Persaingan industri bisnis kini semakin sengit. Para pelaku bisnis menggunakan berbagai cara untuk meningkatkan profit yang merupakan seni dalam berbisnis. Dengan berbagai cara yang dilakukan oleh pelaku bisnis tersebut, sering kali tidak memperhatikan dampak dari proses industri produk perusahaan mereka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa proses industri dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Atas keresahan dari dampak industri tersebut, mulai banyak pelaku bisnis yang mengubah proses bisnisnya menjadi lebih ramah lingkungan.

Apa itu ecopreneur?

Ecopreneur menjadi jawaban atas upaya mengembangkan perilaku etis para entrepreneur untuk memperhatikan lingkungan dalam menjalankan usaha. Ecopreneurship sendiri merupakan bagian dari entrepreneurship yang mengacu pada aktivitas usaha dengan kegiatan yang memberikan manfaat dan perhatian lebih atau khusus terhadap kelestarian lingkungan. Seorang ecopreneur mempertimbangkan lingkungan menjadi faktor penting dalam menjalankan usahanya.

Ecopreneur terdiri dari dua kata yang berbeda. Eco berasal dari kata ekologi yang memiliki makna ilmu yang mempelajari terkait timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Sedangkan preneur berasal dari kata entrepreneurship yaitu kewirausahaan yang memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan.

Dengan kata lain, ecopreneur merupakan wirausaha yang peduli terhadap kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, dalam menjalankan usahanya, mereka selalu memperhatikan daya dukung lingkungan serta meminimalisasi dampak terhadap lingkungan atas kegiatan usaha mereka.

Ecopreneurship berkaitan erat dengan tiga faktor, yaitu sosial-masyarakat, ekonomi, serta lingkungan. Seorang ecopreneur juga merupakan seseorang yang memiliki wawasan untuk menciptakan inovasi terkait dengan nilai-nilai lingkungan untuk mendapatkan keunggulan bersaing dalam usaha yang dijalankan. Dengan begitu, ecopreneur sebagai wirausaha yang memasuki pasar ramah lingkungan serta tidak hanya sekedar mencari keuntungan tetapi juga memiliki nilai-nilai penghijauan yang kuat.

Konsep dari ecopreneur sendiri adalah melakukan produksi dan mengolah material produk dengan cara yang ramah lingkungan. Tujuan dari diadakannya ecopreneur tidak hanya tentang hidup hijau dan mengurangi pemanasan global, akan tetapi juga dengan diperuntukkan menghemat energi yaitu dengan melakukan empat prinsip ecopreneur dalam menjalankan produksi usahanya, sebagai berikut:

Reduce (mengurangi)

Melakukan penghematan sumber daya seperti listrik, air, bahan bakar, dan lainnya. Serta mengurangi penggunaan bahan bahan yang berbahaya bagi lingkungan dan makhluk hidup ataupun bahan bahan yang beracun. Sebisa mungkin meminimalisasi penggunaan bahan bahan material yang dipergunakan.

Reuse (memakai kembali)

Menggunakan kembali barang-barang dari sumber daya yang telah digunakan dan masih dapat digunakan kembali menjadi barang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Misalnya menggunakan kain perca untuk membuat daster. Barang-barang yang masih dapat digunakan dipilih dan dimanfaatkan lagi. Hindari barang sekali pakai, langsung buang.

Recycle (mendaur ulang)

Mendaur ulang barang-barang yang sudah tidak dapat dipakai kembali, merubah bentuknya, dan memanfaatkan kembali limbah dan sampah yang tidak dapat digunakan kembali. Misalnya, sampah-sampah plastik maupun botol digunting kecil kecil untuk dijadikan ekobrik.

Upcycle

Menjadikan barang-barang yang sudah tidak dapat digunakan lagi menjadi barang-barang yang bermanfaat lebih baik dan baru.

Pentingkah ecopreneur dalam dunia bisnis?

Dalam hidupnya, manusia tidaklah sendiri, yang artinya pasti membutuhkan kebersamaan makhluk lain untuk menunjang hidupnya, seperti hewan dan tumbuhan, serta membutuhkan lingkungan yang baik agar dapat hidup sehat. Semua aspek tersebut saling terikat dan membentuk simbiosis mutualisme.

Sebagaimana yang diketahui bahwasannya manusia dapat mengambil keuntungan dari lingkungan hidupnya dengan memanfaatkannya menjadi ladang usaha yang kemudian bisa berbuah penghasilan.

Selaras dengan hal tersebut, manusia pastinya akan melahirkan generasi penerus yang mana dikemudian hari tentunya membutuhkan energi. Apabila penggunaan energi tersebut tidak dikontrol, maka dikhawatirkan akan terjadi kehabisan energi yang dibutuhkan oleh generasi penerus di kemudian hari. Berikut beberapa cara untuk menghemat energi:

  1. Menggunakan energi seperti air, gas, listrik, dan BBM seperlunya
  2. Mematikan alat elektronik yang tidak digunakan
  3. Menggunakan alat atau komponen yang rendah daya
  4. Mengembangkan energi alternatif terbarukan untuk mengurangi penggunaan energi tak terbarukan

Menurut Kainrath dalam Eny, et  al (2019) terdapat tiga elemen yang mendorong inisiatif seorang entrepreneur memiliki jiwa wirausaha yang peduli terhadap lingkungan (ecopreneurship) yaitu :

  1. Eco-innovation, yang berkaitan dengan penyediaan solusi inovatif untuk menyelesaikan masalah lingkungan
  2. Eco-commitment, berkaitan dengan penciptaan dan implementasi kebijakan yang membantu menciptakan komitmen yang berfokus pada aktivitas hijau
  3. Eco-opportunity, berkaitan dengan peluang untuk mengidentifikasi peluang untuk inovasi penyelesaian masalah lingkungan serta mencapai berlangsungnya operasi bisnis.

Adapun hal-hal yang mungkin masih menjadi penghambat perkembangan ecopreneur di Indonesia adalah antara lain; limited public funding. Secara teknis para ecopreneur telah mendapatkan dukungan pendanaan, baik dari pemerintah maupun dari lembaga-lembaga terkait, namun untuk dukungan yang berkelanjutan masih dirasa kurang secara subjektivitas pelaku usaha.

Selain itu, limited knowledge atau kurangnya pemahaman terkait isu ekologi masih belum ramai dibicarakan oleh masyarakat, sehingga ecopreneur secara kuantitas masih minim. Padahal jika ditilik dari segi manfaat dan peluang menjadi ecopreneur memiliki peluang pasar yang menjanjikan.

Salah satu bukti ecopreneur yang menjanjikan dan memiliki pasar luas adalah ekspor minyak jelantah. Banyak masyarakat yang belum mengetahui akan manfaat minyak jelantah, padahal negara lain, seperti Singapura dan Belanda telah mengembangkan minyak jelantah sebagai alternatif bahan bakar dari diesel (biodiesel).

Negara Eropa telah menganggap minyak jelantah sebagai generasi kedua dari biodiesel, sehingga kebutuhan mereka akan minyak jelantah per tahunnya juga mencapai tiga juta ton. Mereka juga berani membeli minyak jelantah dengan harga yang tinggi, bahkan hampir setara dengan CPO.

Artikel kerja sama milenialis.id dan PW IPM DIY.

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels