Sebuah desa di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Desa yang berada pada posisi strategis, di mana dari arah Solo ke Jogja dan Semarang atau sebaliknya, pasti melewati daerah ini. Pun di sana berdiri salah satu kampus swasta terbaik di Indonesia. Serta berdiri bangunan mall, untuk mengambarkan betapa strategisnya tempat ini. Tempat itu bernama Desa Pabelan.
Asmara Raden Pabelan
Akan tetapi, yang lebih menarik dari desa yang strategis berdiri di jalan lintas kota itu, ialah asal-muasal namanya yang diambil dari bangsawan bernama Raden Pabelan. Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan ia merupakan sosok yang sangat tampan, namun sifatnya dikenal sangat urakan, suka menganggu istri orang, merongrong persaudaraan, dan selalu menolak untuk beristri. Ya, Raden Pabelan adalah representasi bad boy tampan pada masanya.
Kebengalan itu membuat Ki Ageng Tumenggung sang ayah murka. Ia lalu punya siasat menjebak anaknya untuk menggoda Sekar Kedaton, sang putri Pajang, anak dari Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Raden Pabelan yang awalnya gentar untuk menerima tantangan yang sebenarnya sebuah siasat itu, akhirnya memberanikan diri, pun dengan beragam tutorial yang diajarkan sang ayah.
Singkatnya, Raden Pabelan memberikan sebuah bunga pada contong, yang di dalamnya terdapat surat cinta. Kasmaran sang putri oleh bunga dan surat cinta sang Raden. Terlanjur kecantol, sang putri memerintahkan abdinya mengundang Raden Pabelan ke taman keputren pada malamnya.
Raden Pabelan malah kebingunan dengan langkah selanjutnya. Ki Tumenggung lalu mengarahkan lagi langkah selanjutnya, terutama bagaimana cara merendahkan pagar bata keputren agar dapat dimasukinya, lengkap dengan mantranya. Raden Pabelan masuk keputren, dan di sinilah petaka itu.
Selain dating di keputren, Raden Pabelan dibawa ke dalam kamar sang putri. Keesokan harinya, ia berniat pulang, namun mantra sang ayah tak mempan. Ia terjebak 7 hari 7 malam. Hingga para abdi mengetahuinya dan melaporkannya kepada Kanjeng Sultan.
Kanjeng Sultan murka, lalu memanggil tantama Wira Kerti dan Sura Tanu bersama 20 orang jajarannya untuk mengeluarkan Raden Pabelan. Dengan mengiming-imingi kehidupan layaknya polisi Spanyol yang menginterogasi Rio di serial Money Heist, Raden Pabelan menuruti janji manis Wira Kerti bahwa ia bersedia membujuk Sultan untuk menikahkan Raden dengan Sekar Kedaton.
Raden Pabelan yang menurut melepas pelukannya dengan sang putri, lalu mengikuti Wira Kerti ke pelataran.
Dua Kota
Tragis, para tantama menikam ramai-ramai Raden Pabelan hingga tewas. Selesai sudah siasat sang ayah, hidup raden, kisah cinta sang putri dan awal berakhirnya Pajang.
Ki Tumenggung sebagai ayah Raden Pabelan justru kena murka Kanjeng Sultan dan diasingkan ke Semarang, sedang istrinya ditinggal di Pajang. Kabar ini sampai ke telinga Panembahan Senopati, penguasa Mataram yang belum menjadi kerajaan, anak angkat Kanjeng Sultan serta ipar Ki Tumenggung. Yang di posisi ini membela saudara iparnya, Ki Tumenggung.
Panembahan Senopati melawan, pasukan Mataram merebut Ki Tumenggung dalam perjalanan pengasingan serta menumpas menteri dari Pajang yang mengiringi pengasingan Ki Tumenggung. Sultan Hadiwijaya yang mendengar kabar tersebut langsung menyimpulkan bahwa Panembahan Senopati kelewat berani dengan Pajang.
Pajang balik menyerang Senopati di Mataram. Dalam perang ini, Merapi meletus hingga laharnya melewati kali Opak, menghantam tenda-tenda prajurit Pajang, serta memakan banyak korban. Kanjeng Sultan menarik mundur pasukannya. Dalam perjalanan, sang Sultan jatuh dari gajah yang ditungganginya, hingga kesehatannya menurun dan wafat setelahnya.
Sebelum wafat, dalam perjalanan perang, beliau melihat banyak firasat bahwa kekuasaannya tak akan turun ke menantu dan anaknya, seperti ketika beliau tak dapat membuka makam Sunan Tembayat. Kejadian yang meyakinkan bahwa kekuasaan dan Pajang-nya telah usai. Dan malah yakin Panembahan Senopati dengan Mataram-nya yang akan berkuasa secara penuh.
Firasat tersebut diwasiatkan ke putra mahkotannya, Pangeran Benowo, agar tak menaruh dendam ke Panembahan Senopati, calon penguasa Jawa. Firasat itu menggenapi ramalan Sunan Giri bahwa kelak akan ada penguasa dari tanah Mataram. Setelah wafat, anak dan menantunya melanjutkan tahta sang ayah dalam waktu singkat, pun dalam firasat Sultan Hadiwijaya, anak dan menantunya tak benar-benar berkuasa sepenuhnya.
Dan benar saja firasatnya, tak lama kekuasaanya jatuh ke tangan Panembahan Senopati dan keturunannya hingga kini. Keturunan dan peradaban-nya turut pula melahirkan dua kota, Surakarta dan Yogyakarta. Siapa yang akan menyangka, bahwa awal peradaban Mataram itu ditandai dari sebuah peristiwa skandal.
Editor: Nirwansyah
Comments