Sebelum membaca lebih jauh, saya ingatkan kalau saya tidak sedang membicarakan efektivitas formasi dalam strategi sepakbola, lho ya. Coba, deh, perhatikan judul lebih seksama. Hehe.

***

Selain keragaman tradisi, kebiasaan, dan pilihan menu takjil, ibadah puasa di Indonesia juga menyimpan keragaman dalam preferensi beribadah. Salah satunya, persoalan jumlah dan formasi rakaat tarawih. Yang paling sering kita dengar adalah jumlah rakaat 11 dan 23. Di mana masing-masing preferensi sangat lekat dengan stereotip dari dua ormas terbesar di Indonesia.

Saya, sebagai alumnus pesantren binaan salah satu ormas itu (sebut saja Muhammadiyah), lebih sering melakukan tarawih 11 rakaat. Selain karena jumlahnya yang lebih sedikit, pelajaran ibadah di asrama saya dulu mengajarkan tuntunan tarawih dengan jumlah rakaat demikian. Sehingga, sepertinya saya sudah merasa terbiasa dengan itu dan mungkin akan pulang lebih dulu jika salat di masjid yang tarawihnya 23 rakaat. Hehe.

Persoalan pilihan ternyata tak cukup sampai pada jumlah rakaat. Pilihan tersebut lalu bercabang menjadi persoalan formasi. Sebelas rakaat bisa dipecah menjadi 4-4-3, 2-2-2-2-3, atau 2-2-2-2-2-1. Selama kurang lebih 13 tahun menjalankan puasa, ketiga formasi sudah pernah saya ‘coba’. Silih berganti formasi membuat saya kerap menimbang mana formasi yang lebih cocok menurut saya. Dan pada akhirnya saya menjatuhkan pilihan kepada formasi 4-4-3 sebagai formasi favorit.

Jika ditanya kenapa, saya tidak bisa menjawab hanya dengan satu jawaban. Ada beberapa argumen yang membuat hati saya lebih mantap untuk beribadah tarawih dengan formasi tersebut.

Pertama, formasi 4-4-3 adalah salah satu formasi yang dianjurkan oleh Nabi SAW. Salah satu hadis Riwayat Bukhari-Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW salat tarawih dengan formasi 4-4-3. Hadis tersebut berbunyi,

“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah melakukan salat sunah pada Ramadan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana bagus dan indahnya. Kemudian, beliau salat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat lagi tiga rakaat (witir).”

Jadi, secara mendasar, formasi 4-4-3 sudah mengantongi pengakuan sebagai salah satu formasi yang menjadi tuntunan dari Rasulullah SAW. Selain formasi 4-4-3, ada formasi 2-2-2-2-2-1 yang juga dianjurkan oleh Muhammadiyah. Di antara keduanya, tidak ada yang lebih benar atau salah. Hanya persoalan preferensi saja.

Kedua, hemat energi dan lebih khusyu’. Dengan formasi 4-4-3, artinya jeda yang ada tidak terlalu banyak. Energi yang dibutuhkan untuk kembali bangkit melanjutkan salat tidak terkuras terlalu banyak. Lalu, jika Anda sama seperti saya yang mudah tidak khusyu’ di tengah ibadah, sepertinya 4-4-3 bisa jadi solusi. Pasalnya, saat salat dengan pecahan 2 rakaat, saya suka bingung sebelum bangkit melanjutkan ibadah, “ini 2 rakaat yang ke berapa ya?”.

Jadi, jika kita menggunakan 4-4-3, mengingat-ingat rakaat akan menjadi lebih mudah. Dengan begitu, salat juga menjadi lebih fokus karena ngga perlu overthinking soal rakaat ke berapa.

Ketiga, cenderung lebih cepat, atau setidaknya terasa lebih cepat. Bagi saya, tarawih dengan 4-4-3 punya keunggulan efisiensi waktu. Mungkin tidak bisa semata-mata dibilang lebih cepat, karena tergantung panjang bacaan imam yang bertugas juga. Sebab, sekali berdiri langsung dapat 4 rakaat. Jumlah jeda yang lebih sedikit juga membuat waktu jadi lebih hemat.

Logika ini akan mudah dipahami andaikata sang imam melakukan formasi tarawih yang berbeda-beda dengan ‘kecepatan’ yang sama. Sehingga, jika dibandingkan, yang tercepat (atau yang paling hemat waktu) boleh jadi formasi 4-4-3. Jelas, yang dicari dari ibadah salat bukanlah soal kecepatannya.

Namun, senada dengan pengalaman saya, semakin lama salat, biasanya saya makin tidak khusyu’, bahkan cenderung ngantuk. Jadi, jika Anda sama seperti saya, (sekali lagi) formasi ini barangkali bisa jadi solusi.

Untuk mengakhiri, saya ingin memberi pernyataan bahwa tulisan ini bukan bermaksud bermain-main dengan ibadah. Berdasar pengalaman dan analisis pribadi, saya ingin memberi insight bagi Anda yang punya persoalan mirip seperti saya: mudah hilang fokus waktu salat. Niat yang kuat sebelum ibadah jelas menjadi solusi utama atas masalah ini. Namun, agar lebih terbantu, saya menyarankan formasi 4-4-3 sebagai sebuah alternatif.

Besar harapan saya, ketika Anda selesai membaca tulisan ini, terceletuk dalam pikiran Anda, “hmm, bener juga ya?”. Tapi, saya tetap kembalikan kepada pembaca untuk memilih preferensi ibadah masing-masing dan menentukan efektivitas formasi terbaiknya. Selamat melanjutkan puasa dan selamat lebaran!

Editor : Hiz