, semua terangkum apik dalam satu album. Mendengarkan “Kota, Dosa & Kenangan” sering kali membuat saya seolah merasakan Surabaya, tanpa harus beranjak dari tempat saya tinggal. Ya, seperti yang saya rasakan setelah mendengar kata ‘Persebaya’, mendengarkan ‘gitar lawaran’ Silampukau juga sejenak membawa saya terbayang tentang Surabaya.

Walau sejatinya album Silampukau “Kota, Dosa & Kenangan” sudah dirilis 2015 silam. Tapi saya pikir tidak ada salahnya kamu mendengarkan album “Kota, Dosa & Kenangan” setelah enam tahun berlalu, toh Surabaya tetap begitu. Pun barangkali kamu juga melewatkan salah satu manifestasi kota terbaik milik Silampukau ini. Jika iya, selamat menikmati.

Editor : Hiz

Foto : Silampukau