Para netizen pengguna Twitter pasti sudah tidak asing dengan istilah “spill the tea”. Istilah ini biasa digunakan ketika ada netizen yang mengunggah postingan atau utas panjang yang berisi kronologi suatu masalah atau kejadian.

Misalnya, ketika ada netizen curhat kalau dirinya mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang artis atau public figure. Kemudian netizen lain akan ramai-ramai merespon, termasuk dengan membeberkan (spill) aib lainnya dari sang artis atau public figure tersebut.

Seolah ingin menunjukkan pada banyak orang bahwa si artis memang sebejat itu. Dari fenomena spill the tea inilah kemudian muncul cancel culture alias boikot terhadap pihak-pihak yang aibnya di-spill.

Orang yang kena cancel culture bisa mengalami pengucilan, mendapat caci maki, karier terhambat bahkan kehilangan pekerjaan.

Sejarah Fenomena Spill The Tea

Fenomena spill the tea awalnya berasal dari idiom Yunani Kuno spill the beans yang berarti membiarkan informasi yang bersifat rahasia diketahui orang lain.

Kata “beans” pada frasa tersebut digunakan untuk mewakili vote atau suara, di mana white bean berarti suara positif (positive vote) sedangkan black bean berarti suara negatif (negative vote).

Dalam literatur, istilah spill the beans pertama kali ditemukan pada The Stevens Point Journal edisi Juni 1908 untuk merujuk pada situasi mengganggu dengan berbicara tidak pada tempatnya.

Seiring waktu, istilah spill the beans berubah menjadi spill the tea, dengan kata “tea” yang berarti kebenaran, bukan “teh”.

Dilema Fenomena Spill The Tea

Di era media sosial (medsos) seperti sekarang, frasa spill the tea dapat diartikan sebagai undangan untuk menyebarkan gosip secara pribadi kepada teman atau publik di medsos tertentu.

Muatan yang biasanya di-spill antara lain rahasia pribadi atau orang lain, masalah terkait tempat kerja, gosip selebriti, isu politik dan sebagainya.

Mereka yang spill suatu masalah di medsos kadang dianggap hanya cari perhatian, bikin sensasi atau panjat sosial oleh sebagian orang.

Adapun yang menganggap bahwa aib semacam itu seharusnya tidak perlu diceritakan di medsos. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat memposting sesuatu yang sensitif dapat membuat orang yang memposting rentan dirisak oleh netizen yang maha benar.

Dengan risiko seperti itu, kenapa sih orang-orang masih suka spill-spill informasi tertentu di medsos?

Spill The Tea dan Kebebasan Berekspresi

Terlepas dari apapun motif dan tujuannya, fenomena spill the tea sebetulnya bisa dilihat sebagai salah satu bentuk kebebasan berekspresi. Perkara bebasnya sebebas apa, itu soal lain.

Mereka yang spill sesuatu di medsos bisa jadi tengah mengungkapkan kemarahan atau kekecewaan pada seseorang atau suatu hal.

Dalam kasus pelecehan seksual, misalnya, korban “terpaksa” spill kronologi kejadian yang dialaminya di medsos karena merasa tidak mendapat keadilan.

Misal ia seorang mahasiswa yang dilecehkan oleh dosennya sendiri, ketika melaporkan kejadian yang dialaminya pada otoritas kampus, respon yang diberikan justru mengecewakan. Bukannya si dosen dikenakan sanksi malah dilindungi dengan dalih “nama baik institusi”.

Jika ia seorang pekerja yang dilecehkan oleh atasan, ketika melapor ke HRD, HRD malah menganggap kelakuan atasan tersebut hanya bercanda. Seolah kelakuannya adalah hal yang wajar.

Ketika korban sudah melaporkan kasus tersebut ke pihak berwajib, laporannya baru diproses saat kasusnya viral. Seperti yang terjadi pada MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang menjadi korban perundungan dan pelecehan rekan-rekan kerjanya.

Kasusnya sudah terjadi sekitar 9 tahun lalu, sudah dilaporkan ke polisi tapi tidak kunjung diproses. Apa yang terjadi pada MS juga pernah dialami oleh banyak korban pelecehan seksual lainnya.

Cerita ke keluarga atau teman dekat? Seharusnya merekalah harapan terakhir korban. Namun, kadang bukannya memberi dukungan dan ruang aman untuk cerita, lagi-lagi korban disalahkan dan dianggap tidak mampu menjaga diri. Kalau sudah begini, ke mana lagi mencari dukungan dan ruang aman?

Akhirnya, medsos lah tempatnya mencurahkan segenap kemarahan dan kekecewaan meski risikonya adalah dinyinyirin netizen bahkan dilaporkan balik ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Pedang Bermata Dua

Fenomena spill the tea itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, fenomena ini seperti alarm yang menyadarkan kita akan suatu masalah atau isu tertentu agar kita lebih peduli. Sementara di sisi lain jika tidak hati-hati, ia bisa berbalik merugikan orang yang spill informasi.

Kalau informasi yang di-spill ternyata palsu, pihak yang menyebarkan bisa dijerat hukum dengan dasar pencemaran nama baik. Apabila dilakukan di medsos, bisa juga dikenakan pasal UU ITE.

Sebagai netizen yang cerdas, informasi yang hendak di-spill sebaiknya dipikirkan dulu mengenai kebenaran dan kebermanfaatannya agar di kemudian hari tidak menjadi bumerang.

Sementara itu, setiap informasi yang diterima juga sebaiknya dicek lagi kebenarannya. Jangan sampai kita malah mempercayai informasi yang menyesatkan.

Editor: Lail

Gambar: Pexels