Di zaman sekarang, smartphone seolah menjadi nyawa kedua bagi kita. Beberapa menit saja tidak menggunakannya bisa membuat diri cemas. Hal ini bukan sekadar sentimen pribadi saya. Data dari State of Mobile 2024 yang dirilis oleh Data.ai menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia rata-rata menggunakan smartphone hingga 6 jam sehari. Bahkan, saya berhipotesis angkanya lebih dari itu.

Eksperimen Lepas dari Smartphone

Dampak penggunaan smartphone memang bisa diperdebatkan siang-malam mengenai baik atau buruknya. Namun, kali ini saya hanya ingin membagikan pengalaman bereksperimen lepas dari smartphone selama hampir 2 minggu. Silakan Anda nilai sendiri bagaimana baik atau buruknya.

Eksperimen ini saya lakukan ketika masih berusia 15 tahun. Bayangkan, saya sudah menyadari keresahan tentang ketergantungan pada smartphone dan betapa sulitnya untuk lepas darinya. Maka dari itu, saya membuat rencana untuk pergi berlibur ke daerah pelosok.

Ketika masa liburan sekolah tiba, saya dan keluarga pergi berlibur ke rumah teman dekat ibu saya semasa di pesantren. Hubungan mereka sangat dekat seperti keluarga meskipun tidak memiliki pertalian darah. Oleh karena itu, kami sekeluarga tidak merasa sungkan ketika memutuskan menginap hampir selama 2 minggu di sana. Daerahnya berada di Ciamis, Jawa Barat, yang pada masa itu masih kesulitan mendapatkan sinyal.

Kecemasan dan Adaptasi

Di tiga hari pertama, saya merasakan seperti orang sakau. Saya cemas tidak bisa menggunakan smartphone, bahkan sempat uring-uringan sebagai cara mengatasi kecemasan saya. Saya mulai berpikir tidak bisa seperti ini terus dan harus mengalihkan kecemasan ini ke kegiatan lain.

Meski begitu, saya menjadi sangat sibuk di sana. Mulai pagi hari, saya berkeliling hutan mencari burung kicau hingga siang hari, pulang hanya untuk makan dan salat di masjid. Kemudian sore harinya, saya pergi ke sungai untuk bermain air hingga senja menyambut datangnya malam.

Menemukan Kebahagiaan Sederhana

Setelah hampir satu minggu, saya tidak lagi merasa cemas tanpa smartphone di samping saya. Saya merasa seperti terlahir kembali. Saya bisa merasakan bahagia dari hal yang sederhana. Hanya sekadar melamun di teras sambil menikmati teh atau kopi saja bisa membuat hati saya senang.

Saya merasakan kesadaran yang seutuhnya, emosi saya perlahan-lahan bisa dikendalikan. Fokus saya terhadap sesuatu bisa lebih panjang secara durasi. Saya menjadi lebih kreatif dan bersosial. Implikasinya, saya lebih banyak bermain permainan tradisional mulai dari petak umpet, kejar-kejaran, dan lain sebagainya. Hal yang sudah lama sekali tidak saya lakukan.

Setelah hampir 2 minggu menghabiskan waktu di sana, ketika pulang saya benar-benar merasa seperti terlahir kembali. Meskipun setelah pulang ke rumah dalam beberapa minggu saya kembali ketergantungan dengan smartphone, saya merasa lebih sadar tentang pentingnya membatasi diri dalam menggunakan smartphone. Saya menyarankan teman-teman untuk mencoba eksperimen ini terhadap diri masing-masing, setidaknya sekali seumur hidup. Rasakan sensasi yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata ketika mencobanya.

Editor: Tama