Pertengahan tahun 2022 dunia perfilman Indonesia digemparkan dengan film berjudul KKN Di Desa Penari. Film ini bikin gempar karena film ini jadi film Indonesia terlaris sepanjang masa melewati torehan film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 serta Dilan 1990. Tentu saja saya senang dengan torehan tersebut. Saya berharap dunia perfilman Indonesia jadi semakin maju dengan kehadiran film KKN Di Desa Penari tersebut.

Ada yang bilang film ini biasa aja. “KKN Di Desa Penari jadi film terlaris sepanjang masa karena gimmick marketingnya doang, bukan karena jalan ceritanya ataupun sinematografinya yang bagus!”

Ada juga yang ngebelain film ini dengan berkata, “Film ini keren banget tahu! Gue udah penasaran sejak film ini viral di Twitter! Penasaran dengan sosok Badarawuhinya!”

Di sini, saya netral. Silakan berdebat deh! Saya gak akan bahas filmnya. Di sini cuma mau bilang, “Buat yang waktu kuliahnya gak ada KKN, cerita KKN Di Desa Penari itu gak relate buat saya euy!”

Sewaktu kuliah, saya mengambil konsentrasi bidang kajian jurnalistik pada Fakultas Ilmu Komunikasi salah satu Perguruan Tinggi di Kota Bandung. Nah, sayangnya, fakultas tempat saya menuntut ilmu tidak mengadakan program KKN seperti fakultas lainnya di Unisba. Saya hanya disuruh melakukan Job Train sebelum skripsi, semacam program magang di media untuk mempraktekkan ilmu jurnalistik yang saya pelajari saat kuliah selama kurang lebih 3 bulan.

Jelas, film KKN Di Desa Penari nggak relate untuk saya karena saya gak pernah merasakan yang namanya KKN. Sejak kuliah, saya cuma bisa ngangguk-ngangguk aja ketika teman-teman saya yang berada di fakultas lain atau berkuliah di kampus lain menceritakan pengalaman mereka ketika KKN. 

Saya hanya bisa berkata, “Wah, kayaknya seru ya?“, dan kalimat tersebut bukan kalimat tanpa makna. Setidaknya, bagi saya yang gak merasakan KKN, saya sedikit iri dengan teman-teman saya yang bisa melakukan KKN. 

Pasalnya, saya yang gak merasakan KKN jadi gak tahu serunya tinggal selama beberapa waktu pada sebuah desa. Saya gak bisa merasakan bagaimana serunya mempraktikan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni melakukan pengabdian pada masyarakat dengan mempraktekkan ilmu jurnalistik yang saya pelajari saat kuliah. 

Saya juga gak merasakan indahnya persahabatan antar mahasiswa yang terjalin saat mereka melakukan KKN di sebuah desa. Saya juga gak merasakan indahnya cinlok dengan mahasiswi lain yang terjalin saat mereka KKN di sebuah desa. 

Bukan tanpa alasan. Banyak orang yang persahabatannya erat banget karena mereka KKN bareng waktu kuliah. Bagaimana serunya main game Pro Evolution Soccer di malam hari sambil deep talk seputar materi kuliah, skripsi, cinta-cintaan, hingga cerita Nabi-Nabi hingga subuh. Saya yang waktu kuliah gak ada KKN gak merasakan hal itu, cuma ngangguk-ngangguk aja ketika ada yang cerita pengalamannya saat KKN.

Gak sedikit juga orang yang bertemu dengan pasangannya masing-masing karena mereka cinlok waktu KKN. Bagaimana serunya ngeboncengin teman mahasiswi saat menuju desa tempat mereka KKN hingga akhirnya mereka jatuh cinta setelah sebelumnya gak pernah dekat sama sekali saat di kampus itu kayaknya seru banget buat saya yang waktu kuliah gak ada KKN sama sekali. Lagi-lagi saya cuma ngangguk-ngangguk aja ketika ada yang cerita pengalamannya cinlok saat KKN.

Makanya, ketika sebelum cerita KKN Di Desa Penari yang viral beberapa tahun yang lalu saya baca, saya agak kurang relate dengan cerita tersebut karena saya gak pernah merasakan apa yang Nur, Widya, Ayu, Bima, Anton, dan Wahyu lakukan. 

Pun, ketika KKN Di Desa Penari diadaptasi jadi film pun saya masih kurang relate dengan adaptasi cerita tersebut karena saya gak pernah merasakan yang namanya KKN. Saya cuma bisa mantengin cerita  orang lain aja saat KKN biar bisa lebih relate dengan cerita KKN Di Desa Penari.

Tapi di sisi lain saya sedikit bersyukur fakultas tempat saya menuntut ilmu gak mengadakan KKN. Bukan, bukan karena takut mengalami kejadian horor seperti film KKN Di Desa Penari, tapi saya khawatir saya gak bisa beradaptasi dengan cepat ketika melakukan KKN di desa empat saya KKN karena saya ini cuma anak rumahan biasa yang terbiasa hidup di kota dengan segala fasilitasnya.

Saya juga khawatir saya gak bisa menyalurkan ilmu jurnalistik yang saya dapatkan ketika kuliah ke masyarakat desa tempat saya KKN. Takutnya, apa yang saya salurkan pada mereka tidak sampai atau bahkan menyinggung perasaan masyarakat setempat karena mereka menganggap saya sebagai anak kota yang sok tahu tentang kondisi masyarakat di desa tempat saya KKN.

Akhir kata, maju terus dunia perfilman Indonesia! 

Gambar: Republika.co.id

Editor: Saa