Masalah Krisis Lingkungan

Kira-kira, seperti apa hidup kita jika lingkungan alam tak lagi sama? Kira-kira apa yang akan terjadi jika alam tidak lagi dapat memberikan sumber daya yang kita butuhkan?

Faktanya manusia hidup berdampingan dengan alam. Selama jutaan tahun manusia hidup, alam dengan segala kekayaan sumber dayanya telah mencukupi kebutuhan manusia akan sandang, pangan, papan, dan kebutuhan lainnya. Pun begitu, interaksi antara manusia dengan alam adalah simbiosis mutualisme. Sebagaimana manusia sangat memerlukan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, alam memerlukan tangan manusia agar tetap lestari.

Namun begitu, tidak semua orang memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Ditambah dengan perubahan sejarah yang terus bergerak maju, menggeser gaya hidup manusia yang menginginkan kehidupan yang serba cepat dan mudah. Timbullah dorongan untuk terus mencipta dan berinovasi, mengakibatkan perputaran roda produksi semakin cepat. 

Meskipun begitu, tidak semua kemajuan membawa pada kemaslahatan. Dorongan manusia untuk terus mencipta, menghasilkan, dan memperoleh agaknya telah mengikis sisi humanitas. Pada keadaan yang kompetitif ini, manusia digiring untuk semakin buas dan serakah. Minimnya kesadaran ekologis ditambah dengan nafsu manusia yang tidak pernah merasa puas, membuat manusia menghalalkan segala cara. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengakibatkan kerusakan ekologis, hingga membuat pertumbuhan bumi tidak stabil.

Selama jutaan tahun manusia hidup, penduduk bumi tidak lebih dari 2,5 miliar. Namun terjadi lonjakan pertumbuhan dalam 60 tahun terakhir. Data tahun 2015 menunjukkan penduduk bumi mencapai 7,4 miliar. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat mendorong manusia untuk terus membangun peradaban. Pembangunan besar-besaran yang dilakukan dengan kesadaran ekologis yang minim akan mengakibatkan terjadinya krisis ekologi yang berkepanjangan. 

Deforestasi misalnya, deforestasi muncul akibat kebutuhan manusia akan banyaknya ruang. Dunia saat ini mengalami deforestasi seluas 13 juta hectare per tahun. Sementara Indonesia sendiri mengalami deforestasi seluas 1 sampai 2 juta hektar per tahun. Pada tahun 1980, area berhutan di Indonesia mencapai 80%. Dan pada tahun 2013, area berhutan di Indonesia tinggal 45%. Hilangnya resapan air menyebabkan air yang mengalir dari hulu tak dapat terserap dengan maksimal. Ditambah dengan tingginya curah hujan di Indonesia menyebabkan kemungkinan terjadinya bencana alam semisal banjir dan tanah longsor menjadi tinggi. Dalam 25 tahun terakhir saja, tercatat ada setidaknya 3.713 titik kota di seluruh dunia mengalami kebanjiran. Angka ini tentunya bertambah setiap tahun.

Belum selesai dengan masalah deforestasi, muncul krisis lingkungan yang disebabkan oleh limbah industri, mengakibatkan pencemaran air, tanah, dan udara di sekitarnya. Indonesia adalah salah satu negara penghasil emisi gas terbesar di dunia. Tercatat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sebesar 965,3 MtCO2e atau setara 2% emisi dunia. Mayoritas emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor energi. Pencemaran yang terjadi di udara terjadi juga di perairan. Air laut yang mengalami degradasi menyebabkan ekosistem di dalamnya menjadi tidak stabil.

Tumbuhnya Kesadaran Ekologis

Ditengah krisis lingkungan yang terjadi, umat manusia perlu untuk lebih peka menanggapi permasalahan tersebut. Seperti yang kita ketahui, manusia hidup di bumi berdampingan dengan makhluk hidup lainnya. Adanya ketergantungan ini membuat manusia tidak bisa terpisah dari alam. Karena itu kesadaran ekologis perlu ditanamkan sejak dini. Hari ini nampaknya kesadaran ekologis tersebut mulai tumbuh di tengah masyarakat. Terlihat dari banyaknya upaya pelestarian lingkungan yang massif, seperti penanaman pohon, penanggulangan banjir dengan penanaman hutan bakau di tepi pantai, dan sebagainya. 

Kita juga telah mengenal konsep zero waste lifestyle, yaitu konsep yang mengajak kita untuk menggunakan produk sekali pakai dengan lebih bijak untuk mengurangi jumlah sampah. Metode yaitu Reuse (pemakaian kembali sumber daya yang pernah digunakan), Reduce (mengurangi penggunaan sumber daya), dan Recycle (mendaur ulang penggunaan sumber daya).

Ecopreneurship Sebagai Alternatif Solusi baru Permasalahan Lingkungan

Di tengah upaya pelestarian lingkungan, muncul sebuah konsep baru dalam dunia bisnis, yaitu ecopreneurship. Ecopreneur adalah penggabungan dari 2 kata, yaitu Eco dan Preneur. Eco yang diambil dari kata ekologi, yang artinya cabang ilmu biologi yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lain dan lingkungan sekitarnya (wikipedia). Sedangkan, Preneur diambil dari kata entrepreneurship yang berarti kegiatan bisnis atau wirausaha untuk mendapatkan keuntungan. Bisa disimpulkan bahwa ecopreneur adalah sebuah entrepreneurship yang mengacu pada aktivitas usaha bisnis yang memberikan perhatian lebih terhadap isu kelestarian lingkungan.

Entrepreneurship sendiri memiliki akar problem solving. Tak jarang produk-produk dari entrepreneur menawarkan solusi terhadap suatu masalah. Dalam konteks lingkungan, ecopreneurship mengubah masalah lingkungan menjadi peluang bisnis, tujuannya adalah membantu kelestarian lingkungan dengan berpikir jangka panjang atau berkelanjutan (sustainable). Fokus dari bisnis ini diharapkan tidak hanya berfokus pada keuntungan pribadi, tetapi juga bagaimana bisnis ini dapat berdampak pada lingkungan dan juga orang-orang di sekitarnya.

Ecopreneurship sebagai alternatif berfokus pada pengolahan limbah, penggunaan material ramah lingkungan, dan pemanfaatan energi terbarukan. Tiga hal ini sangat sesuai dengan konsep zero waste lifestyle yang telah dijabarkan di atas. Karena itu konsep kewirausahaan yang berorientasi pada lingkungan macam ecopreneurship adalah langkah yang krusial bagi dunia bisnis untuk membantu menyelesaikan permasalahan lingkungan sekaligus dapat menjadi solusi alternatif yang dapat ditawarkan untuk menciptakan lingkungan yang sustainable.

Artikel kerja sama milenialis.id dan PW IPM DIY

Foto: Pexels

Editor: Saa